Edisi Senin, 11 September 2017_Cerpen Farhan al Fuadi (Serang, Banten)_KANVAS UNTUK IBU
“Kalau memang kakak tidak mau mengurus ibu, lebih baik kakak pulang saja. Gak usah pura-pura baik. Aku sudah pusing melihat keributan kakak dan ibu.”
“Ok... Memang kakak tidak seperti kamu.”
“Sudah... sudah... kalian jangan bertengkar gara-gara ibu. Ibu bisa hidup sendiri tanpa dibantu siapa pun.”
Pertengkaran kecil kerap terdengar di rumah Jamal. Setelah ayahnya meninggal dunia kondisi keluarganya berubah 180 derajat. Dulu jauh sebelum H. Karim meninggal dunia keluarga kecil ini nampak rukun. Jarang sekali terdengar pertengkaran-pertengkaran seperti yang terjadi minggu sore itu.
H. Karim pensiunan guru SMPN 3 Kebupaten Serang memang dikenal warga Lopang Gede pandai mengelola keluarganya. Selama ada masalah selalu terselesaikan dengan baik. Padahal hidupnya hanya pas-pasan. Jamal anak bungsunya tidak sempat menyelesaikan pendidikan tingginya. Hobinya melukis.
Saat H. Karim pensiun ia baru duduk di kelas 2 SMP. Sementara Ibunya, Hj. Salma, hanya seorang ibu rumah tangga. Anak sulungnya, Aida, hanya lulusan D3 di bidang informatika akuntansi. Ia tidak ingin mengikuti jejak ayahnya. Aida bekerja pada sebuah perusahaan di Tangerang.
Sebagai seorang pensiunan guru, H. Karim tidak meninggalkan warisan yang banyak. Untuk kebutuhan mengurus jenazahnya saja uangnya sudah habis. Hanya sepetak rumah kecil yang ia tinggalkan untuk anak dan keluarganya. Sementara Hj. Salma, tidak bisa banyak bekerja karena usianya sudah tua. Tenaganya terbatas. Kebutuhan hidupnya ditopang oleh Jamal anak bungsunya yang tengah merintis usaha kerajinan dan kesenian. Penghasilannya belum stabil, jasanya baru digunakan orang dalam waktu-waktu tertentu saja. Itu pun tidak banyak. Sekali terima order, paling hanya satu atau dua orang saja.
Sementara kakaknya yang sudah berkeluarga tidak bisa ikut menghidupi ibunya karena jarak tinggalnya cukup jauh. Aida mungkin bisa merawat orang tuanya jika Hj. Salma mau tinggal bersamanya di Tangerang. Hanya, Ibu Hj. Salma tidak bisa meninggalkan rumah yang sudah meninggalkan banyak kenangan bersama mendiang suaminya. Rasanya berat hatinya meninggalkan dan melupakan begitu saja kenangan-kenangan manis selama mengarungi hidup bersama keluarga kecilnya. Pahit manisnya hidup sudah dia rasakan. Semua kesulitan di masa lalu menjadi kenangan indah bersama keluarganya.
Pertengkaran di sore itu sebenarnya berakar pada masalah ini. Aida tidak bisa terus menerus mengirimkan uang untuk ibunya. Apalagi sekarang ketiga anaknya sudah besar-besar. Waktunya dan pikirannya lebih banyak tersita untuk urusan keluarganya. Kecuali ibunya bisa ikut bersamanya ke Tangerang. Sementara Jamal yang agak gereget mendengar kakaknya yang mengeluhkan kerepotannya saat itu. Spontan emosinya tidak bisa dibendung. Dalam pikirnya, masa tidak bisa menyempatkan waktu barang satu jam mentransfer uang di bank untuk keperluan ibunya. Toh bukan untuk Jamal. Tapi untuk ibunya. Egonya jadi bangkit. Kalau hanya memenuhi kebutuhan makan harian – pikirnya – dirinya sendiri masih sanggup. Tidak perlu minta bantuan orang lain.
