MENUNGGU RUANG PUBLIKASI SASTRA DI BANTEN _Oleh Riduan Hamsyah
Dunia kesusastraan tanah air tak pernah sepi oleh geliat karya, baik yang baru mengenal seni sastra, maupun yang telah mumpuni di dalamnya. Komunitas komunitas tumbuh subur di berbagai daerah. Koloni pegiat seni olah kata kata ini lahir dari akar rumput, dilatarbelakangi oleh hasrat mencipta dan naluri untuk mengukuhkan eksistensi sebagai generasi yang ingin keluar dari sebuah keterkungkungan pikiran. Bergerak, dalam lompatan ke depan, sebab dunia mengharuskannya.
Satu dekade lalu kesusastraan tanah air dikagetkan dengan produktifitas para seniman sastra dari tanah Sumatera, tepatnya, di Provinsi Lampung. Para penulis dari Lampung ini begitu intens namanya menghiasi media-media cetak lokal dan nasional. Bahkan, salah satu sastrawan dari Bumi Ruwa Jurai (Sebutan untuk Provinsi Lampung) sempat dijuluki sebagai “PAUS-NYA SASTRA LAMPUNG”. Sungguh mengagumkan. Para pegiat literasi ini bermunculan dari berbagai macam latar belakang tetapi sebagian besar dari mereka adalah kaum terpelajar yang masih berstatus mahasiswa atau pengajar di sebuah perguruan tinggi. Artinya, sastrawan sastrawan Lampung ini ditetaskan dari balik gerbang-gerbang kampus di sana. Ada juga yang muncul secara personal, biasanya mereka ini adalah insan insan media yang memang telah terbiasa dengan dunia tulis menulis.
Begitu perkasanya sastra Lampung, kemudian tidak serta merta didominasi oleh koloni yang popular sepuluh dekade lalu tetapi regenerasi juga lahir pada masa kini. Event-event sastra berskala nasional selalu dihadiri atau tercantum nama nama dari Lampung. Mereka tidak pernah sepi dan seolah telah menjadi tradisi berkesenian yang begitu dicintai masyarakatnya, selain produk kopi, rupanya daerah ini juga sebagai penghasil produk sastrawan yang mumpuni.
Lantas setelah Lampung, belakangan ada sebuah daerah yang rupanya juga diramaikan oleh pecinta sastra, penulis penulis sajak, prosa, cerita anak dan artikel-artikel menarik melesat ke berbagai media cetak dan online, dihiasi oleh sejumlah nama dari wilayah ini. Ia adalah sebuah pulau yang masih menjadi bagian dari Provinsi Jawa Timur, “MADURA”. Ya, menurut pengamatan penulis secara pribadi berdasarkan fakta siar dan intensitas publikasi media massa, Madura, adalah daerah yang cukup lekat dengan tradisi seni dan sastra. Di sini ada komunitas yang menamakan dirinya “KOMUNITAS MASYARAKAT LUMPUR” yang cukup popular dan intens menggelar festival puisi bangkalan (saat ini FPB 3). Selain juga banyak tumbuh koloni-koloni seni di daerah ini yang cukup memberi sinyal kepada Indonesia bahwa, Madura, mengikuti jejak Lampung, tidak hanya sebagai daerah penghasil garam tetapi juga penghasil “Penyair atau sastrawan”. Tidak menutup kemungkinan nama nama besar sastrawan dunia akan menyematkan nama Madura dalam narasi biografinya.
Selain kedua daerah yang disebutkan di atas, tentu wilayah-wilayah lain juga ramai serta cukup semarak dengan dunia literasi saat ini, seperti Sumatera Barat, Jawa Barat, Sumatera Utara dan berbagai daerah lain yang nama nama penulisnya bermunculan di media cetak dan online. Kita patut bersyukur sebab rupanya negeri ini tidak pernah sepi oleh tunas generasi pemikir yang jiwa mereka selalu hidup. Sebuah generasi yang tidak ingin berpangku tangan menyaksikan fenomena yang melintas di kelopak matanya. Inilah kaum yang sensitife terhadap dinamika sosial. Segelintir manusia yang ingin hidup dalam pergerakan pikiran, bertarung dengan segala keniscayaan untuk membangun daya cipta mengungkapkan fakta fakta tak ladzim serta penjukirbalikan makna kata kata. Sastrawan adalah manusia yang jiwanya tak pernah beristirahat. Bekerja tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Selalu berupaya mengimplementasikan suara benda-benda yang sejatinya tak bisa bicara di sekitar jasadnya. Jika seorang tentara berjuang menjaga setiap jengkal tanah dan wilayah Republik Indonesia ini dengan senjata, maka seorang penulis atau sastrawan berjuang sekuat tenaga untuk menjaga ‘keutuhan bahasa Indonesia’ dengan kata kata. Seorang penulis berjuang keras untuk menyempurnakan kesejatian komunikasi dan pola ucap yang mandiri berdasarkan efek budaya, juga keharusan memelihara imajenasi, melebarkan ruang inspirasi.
