TAUKAH ANDA? TERNYATA DI INDONESIA ADA DESA YANG PERNAH HILANG
(Mohon maaf dalam tulisan ini ada beberapa kalimat dan huruf yang terpaksa kami ganti dengan bintang: *, ini adalah kalimat sensitif yang tidak diperkenankan oleh advertiser website ini)
Desa (Dukuh) itu bernama Legetang yang kira kira saat ini berlokasi di Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara. Duku Legentang dikenal sebagai sebuah dukuh yang paling makmur di kawasan pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Tanah yang subur, hasil pertanian dan perkebunan serta peternakan yang melimpah menjadikan masyarakat dukuh atau desa ini memiliki tarap perekonomian sangat baik.
Tetapi sayangnya, menurut sejumlah sumber informasi yang dihimpun SIMALABA, masyarakat desa tersebut hidup dalam kebudayaan glamor dan hura hura. Kedai kedai minras, tempat esek esek, pergaulan bebas, hubungan anu antar keluaraga kandung, misal: ibu dengan anak kandungnya, pernah terjadi di wilayah ini (demikian menurut sumber tertentu). Bahkan yang paling mengerikan, di dukuh Legetang, berkembang kebiasaan anu yang menyimpang. Kaum penyuka sesama jenis atau saat ini dikenal el-ge-be-te menemukan surganya di sini
Masyarakat Dukuh Legetang umumnya ahli m*ksiat dan bukan ahli bersyukur. Perjudiann di sana merajalela, begitu pula minras, sangat cocok untuk daerah tersebut yang memang bersuhu dingin.
Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger, sebuah kesenian yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang kemudian berujung pada per-anu-an. Anu-an bebas benar benar berkembang di wilayah ini. Juga segala macam bentuk kem*ksiatan lainnya.
Hingga suatu ketika, Pada suatu malam, 17 April 1955, turun hujan yang sangat lebat di dukuh itu. Masyarakat Dukuh Legetang semakin nikmat tenggelam dalam dunia lalim. Hujan baru reda pada tengah malam. Tiba-tiba terdengar suara keras seperti sebuah hentakan dahsyat. Ada juga yang menyebutnya serupa dengan suara guntur yang sangat keras. Saking hebatnya, suara tersebut terdengar hingga ke desa-desa tetangganya. Namun malam itu tidak ada satu pun yang berani keluar karena selain suasana teramat gelap, jalanan pun sangat licin.
Ternyata penyebabnya adalah puncak gunung Pengamunamun yang berada tak jauh dari dukuh tersebut retak dan berjuta juta kubik tanah serta bebatuan melompat menuju dukuh. Menimbun pemukiman tersebut.
Sebanyak 332 jiwa penduduk Dusun Legetang dan 19 orang dari desa-desa tetangga yang tengah berkunjung ke dusun tersebut ikut tertimbun dan dianggap m*ninggal.
Beredar cerita tentang kondisi sosial masyarakat dusun yang sebagian besar berperilaku kurang terpuji, yang mengingatkan orang akan kaum S*dom Gomorah yang dihukum Tuhan dengan cara yang kurang lebih sama.
Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah itu bukan hanya rata dengan tanah, tetapi menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya meninggal. Gegerlah kawasan dieng.
Salah satu saksi hidup bernama Suhuri (72) yang merupakan warga Pekasiran RT 03/04 mengatakan, kejadian longsornya gunung Pengamunamun yang menenggelamkan Dukuh Legetang terjadi pada tanggal 16/17 April 1955, sekitar pukul 23.00 wib.
Menurut Suhuri, Warga sekitar kejadian mendengar suara guntur (longsor) yang sangat hebat. Waktu itu hujan turun sangat lebat, sehingga warga tidak ada yang keluar rumah. Pagi harinya, ketika hujan sudah mereda, warga pun mulai berdatangan menuju sumber kejadian semalam.
Sungguh mengagetkan, karena Dukuh Legetang yang tadinya merupakan suatu lembah yang sangat subur ternyata sudah tidak ada, yang ada hanyalah sebuah pucuk gunung Pengamun-amun yang longsor menimbun seluruh lokasi dusun Legetang berserta seluruh penduduknya.
Yang lebih mengagetkan lagi adalah, antara gunung Pengamunamun dan Dukuh Legetang terdapat jarak yang terpisahkan oleh jurang dan sungai. Namun jurang dan sungai tersebut sama sekali tidak terdapat tanda-tanda tertimbun longsor. Berarti, puncak gunung Pengamunamun telah terbang ke Dukuh Legetang.
Dari banyak sumber yang berhasil kami himpun menyebutkan, bahwa misteri ini membuat orang-orang banyak berpendapat, bahwa pucuk gunung tersebut terangkat dan jatuh menimpa Dukuh Legetang. Atau dengan kata lain, puncak gunung tersebut longsor tetapi longsorannya terlempar jauh ke lokasi Dukuh Legetang. Logikanya, potongan tanah longsoran seharusnya akan tertampung di sungai dan lembah di kaki gunung tersebut, yang jaraknya tentu lebih dekat. Tetapi ini kejadian yang berlangsung di luar nalar, tahun 1955.
Sungguh luas pelajaran yang bisa kita petik dari kisah nyata yang pernah menimpa Dukuh Legetang. Kisah ini tentu sangat mengingatkan kita dengan azab Allah SWT yang ditimpakan pada kaum Nabi Luth yaitu kaum S*dom dan Gomoroh.
Dan azab itu tidak berlaku untuk kaum Nabi Luth saja, azab itu bisa saja menimpa kaum zaman sekarang. Terbukti dengan kejadian nyata yang menimpa Dukuh Legetang.
Artinya sangat mudah bagi Allah SWT untuk mengazab manusia-manusia yang lalai dan ingkar pada-Nya.
Melihat fenomena zaman sekarang, yang mana k*maksiatan semakin merajalela, bahkan kaum penyuka sejenis seperti kaum Nabi Luth yang diazab karena perbuatannya kini makin banyak bermunculan secara terang-terangan.
Kisah tenggelamnya dukuh Legetang ini mungkin bisa juga kita kaitkan dengan istilah istidraj, apa itu istidraj? Istidraj adalah rizki yang banyak, melimpah tapi tidak membawa berkah malah merupakan suatu musibah. Hal ini sangat perlu diperhatikan pada diri kita.
Jika diri kita merasa rizki melimpah, hidup aman tentram, namun kualitas ibadah kita buruk, dan hati jauh dari mengingat Allah SWT. Maka sebaiknya segera bertaubat dan meminta petunjuk kepada Allah SWT.
Nabi SAW bersabda,
“Apabila engkau melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan m*ksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah.”
Kemudian Nabi SAW membaca firman Allah yang artinya,
“Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga bila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)
(Dirangkum dari IslamM dan berbagai sumber lainnya)
Tidak ada komentar