GERAK DAN BAHASA TEBAH TABUH TABAH _oleh: Ibnu PS Megananda
Pementasan Tebah Tabuh Tabah yang saya (penulis) anggap sebagai metafora manusia yang belum punya bahasa kepada kawan saya, penyair Sulaiman Djaya, langsung menyahut itu adalah teater purba, katanya, yang mengeksplorasi ritual dan budaya magis bangsa kita. Karena memang nyaris tak berbahasa, ada juga teriakan-teriakan semacam isyarat. Walau dalam pementasan itu menampilkan kelompok Terebang Gembrung dari Taktakan, Serang, itu juga hanya semacam doa akan alam dan prilaku manusia.
Tiga sosok manusia yang diperankan Arif Sodakoh, Acu Samsudin, dan Saduri Dagul, dengan lighting yang digarap Rio Fathurrohman dan Fahmi Ulhaq, sutradara Imaf M Liwa agaknya secara tak sadar kalau saya tarik dalam kisah tiga murid yang beguru pada Rama Bargawa, yaitu Dewabrata, Kumbayana, dan Sucitra, adalah simbolisasi individu-individu yang pelan-pelan mencari dirinya. Meraih unggul satu sama lain, dan nyaris bermusuhan juga berperang satu sama lain.
Tiga sosok yang muncul di alam mayapada itu, tak berbaju dengan badan sedikit membungkuk, kaki dijulur-julurkan lebih kedepan, berjalan pelan, membawa lampu. Di sekitarnya ada tempat-tempat dupa untuk semedi dan berdoa. Tiga sosok itu pun melakukan, seakan meminta ijin pada Sang Pencipta.
Lalu seperti menemukan dunianya sendiri, dengan simbolik mempermainkan lonjoran bambu. Kadang melentingkan tubuh dengan bambu, kadang saling toyak. Dan tumpukan pasir sebagai lampias karena mereka selalu muncul napsu amarah, entah apa yang dimarahkan. Gambaran itu mencekam. Pementasan itu agaknya ingin mengoyak-ngoyak perasaan penonton dengan gerak tanpa bahasa.
Setelah itu membawa penonton, menarik penonton untuk kepanggung. Agaknya untuk menyetujui perbuatan mereka tiga sosok itu. Pemetasan Tebah Tabuh Tabah sepertinya ingin mengajak kita untuk berpikir tentang gerak, tentang prilaku perbuatan, tidak cuma percaya pada kata-kata dalam bahasa yang tersusun.
Pementasan tersebut benar-benar menyindir, pengingatkan kita selama ini bahwa gerak prilaku baik hanya diwakili ucapan, kahirnya hilang, dimana prilaku baik itu, ucapan ternyata melahirkan gerak prilaku serampangan, sontoloyo dan nakal. Itulah pementasan dari Komunitas Kembali yang digawangi Farid Ibnu wahid dan Imaf M Liwa, di Taman Budaya Banten di depan Sekretariat Dewan Kesenian Banten (DKB) belum lama ini yang disaksikan ratusan penonton dari kalangan mahasiswa dan umum. (Foto oleh Siti Nuraisyah.)
Tidak ada komentar