Edisi Minggu, 27 Agustus 2017_ Cerpen Neni Yulianti (Kota Cirebon)_AMNESIA
Embusan angin hangat menyapu wajahku. Bunga-bunga di sepanjang jalan ini menyembul perlahan, menyejukkan hatiku yang sedang gundah gulana menghadapi acara pagi ini. Kupercepat langkah memasuki ruang kelas 1 SD Negeri 2 Kebon Baru. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Tetapi aku bisa menghandle semua ketegangan di hari suntik imunisasi sekolah.
"Kamu gak takut disuntik?" Teman sebangku membuyarkan lamunanku.
"Gak, paling kayak digigit semut gitu, bentol dikit." Jawabku dengan datarnya.
"Wow... Kamu hebat! Aku takut sekali, kita pulang aja yuk pasti dibolehin Bu Guru." Bujuk Riri Anggraeni agak terbata-bata dengan diiringi banjir air mata.
Keringat dingin mengucur di keningku, perlahan turun ke sekujur tubuhku membasahi seragam putih yang baru disetrika Bibi tadi pagi. Kulihat pemandangan di kelas, ada yang menggelitik di hulu dada. Ada yang berteriak, ada yang bersembunyi di kolong meja, bahkan ada yang ngompol di celana.
Satu persatu Bu Dokter cantik memanggil nama-nama muridnya.
"Abdul Qodir!" Absen pertama dipanggil secara berurutan disesuaikan dengan abjad.
Kulihat Abdul Qodir ketakutan, dia menolak maju ke depan sambil memukul tangan Ibu Guru dengan kerasnya.
Aku tertawa dalam hati, kenapa anak lelaki cengeng banget ya? Gak kayak anak perempuan tangguhnya poll.
"Endang Erin Apriliani!" Selanjutnya gantian sahabatku yang cantik maju ke depan.
"Gak mau disuntik! Takuuuut!" Jawabnya, dengan posisi aneh maju mundur cantik kayak lagu Syahrini.
Sesekali menutupi wajah dengan kedua tangannya. Merengek kepada Ibu Guru Swanti untuk dipulangkan hari ini juga.
Aku tertawa sekali lagi dalam hati. Teman-temanku cengeng semua hari ini. Jika namaku dipanggil, aku pasti tangguh, gak kayak teman-temanku itu. Pikirku dengan angkuhnya. Kesombongan telah merasuki isi kepalaku, mengesampingkan sisi manusiaku bahwa aku juga memiliki kelemahan. Aku bersikap cool di depan semua orang, menjawab semua pertanyaan dengan simple, aku akan baik-baik saja di depan Bu Dokter Sri Hartatik yang cantik dan Bu Guru Swanti yang ramah nanti tanpa menangis atau ngompol di celana.
"Hayati Cantika!" Tiba juga giliran namaku dipanggil Bu Guru.
"Iyaa hadir.. Bu Guru!" Sahutku dengan nada yang melengking.
Aku maju ke depan dengan langkah yang mantap. Membawa rasa kepercayaan diri ke level tertinggi.
Kusodorkan lenganku dengan pasrahnya kepada Bu Dokter cantik berbaju serba putih itu. Kulihat wajahnya yang memesona pandanganku, tubuh tinggi semampai berbalut blazer putih warna kesukaanku, dipadukan kerudung pashmina merah muda dengan bros yang senada di ujung kerudung.
"Sudah selesai Neng Cantik! Bageur pisan si Eneng." Puji Bu Dokter dengan senyum manis sekali.
"Hmmm.. Terimakasih Bu Dokter." Seketika Hayati membalas pujian Ibu Dokter.
"Eh, sudah selesai disuntiknya ya Bu Dokter? Kok gak sakit ya? Gak berdarah? Gak serem seperti yang banyak diceritakan kakak kelas?"
Pertanyaanku menghujani Bu Dokter, cepat dan panjang seperti kereta api dengan relnya.
"Acara suntiknya sudah selesai."
"Ingat ya sayang, pulang sekolah langsung pulang, jangan mampir kemana-mana ya sayang! Ohya, kalau bisa hari ini tidak minum es dulu dan diminum obatnya ya."
Bu Guru menceramahi murid-muridnya tanpa mendengarkan suasana keributan di dalam kelas yang penuh suara jeritan dan teriakan histeris.
Pulang sekolah aku menjumpai Bibi yang menjemputku setiap hari dan mampir di salah satu penjual makanan favoritku, Ibu Mala. Di Kantin Bu Mala, aku langsung melahap jajanan kesukaanku dan tidak lupa membuka termos es dengan terburu-buru.
"Bagaimana Neng suntiknya tadi?" tanya bu Mala penjual nasi kuning tersohor di Sekolah Dasar Negeri Kebon Baru dengan teliti menatap Hayati.
"Gak apa-apa Bu, Neng hebat, gak cengeng kayak temen-temen." jawabku dengan santai sekali kayak di pantai.
Bibi langsung membayarkan jajanan yang sudah aku habiskan dan langsung mengajakku pulang dengan sepeda antiknya. Semilir angin pun menyejukkan hatiku kembali, tenang dan damai, aku merasakan kebahagiaan teramat sangat karena sukses disuntik tanpa cengeng dan harus menceritakan kejadian hari ini juga kepada ayah dan ibu di rumah nanti.
