Resensi Buku_PERJUANGAN MASYARAKAT ADAT MELAWAN KUASA PEMODAL
Judul : Cermin Jiwa
Penulis : S. Prasetyo Utomo
Penerbit : Pustaka Alvabet
Tahun : Cetakan 1, 2017
Tebal : 264 halaman
ISBN : 978-602-6577-15-3
Pendirian pabrik di suatu wilayah sering kali menuai konflik. Terlebih, jika pabrik berpotensi besar merusak lingkungan. Selalu ada pro dan kontra. Hal inilah yang tergambar dalam karya S. Prasetyo Utomo ini. Pengarang peraih penghargaan Acarya Sastra tahun 2015 ini mengisahkan pergulatan kehidupan masyarakat adat di lembah Gunung Bokong di tengah upaya para pemodal yang hendak mendirikan pabrik semen di desa mereka.
Mula-mula, kisah digerakkan dua tokoh, yakni Aryo dan Zahra. Aryo seorang wartawan yang selalu meliput dan mengawal penduduk desa dalam memprotes pembangunan pabrik. Sedangkan Zahra, seorang dokter muda yang mendapat tugas mengabdi di lembah Gunung Bokong. Zahra pandai memetik harpa dan Aryo adalah wartawan yang mencintai alam. Keduanya merupakan pemuda idealis yang mendukung masyarakat adat dalam menolak pendirian pabrik semen yang akan mengeruk batu kapur di lembah Gunung Bokong.
Selanjutnya, kita dihadapkan pada pelbagai konflik yang tercipta di tengah kehidupan masyarakat Gunung Bokong. Kehidupan yang semula aman dan damai, mulai terusik sejak proyek pembangunan pabrik semen mulai berjalan. Masyarakat terbelah. Warga yang pro pendirian pabrik dipimpin Lurah Ngarso yang sudah menjadi kaki tangan para pemodal. Sedangkan, warga yang kontra berdiri satu barisan dengan Kodrat, sang tetua adat desa. Masyarakat adat yang kontra menyadari bahwa pabrik semen bisa merusak lingkungan kawasan Gunung Bokong tempat mereka hidup, bertani, dan mencari kehidupan.
Menariknya, penulis banyak mengeksplorasi nuansa lokal dengan pelbagai tradisi yang mewarnai kisah ini. Misalnya, suatu ketika masyarakat yang kontra berdemo di depan kantor Gubernur dengan menggelar pergelaran kuda lumping, dipimpin Kodrat. Namun, pihak yang pro pabrik tak mau kalah. Dengan disokong Lurah Ngarso, beberapa orang menggelar tari Barongan di sebelah pergelaran kuda lumping. Akhirnya, pergelaran keduanya berakhir riccuh karena dua kubu bertikay. Aryo yang meliput kejadian tersebut cidera, sedangkan Kodrat ditangkap pihak keamanan dan dimintai pertanggungjawaban.
Impian warga Gunung Bokong untuk menolak pabrik semen semakin berat ketika pada pemilihan lurah, yang terpilih adalah Gendon yang pro pabrik semen. Sementara itu, banyak warga yang sudah bersedia menjual tanahnya. “Ladang mereka ditambang dan digiling batu kapurnya, hingga menjadi cekukan danau,” keluh Kodrat pada Aryo ketika bebas dari tahanan (hlm 155). Namun, warga tak putus asa, mereka kembali melakukan demonstrasi dengan menggelar tarian Kuda Lumping. Kali ini langsung di depan istana negara dan menuntut untuk bertemu presiden.
Warga juga meminta bantuan pada Kiai Bisri, pengasuh pesantren di Lembah Bayang-bayang, sebelah desa Gunung Bokong. Kodrat meminta Kiai Bisri untuk berkenan hadir bersama warga yang berdemo di depan istana, agar presiden bersedia menemui mereka. Kiai Bistri pun hadir dan bergabung bersama para demonstran dan mengajak mereka berdzikir dan berdoa agar usaha mereka menemukan hasil. Tak lama kemudian, seorang ajudan presiden datang dan mempersilakan Kiai Bistri menghadap presiden.
Dukungan Kiai Bisri pada warga penolak pabrik semen membuat pihak pengembang gusar, termasuk Lurah Gendon. Ia juga iri karena banyak warga lebih menghargai Kodrat ketimbang ia sebagai lurah. Dalam sebuah pertemuan di rumah Kodrat, Lurah Gendon menunjukkan ketidaksukaannya pada Kiai Bisri. “Kenapa Kiai hadir di sini? Kiai selalu memihak Kodrat. Akulah lurah di desa ini. Apa Kiai tak tahu?” kata Gendon (hlm 195). Lurah Gendon bahkan mendorong Kiai Bisri, sehingga menciptakan kegaduhan. Lurah Gendon diusir warga dari rumah Kodrat, sampai akhirnya didemo ratusan santri di depan kantor Bupati. Namun, Kiai Bisri memaafkan Lurah Gendon.
Meski mendapat dukungan Kiai Bisri, pada kenyataannya warga masih melihat aktivitas pabrik semen di lereng Gunung Bokong. Pabrik itu terus beroperasi, sehingga warga kembali melakukan aksi penolakan. Dengan dipimpin Kodrat, kini warga berjalan kaki selama dua hari dari desa menuju kantor gubernur. Namun, usaha mereka kembali menemui jalan buntu. Mereka didesak aparat keamanan dan diusir kembai ke lembah Gunung Bokong, tanpa bertemu gubernur karena tengah dinas ke luar kota.
“Cermin Jiwa” menjadi judul yang pas. Sebab, novel ini mencerminkan pelbagai sifat manusia; mulai tentang ketamakan, keangkuhan, keserakahan, juga tentang kebeningan hati yang diekspresikan melalui cinta, pengorbanan, adat dan tradisi. Penulis menuturkan kisah dengan kata-kata sederhana yang lembut dan halus, sehingga mudah membuat pembaca terhanyut dalam pebagai belenggu jiwa para tokoh di dalamnya.
Perjuangan warga lembah Gunung Bokong menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup Aryo dan Zahra. “Mereka tak bakal kulupakan. Kehidupan mereka serupa dongeng,” ucap Aryo pada Zahra (hlm 244). Di akhir kisah, mereka berdua menikah dan meninggalkan lembah Gunung Bokong. Namun mereka terus mengenang. Mereka menyaksikan bagaimana perjuangan masyarakat dalam membendung kuasa pemodal yang hendak mendirikan pabrik yang bisa merusak bumi tempat mereka menyambung hidup dan bertani.
(Oleh: Al-Mahfud, penikmat fiksi, dari Pati)
Tidak ada komentar