PEREMPUAN YANG MEMBENCI HUJAN_Puisi Puisi Q ALSUNGKAWA(Sastra Harian)
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
(Belum berhonor)
PEREMPUAN YANG MEMBENCI HUJAN
Terperangkap di sini
setengah perjalanan
menggigil bangku, nyaris patah di makan usia
beberapa pasang,
bernasib sama
cemas memandang hujan
mungkin
ramalan tentang jalan
membatalkan sepakat.
Aku, pun andil
dengan warna yang berbeda,
dengan kata lain dari kecewa
serupa gema
makian sesosok tujuan
memekik, membacakan umpatan dari jauh.
Tak cukup damai bila menyebut hujan
ia terlanjur terbakar
oleh kalimat menanti
alih-alih sabar
hanya dongeng belaka.
Masih di sini
derasnya belum berubah
sebaris pesan
tentang ia
yang mematahkan alamat
juga mengunci pintu
maaf, tak mengubah cermin yang retak.
Lampung Barat, 30 Maret 2018.
PELAMINAN SUNGSANG DI REPUBLIK ABAL
ABAL
Ia melipat dahinya, mengamati
sekeliling jendela kaca. Di rumah yang dindingnya dimamah usia, tempat ia
dilahirkan. Di kalangan medok ia dibesarkan.
Lelaki kurus pecinta hutan, yang setelah dewasa pergi ke hutan, menjadi
orang hutan
hingga suatu ketika sapi betina
menyeruduk dengan tanduknya, mengajarkan bertarung di atas panggung,
mengajarkan cara jitu menutup telinga.
Dari peristiwa itu, ia kembali ke
kota, mendewasakan diri, mengasah lidah di batu-batu, di anak anak tangga
bahkan di tebing tebing sungsang.
Setelah benar benar dewasa
ia dijodohkan dengan pasangan yang
lebih tua. Tentu rahim yang menua itu
tak cukup lama bertahan
sedangkan di istana negeri abal
abal ini
merindukan sosok yang amanah
yang dipunggungnya banyak ditanami
mimpi mimpi jelata. Usut demi usut
perempuan yang berkebaya itu,
kembali membuka ruang perjodohan
seyembara digelar di sebuah gedung
tua
dan warna-warni surat lamaran
yang bertuliskan banyak nama
tetapi lelaki kurus itu
masih mengunci bibirnya
mungkin istri tua belum memberikan
restu
atau kontrak kawinnya masih satu
tikungan lagi.
Tetapi, ia menguping, ia melihat,
dan ia memahami
tentang mantan kekasihnya di
seberang sana yang telah bertunangan
dan siap menuju pelaminan.
Sontak kabar itu menikam daun
telinga, sebagian hasratnya terusik
hingga berulang-ulang menghitung
daun bendera
merahkuninghijau di langit yang
ungu
sesekali senyum ketir yang
dipaksakan menghiasi celah yang gagap
ada rasa gamang menampar catatan
janji di belakang tahun
tentang palpel yang mestinya
disegerakan.
Lampung Barat, 9 Agustus 2018.
DI BAWAH BAYANGAN SAWIT
Perempuan itu, menaungi sepasang
bintang
dengan bayangan pohon sawit
acapkali matanya menganak sungai
dilukai nasibnya sendiri
sejak ruang tamu itu
menggigil dimamah kebisuan.
Ini bukan kalimat kepergian
yang jauh meninggalkan arus Batang
Nilo kecipaknya
muncrat di dahi
menjelma pertikaian jahanam
yang kerap membakar hulu dada
kemudian tulang-tulang rusuk sungsang
ditampar warna masing-masing.
Ini ke sekian kalinya
dimana tali-temali mengingkari
janji yang tak begitu jelas kebenarannya
seperti kuncup ditekuk matahari
alih-alih senyum setia pada rekah
melainkan degub yang menutup
segalah arah pintu.
4 Agustus 2018.
CELAH INGATAN
Menjelang lelap
aku membaca sebuah nama, lalu
membisikkan pada Tuhan
kalimatnya pelan
bahkan lebih pelan
dari semilir
yang sekedar singgah di pori pori
menaiki ubun ubun
lalu mengitari lamunan.
