KOTA KOTA TUMBUH DI KULIT BUMI
APA KABAR LINGKUNGAN HIDUP?
Setelah cukup lama terjajah oleh peradaban manusia modern. Dipecundangi oleh hasrat-hasrat keduniawian. Dan, polutan yang telah bermukim ramai di udara, tanah, air, dan aliran pikiran manusia itu sendiri.
Setelah cukup lama terjajah oleh peradaban manusia modern. Dipecundangi oleh hasrat-hasrat keduniawian. Dan, polutan yang telah bermukim ramai di udara, tanah, air, dan aliran pikiran manusia itu sendiri.
Apa kabar Carbon Monoksida (CO)? Sulfur, NOx, Sox, Plumbum, dan aroma debu yang kering di udara. Melayang layang di tarikan nafas anak-anak manusia di bumi dan menerobos lorong paru paru. Juga sisa herbisida, insektisida, fungisida di tanah adakah semakin tersedimentasi jadi hantu merayap ke air tanah meniti rongga tenggorokan kami. Apa kabar senyawa-senyawa kimia yang berenang di sungai, laut dan danau? Sebuah reaksi dari berbagai pupuk dan detergen yang begitu jadi kebutuhan kami. Apa kabar semuanya yang abai dari pengamatan penguasa, juga kami semua yang meng-amini-nya.
Dan, siang yang semakin gersang. Disesaki bunyi knalpot di jalanan. Arus manusia yang mengalir menuju banyak arah. Kemudian peradaban pasar menjadi muaranya. Udara di bumi yang membakar kulit kepala. Kian meningkat intensitas suhu dan bongkahan es di kutub semakin terancam itu sesekali mengirim sinyal kesakitan pada habitat yang bermukim di kulit bumi dengan berbagai aroma bencana. Getaran-getaran gempa tektonik. Tsunami dan tanah yang nyelonong jatuh dari bukit ke pemukiman tetapi sepasang mata terlanjur menjadi rabun, bahkan limbung menangkap semua itu. Kota-kota kian padat tumbuh di kulit bumi. Memancarkan bermilyar-milyar watt lampu di malam hari. Kota sejatinya ingin menjelma selaksa kunang kunang. Memancarkan aneka warna.
Dalam keremangan itu semua sebenarnya ada yang konsleting. Dan mengintai bahaya yang kian menjadi kronis. Baku mutu udara ambien yang kian menurun kualiatasnya. Air tanah yang tercemar dan lahan-lahan pertanian jadi empat mengubur racun kimia. Manusia, lelap jika malam, mabuk saat siang. Sungguh abai dengan kerusakan yang terus berjalan menjadi maut dan bencana semakin menakutkan. Kebijakan kebijakan diambil kaum birokrat belum ada yang terdengar konsisten berpihak pada keselamatan ekosistem sehingga keseimbangan alam raya terus terganggu, terus hilang kedinamisannya. Lihatlah, di celah sungai-sungai berbatu, dimana udang dan ikan ikan kecil telah bermigrasi pada kepunahan. Digantikan lumut dan warna karat yang mencerminkan semakin tingginya kandungan Fe dan mineral logam yang membahayakan. Juga danau dan genangan air di daratan kini habitat eceng gondok yang menjadi indikasi semakin tingginya kandungan Amoniak dan senyawan organic yang merenanginya. Semua bersumber dari penggunaan yang sangat konsumtif. Jagad ini perlahan merupa wadah raksasa pembuangan limbah hasil aktivitas kita yang serakah dan jauh dari nilai nilai yang difirmankan tuhan.
Ulasan ini semoga sedikit membuka kembali kesadaran kita akan kondisi lingkungan hidup saat ini. Begitu memprihatinkan. Efek negative dari semua itu telah menampar kita berulang ulang tetapi kita seperti kebingungan. Kebutuhan ekonomi yang semakin jauh dimasuki idiologi kapitalisme memaksa kita jadi makhluk yang selalu haus dengan kebutuhan-kebutuhan tambahan dan lahir belakangan di luar kebutuhan dasar yang ada. Kita begitu terdesak, sebenarnya. Ditekan kebutuhan paket internet, voucher listrik, pulsa seluler dan angsuran kredit berbagai sarana transportasi yang mau tidak mau harus terpenuhi.
Kebutuhan hidup semakin universal bentuk dan polanya. Manusia abad ini hidup dan bermukim di lingkaran ini semua yang membuat detak jantung semakin limbung dan tak beraturan. Kota-kota tumbuh di kulit bumi. Hidup yang semakin ramai. Dan, tekanan terhadap pikiran terus meningkat intensitasnya sementara kita manusia abad ini (sebenarnya) kian melarat sebab terjebak dalam lingkaran penjajahan masa kini. Menjadi tumbal hidup. Tuhan mengamati semua yang berlangsung dari tempatnya. Jarak tuhan tak jauh dari kita, tetapi kita saja, yang semakin tak menyadarinya.
(Riduan Hamsyah, alumni jurusan lingkungan di Poltekkes Lampung tahun 2003)
Tidak ada komentar