"Assalamu'alaikum.. Neng Hayati!" suara ketukan pintu berkali-kali. Satu ketuk, dua ketuk, tiga ketuk, empat dan lima ketuk. Bibi membukakan pintu dan menjawab salam Bu Mala yang terpogoh-pogoh membawa tas sekolahku.
"Wa'alaikumsalam wr.wb, ada apa Bu Mala? Kayak dikejar-kejar sama Satpol PP aja." Tanyanya dengan sangat keheranan kepada Mala Febriyani, sahabat karibnya tempat berbagi suka dan duka di kantin sekolah.
"Ini loh Mbak, tas Eneng tertukar dengan termos es milik aku! Neng Hayatinya mana?" Matanya yang tajam melongok ke dalam ruang tamu sambil menaikkan kedua alisnya berkali-kali.
"Hayati..Ini ada yang nyariin nih!" Bibi memanggilku dengan suara keras, seketika hentikan acaraku nonton kartun Doraemon yang sedang berlangsung.
"Iya, nanti Aku cari dulu.. Aku lupa menyimpan termos milik Bu Mala. " jawab Hayati dengan terbata-bata.
Aku menuju ruang tamu dengan seragam merah putih yang belum kulepas dari tubuhku. Melihat Bu Mala membawa tasku, keringat dingin bercucuran, jantungku berdegup lebih kencang melebihi nervous disuntik tadi pagi. Aku teringat dengan sebuah tas yang tidak asing lagi dan langsung menuju kamarku, mencari tutup termos es milik Ibu Mala yang tertukar tidak sengaja olehku.
Pikiranku langsung kacau, tubuhku menggigil gemetar tidak karuan dan tubuhku limbung tidak sadarkan diri.
Kejadian yang sangat memalukan pikirnya, ya memang Hayati memiliki penyakit suka lupa kalau sedang grogi, dia bisa kelihatan tenang di depan semua orang, namun di dalam batinnya grogi, bahkan keparahan Hayati dalam penyakit groginya itu sering ditampakkan dia saat diajak orangtuanya ke Mall dia ketakutan sama eskalator, saking takutnya dia jalan-jalan sendirian dan lupa bahwa dia sedang dalam pencarian kedua orang tuanya dan petugas Satpam.
"Nak, sedang cari siapa? Kenapa menangis saja? " tanya Security itu dengan menatap keheranan.
"Aku.. Aku.. ditinggal Mamah dan Papahku.. Aku nggak tahu di mana mereka. " Hayati meratapi diri sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
" Sabar ya, nanti Om Satpam carikan orangtua Neng sampai ketemu. " diusapnya kepala Hayati dengan kasih sayang, menenangkan ketegangan pada bocah cilik itu.
Kemudian, Security itu langsung menuju ruang informasi. Mendekati ke arah microfon di atas meja milik bagian SPG Mall.
" Pengumuman-pengumuman. Telah hilang seorang anak perempuan sedang mencari kedua orangtuanya dengan ciri-ciri berusia tujuh tahun dan berjilbab. Namanya Hayati Cantika. Siapa yang merasa kehilangan anaknya, harap menuju ruang informasi, terima kasih. " dengan sangat tegas diumumkannya berita kehilangan anak kecil di Mall.
Sontak saja, kedua orangtua Hayati mencari ruang informasi di ujung loby. Mendadak ingatan mamah dan papahnya memenuhi isi kepala mereka. Dilihatnya dengan cemas ruang informasi dan langsung cekatan menemui Security yang sedang meredakan tangisan anak mereka.
"Hayati! Sayang kemana saja? Tadi Mamah kira Hayati bersama Papah. " mamahnya menatap kedua bola mata Hayati dengan cemas.
"Apa? Kukira tadi Hayati bersama Mamah! tukas papahnya merasa tidak bersama putri kesayangannya itu.
Mereka berdua saling berpandangan, menatap heran kenapa bisa putrinya hilang di antara keramaian sebuah Mall besar.
"Mah, Pah, maafkan Eneng.. tadi Eneng asyik sendiri melihat badut yang sedang menghibur anak-anak itu. " tangisannya bertambah meledak.
Dipeluknya satu persatu tubuh mamah dan papahnya. Ada rasa lega di wajah Hayati Cantika. Semenjak itu Hayati tak pernah mau lepas dari genggaman kedua orangtuanya, kemana pun dia pergi selalu diantar. Kejadian itu sangat diingat Hayati sampai bertambah usianya memasuki usia remaja. Keanehan pada dirinya memenuhi ruang tanya di kepalanya. Kenapa bisa, Hayati yang sering mendapatkan rengking pertama di kelasnya dan sering menjuarai beberapa lomba, memiliki amnesia mendadak seperti itu.
Tentang Penulis:
Neni Yulianti, tinggal di Gn. Galunggung kota Cirebon. Ia bekerja di CV. Citra Mandiri Bersama. Puisi-puisinya pernah diterbitkan di media online www.wartalambar.com, nominasi 10 puisi pilihan Simalaba Award 2017, nominasi Antologi Puisi 47 penyair penerima Krakatau Award 2017.
Tidak ada komentar