Hingga pagi yang masih belia
dihadang jalan
yang letih oleh jejak
lalu-lalang
dari sebuah pencarian
berloncatan debu di punggung
aromanya terbakar
menjadi memar yang termenung.
Simpangtiga
di bibir sore, jaraknya tak begitu
jauh
bangku yang selalu dihuni perasaan
menunggu
telah banyak tertukar
dengan peristiwa-peristiwa latah
tetapi
untuk sebaris sajak
baru menetas itu
sebilah nama
yang tajamnya menancap di celah
ingatan.
Lampung Barat, 28 Maret 2018.
PEREMPUAN PENUNGGU HUJAN
Entah kenapa aku mencintai hujan?
Seperti janji membungkus kerinduan.
Perempuan kecil, 17 tahun silam
tersenyum ketika kuyup
tangan mungil
di sela kaca
melambai, mengisyaratkan tentang
pertemuan.
Aku masih menyimpan
tatap matamu
perlahan,
sepasang kelingking
merenggang ditukar jarak.
Hari ini, bukan 17 tahun lalu
kesempatan untuk meninjau
perubahan bibir
tentang kekata paling hulu
yang mengalirkan
kenangan ke alamat yang terlupakan.
Lampung Barat, 30 Maret 2018.
LUKISAN DI MATAKU
Tidur yang tak pernah mujur
setumpuk masa lalu
terkapar di kantung ingatan
hinggap di kelopak lelapmu
berloncatan kecintaan di bibir ini
tiada celah untuk menampik pintu,
tempat berlalunya hasrat yang gagal diutarakan.
Sejatinya lelakiku tak pernah
menjadi debu
karena petitih wanita paruh baya
itu, kalimat mufakat mengitari sekujur ruh
dengan perasaan yang sama
kita menatap sebagai remang
bintang.
Hingga saat ini lukisan di mataku
belum memudar
ketika damai melunasi hasrat
di bawah atap yang tersusun dari
rumbia
kita dimanjakan sekawanan burung yang
kecantikannya piawai menandai musim.
Lampung Barat, 23 Mei 2018.
RENCANA SUATU MALAM
Ketika ramalan malam tak menentu
lagi
kelam menelan ribuan bintang di
langit jauh
rencanamu-
yang menikam peta rencana di
punggung ini, adalah
tamparan yang kerasnya melampaui sengatan matahari.
Aku terkapar dalam dilema yang
kronis
seutas tali pengebat janji
patah dalam ikatan semu
terberai menjadi debu
yang nasibnya bersandar pada angin
lalu.
Menjadi mungkin bila langit tak
kutemukan warna lain
selain ungu yang di ujungnya
menguning
sebab rabun yang mengupas biji mata
ketika kemungkinan lain tak sempat
menjelma kata-kata
hingga punggungmu lenyap ke balik
tikungan.
Lampung Barat, 23 Juli 2018.
SAJAK SEPASANG KEKASIH
Di atas gerbong kereta
jurusan Padang-Payakumbuh
pandanganku, memungut bukit-bukit
berbatu
lalu meletakannya ke dalam bait
puisi
aroma pahit
dari tubuh penjajak pasar
melengkapi lengkingan roda kereta.
Aku menandai setiap lekuk
perlintasan
dengan hembusan nafas
dari derap waktu yang pernah
singgah, meski tak berlangsung lama.
Tetapi-
senja yang kian berkemas
menggenapi kuntum puisi
menjadi kekasih
menjadi kerinduan yang selalu ingin
kujumpai
sejatinya aku tak pernah
menghapuskan kenangan itu
apalagi menggantinya dengan sisi
yang lain.
Di hari, dimana kau sematkan
hitungan tahun yang berguguran
dengan tanpa kusangkakan
engkau mengirim biji kerinduan
yang singgah di mataku
mempertanyakan lagi naluri seni
dan menyambungkan lagi jarak dari
sebuah hubungan
tentu
aku, kita, adalah sepasang kekasih
yang menabuh kecipak percintaan di
lautan sajak.
Lampung Barat, 25 September 2017.
Tentang penulis:
Q Alsungkawa (Lampung Barat) suara
kecil dari pinggiran kota yang masih mimpi menjadi puisi.
Tidak ada komentar