KAU DAN AKU, MENURUT RUMI DAN MARTIN BUBER _Oleh Sulaiman Djaya
Karya-karya sastra adiluhung biasanya mengandung filosofi dan hikmah, dan para penyair adiluhung biasanya adalah juga para filsuf –yang dalam hal ini contohnya Jalaluddin Rumi, sang filsuf sufi Persia yang kemudian hijrah ke Anatolia (Turki) itu.
“Karena cinta ampas berubah jadi sari murni,
karena cinta pedih menjadi obat.
Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan”.
Jalaluddin Rumi bicara apa saja dengan puisi-puisinya –mulai dari rahmat pagihari dan juga fajar, perenungan senjakala, meditasi malam, hingga upaya menerjemahkan ‘cinta’ sebagai sebuah cakrawala yang mencakup kapasitas pemahaman yang toleran dan sanggup mengerti orang lain, kemampuan bersikap welas-asih kepada sesama –di mana cinta kemudian mewujud dalam kesabaran, peredaman ego yang acapkali mendatangkan amarah dan destruksi, hingga cinta dalam arti yang ‘irfani.
Sampai-sampai bagi Jalaluddin Rumi, cinta adalah ‘kosmos’ dan ‘semesta’ yang menjadi hukum harmoni dan penjaga atau perawat keberlangsungan hidup dan eksistensi manusia,
“Cinta adalah lautan tak bertepi,
langit hanyalah serpihan buih belaka.
Di dalam cahaya-Mu aku belajar
mencintai. Di dalam keindahan-Mu
aku belajar menulis puisi.”
Puisi Jalaluddin Rumi di atas bisa saja dibaca sebagai upaya untuk ‘memahami’ arti dan makna cinta dalam arti yang ‘irfani, suatu kawah kerinduan seorang manusia kepada Sang Khalik karena manisnya iman dan rahmat pengampunan, yang pada saat bersamaan, bersifat manusiawi, sebagai kodrat alami yang ada di dalam diri manusia untuk mengembangkan pemahaman dan sikap welas-asih.
Kadang Jalaluddin Rumi menyindir secara terus-terang dengan gaya dan nada bertanyanya yang khas puitik, ketika ia mengkritik kemalasan intelektual dan spiritual manusia, yang acapkali menjebak manusia hanya menuruti sikap dan karakter yang justru membuat manusia menjadi rendah, tiadanya kemampuan untuk menjadi seorang pencinta, baik secara manusiawi maupun ‘irfani. Semisal manusia-manusia yang hidupnya hanya terseret pada arus komodifikasi, mereka yang terjerembab dalam kehampaan spiritual, meskipun yang ironisnya, mereka adalah juga orang-orang yang mengaku beragama:
“Engkau dilahirkan memiliki sayap
mengapa lebih memilih hidup merangkak?”
Sayap dalam puisi itu tentu saja tidak dimaksudkan secara verbal, seperti misalnya sayap yang dimiliki para burung, melainkan sebagai alegori-aforistis bagi pendakian dan ikhtiar untuk menggapai progress dan ketinggian. Bukankah para burung sanggup terbang ke arah ketinggian karena memiliki sayap? Sehingga, sayap adalah sebuah ‘alegori khusus’ dalam puisi-puisi para penyair-filsuf sufi untuk memaksudkan makna dari fungsi sayap dalam arti verbal tersebut, sebagaimana alegori kedai dan anggur demi menerjemahkan kerinduan dan madrasah ‘pelatihan’ bathin.
Secara semantis dan hermeneutis, ‘cinta’ yang berusaha dimaknakan dan diberi pengertian dalam puisi-puisi Jalaluddin Rumi adalah cinta dalam arti yang luas –cinta yang baginya unsur utama semesta dunia ini, semisal dasar bagi penciptaan semesta dan serta hukum yang menjaga dan mengaturnya, bukan semata cinta ingusan anak-anak remaja, misalnya. Sementara itu, secara ‘irfani, cinta yang dimaksudkan dalam puisi-puisinya Jalaluddin Rumi adalah cinta dalam arti yang mistis dan spiritual antara manusia dengan Sang Khalik berkat iman, yang karena iman itulah, lahir dan tumbuh-lah harapan dan pemahaman yang benar. Sebab, banyak mereka yang mengaku beragama hanya basah di kulit, tapi hatinya kering-kerontang.
“Apa pun yang kau dengar dan katakan
(tentang Cinta), Itu semua hanyalah kulit belaka.
Sebab inti dari Cinta adalah
sebuah rahasia yang tak terungkapkan”
RUMI DAN MARTIN BUBER
Kita dilahirkan sebagai pribadi-pribadi yang berlainan satu dengan lainnya di dunia ini. Kita menjadi aku yang benar-benar jika kita mempunyai hubungan yang erat dengan orang-orang lain. Melewati Thou seseorang menjadi I. Karenanya, menurut Martin Buber, Aku itu bersifat sosial dan interpersonal, dan seseorang yang real adalah orang yang hidup antara orang dan orang. Menurut Martin Buber, hubungan I-Thou mempunyai ciri-ciri timbal balik, langsung dan kesungguhan (intensity). Dalam hubungan yang semacam itulah suatu dialog atau pengetahuan dapat terlaksana. Dialog tersebut mungkin dengan perkataan atau secara diam-diam. Bahkan dialog tersebut terjadi dengan sekadar pandangan yang spontan dan tanpa gaya, akan tetapi mengandung pemahaman dan perhatian yang timbal balik.