Lantas apa yang menjadi komponen paling penting dalam dunia sastra selain bahasa, budaya, perbendaharaan kata kata dan literature? Jawabnya adalah “ruang cipta”. Ini merupakan komponen sangat penting sebab, sejatinya, sebuah karya dari para pegiat literasi mesti disampaikan kepada banyak orang yang eksistensinya adalah objek sekaligus juga subjek. Sebuah guratan hasil pencipta-an belum bisa disebut sepenuhnya sebagai sebuah karya ketika, ia, karya tersebut belum sampai pada peminatnya atau pengamatnya atau lebih jelas (dalam sastra) adalah pembacanya. Ruang siar, merupakan komponen sekaligus elemen paling penting untuk menyampaikan hasil dari pengolahan ide menjadi kata-kata sekaligus sebagai cermin tempat para sastrawan memperlihatkan diri pada publik. Tanpa ruang siar, maka sebuah maha karya sekalipun tidak akan tumbuh serta berenang ke hilir, ia hanya akan membeku di hulu. Maka pada garis tersebut tidak akan ada pertumbuhan tunas menjadi dahan, yang terjadi ‘kematian’ dalam perkembangan. Ruang siar adalah alat komunikasi sekaligus transformasi dari sastrawan kepada banyak orang, sebagai jalur hubungan komunikasi antara satu satrawan ke sastrawan lainnya.
Kembali ke Provinsi Lampung dan Pulau Madura yang bagian dari Jawa Timur itu. Mengapa wilayah ini tiba tiba saja melesat nama nama penulisnya? Jagad kesusastraan tanah air baik satu dekade lalu merambah saat diramaikan oleh nama nama dari kedua wilayah tersebut (dalam konteks tema tulisan ini) tanpa mengabaikan daerah lainnya yang juga menyumbang nama sastrawan. Jawaban yang paling ideal adalah sebab kedua daerah tersebut (sebagai sample) memiliki perusahaan-perusahaan media cetak serta online yang menaruh perhatian besar terhadap perkembangan serta pertumbuhan sastra di daerah mereka. Lalu, bagaimana dengan Provinsi Banten? Wilayah ini tidak punya media massa yang peduli dengan pertumbuhan dunia literasi.
Sangat disayangkan, ketika media massa cetak di Banten, sejak zaman dinasti kejayaannya hingga kini dalam ancaman abrasi digitalisasi belum juga memiliki ruang siar untuk sebuah naluri berkesenian masyarakat di wilayahnya (ini sebagai bentuk kritik). Media-media cetak di Provinsi Banten hanyut dalam kepentingan bisnis dan oplah, mengabaikan kesusastraan dan ruang ekspresi literasi. Padahal dari Banten memiliki cukup banyak pegiat sastra yang namanya hilir mudik dalam ranah kesusastraan nasional. Sebut saja mereka adalah Golagong, Chavcai Saefulloh, Ibnu PS Megananda, Sulaiman Jaya, Imam Sembada, Toto ST Radik, Zham Sastera, Apin Suryadhi, dll. Entah bagaimana proses kreatif nama nama tersebut. Tetapi kami pernah menemukan beberapa karya mereka dipublis oleh media di luar Banten. Sungguh berbeda dengan Madura yang bukan sebuah Provinsi itu tetapi surat kabar di sana sangat loyal dan memberi perhatian penuh pada pegiat literasi. Malu pada Harian Malang Pos, Radar Banyuwangi, Bangka Pos, Radar Bojonegoro, Warta Lampung Barat dan sejumlah daerah yang berstatus kabupaten tetapi menaruh perhatian yang cukup serius pada para sastrawan atau calon calon seniman sastra. Banten yang levelnya adalah provinsi serta bertaburan banyak media massa tetapi sangat miskin ruang publikasi untuk lembar budaya. Sungguh tidak relevan dengan hajat besar yang dipelopori oleh Dewan Kesenian Banten baru baru ini: Pertemuan Penyair Nusantara (PPN X) yang mendaulat Banten sebagai tuan rumah. Event ini berskala internasional dengan melibatkan 5 negara ASEAN yakni Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Diikuti pula oleh sastrawan-sastrawan beken dari seluruh penjuru tanah air. Artinya, Banten sebenarnya memiliki tradisi berkesenian, salah satunya adalah dunia kesusastraan. Tetapi hingga saat ini belum ada ditemukan media cetak di sini yang menyiarkan karya-karya sastra.
Penulis berprofesi sebagai pemancing di laut, ia seorang penikmat sastra
Tidak ada komentar