Lebih lanjut Martin Buber mengkritik, atau tepatnya melakukan protes terhadap “pembendaan” serta kecenderungan depersonalisasi dalam kehidupan modern seiring maraknya fetishisme (pembendaan) atau komodifikasi dalam segala hal, karena kedua hal tersebut akan berakibat mengingkari aku dan menghalangi ekspresinya. Begitulah, menurut filsafatnya Martin Buber, orang hanya dapat hidup dalam hubungan yang timbal balik jika mereka dapat berkata Thou kepada yang lain dan yang baik itu dalam pandangan Buber adalah persatuan jiwa dengan kehidupan, sedang yang jahat adalah pemisahan jiwa dari kehidupan. Apa yang didadarkan filsafatnya Martin Buber itu sangat koheren dan berada di garis wawasan dan spiritual yang sama dengan puisinya Jalaluddin Rumi, filsuf sufi yang hidup sebelum Buber, lewat puisinya yang berjudul Kau dan Aku:
“Nikmati waktu selagi kita duduk di punjung, Kau dan Aku;
Dalam dua bentuk dan dua wajah — dengan satu jiwa,
Kau dan Aku. Warna-warni taman dan nyanyian burung
memberi obat keabadian. Seketika kita menuju
ke kebun buah-buahan, Kau dan Aku.
Bintang-bintang Surga keluar memandang kita
–Kita akan menunjukkan Bulan pada mereka, Kau dan Aku.
Kau dan Aku, dengan tiada ‘Kau’ atau ‘Aku’,
akan menjadi satu melalui rasa kita; Bahagia,
aman dari omong-kosong, Kau dan Aku.
Burung nuri yang ceria dari surga akan iri pada kita
–Ketika kita akan tertawa sedemikian rupa; Kau dan Aku.
Ini aneh, bahwa Kau dan Aku, di sudut sini…
Keduanya dalam satu nafas di Iraq, dan di Khurasan
–Kau dan Aku.”
Persis seperti yang diidealkan Martin Buber, puisi Kau dan Aku-nya Jalaluddin Rumi tersebut memadahkan keintiman dalam sebuah hubungan yang karib dan saling memahami satu sama lain. Sebuah puisi yang mengandung filosofi dan hikmah yang demikian dalam dan karib dan dimadahkan dengan suara dan bahasa yang jernih, yang pada saat bersamaan merupakan simbolisme yang sublim –sebuah kearifan pedagogis yang disampaikan dengan modus dialog dan medium puitis, sehingga yang membacanya akan merasa terlibat sebagai kawan dialog itu sendiri, bukan semata objek yang digurui.
Sementara itu, bila kita kembali kepada filsafatnya Martin Buber, manusia mempunyai dua relasi atau dua hubungan yang fundamental yang berbeda antara satu dan lainnya. Di satu pihak relasi dengan benda-benda, dan di lain pihak relasi dengan sesama manusia dan Allah. Dalam hal ini, puisinya Jalaluddin Rumi yang berjudul Kau dan Aku itu, bila dibaca dalam kerangka filsafatnya Martin Buber, berada dalam kategori relasi atau hubungan antara manusia dengan manusia dan hubungan atau relasi antara manusia dengan Tuhan.
Dan seperti terefleksi dengan jernih dalam puisinya Jalaluddin Rumi itu, Martin Buber lebih lanjut mengatakan bahwa karena dua jenis relasi inilah “Aku” sendiri bersifat dwi-ganda, di mana “Aku” yang berhubungan dengan “Itu” (atau dengan benda) berlainan dengan “Aku” yang behubungan dengan “Engkau” Jenis dan bentuk hubungan antara Aku dan Itu, demikian dalam filsafat Martin Buber merupakan dunia dimana saya menggunakan benda-benda, menyusun benda-benda, memperalat benda-benda. Dunia ini ditandai kesewenang-wenangan. Semuanya dalam dunia ini diatur menurut kategori-kategori seperti kepemilikan dan penguasaan, tak ada dialog.
Sedangkan bentuk dan jenis hubungan Aku – Engkau adalah dimana di dunia ini Aku tidak menggunakan Engkau sebagaimana terjadi dalam hubungan antara Aku dan Itu, melainkan Aku menjumpai Engkau, Aku yang menjumpai Engkau sebagaimana dilukiskan dengan indah oleh puisinya Jalaluddin Rumi yang berjudul Kau dan Aku itu. Di sini, Aku karena Engkau, Engkau yang hadir dan tampil bagi Aku sebagai suatu rahmat.
Tentang Penulis
Sulaiman Djaya, peminat literatur sastra, filsafat, dan budaya.
Tidak ada komentar