***
Simpang tiga pasar Royal seperti biasanya selalu ramai dipadati kendaraan. Mobil-mobil angkutan kota, mobil-mobil pribadi dari yang sederhana sampai mobil mahal berjejal di jalan ini. Pasar Royal sebagai pasar modern di kota Serang tak pernah sepi pengunjung. Di tambah lagi, jalanannya menjadi salah satu jalan trayek angkutan umum di kota Serang. Tak heran jika sore ini jantung kota Serang sangat bising. Derum mesin, pekik klakson dari yang bernada rendah sampai yang memekik tinggi, membuat telinga pengunjung penat tidak karuhan. Apalagi ini adalah hari Minggu.
Seperti biasa, Jamal membuka lapaknya tepat di simpang tiga. Di pinggir pintu masuk toko Lesmigo I, lukisan-lukisannya dipajang rapih sejak pagi jam 09.00. Jamal sangat sadar. Kalau hasil penjualan lukisan tidak akan seramai jual bakso. Apalagi interest masyarakat kota Serang terhadap benda kesenian tidak sebesar masyarakat di Jogjakarta.
Pasar Royal bukan jalan Malioboro yang memamerkan tidak sedikit toko-toko seni. Sampai jam 16.00, koleksinya belum ada yang menawar sedikit pun. Atau mungkin dilirik juga tidak. Tentu ini bukan karena hasil karyanya tidak berkualitas, tetapi minat orang kepada karya seni, seperti lukisan, sangat rendah. Isi kepala mereka baru terpikat pada kebutuhan isi perut dan baju untuk bergaya.
Dari kejauhan, terlihat orang-orang berhamburan, beringsut kocar-kacir, seperti berusaha menyelamatkan diri dari bahaya. Beberapa meter di belakang mereka, banyak orang berseragam hijau kecoklatan. Ada oprasi PKL rupaya. Satpol PP menggebrak-gebrak lapak para pedagang kaki lima.
Sudah satu minggu sebenarnya maklumat pemerintah Kota Serang disebarluaskan ke seluruh pedagang kaki lima yang nongkrong di trotoar pasar Royal. Alasannya untuk menertibkan jalur lalu lintas agar tidak macet.
Jamal sangat kaget. Segera bergegas merapihkan seluruh koleksi lukisannya. Pikirnya, semua koleksinya adalah jantung kehidupannya. Sudah berapa rupiah modal yang dikeluarkan untuk usaha yang tidak jelas ujungnya ini. Petugas Salpol PP nampak semakin beringas ketika melihat para pedagang kaki lima berlarian menyelamatkan diri. Semua lapak PKL diacak-acak. Sebagian ada yang berhasil dirajia dan diangkut ke mobil truk. Jamal semakin panik ketika rombongan Satpol PP semakin mendekatinya.
“Ayo Jamal, selamatkan dagangan kamu.....!!!”
Herman, pemilik loper koran di simpang tiga mengajak Jamal sambil berlari tunggang langgang. Tangannya menggendong koran-korannya yang belum habis terjual sampai sore itu. Jamal tidak sempat merapihkan semua dagangannya. Karena media lukisannya berukuran besar-besar. Paling kecil berukuran 40 cm x 40 cm.
“Hei... mau kemana kamu... ayo angkut lapaknya. Sudah dengar maklumat wali kota untuk swiping jalanan pasar Royal? Masih dagang saja... mulai saat ini perdagangan kaki lima di pasar Royal tidak diizinkan lagi!”
“Ya, saya sudah tahu soal itu... tapi lapak saya jangan diangkut pak... itu satu-satunya sumber penghidupan saya untuk keluarga...”
“Ah... sekarang sudah tidak ada lagi toleransi... semua harus disita... kalau mau besok senin kamu datang ke pengadilan negeri kota Serang...”
“Pak... pak... tapi lukisan saya jangan dirusak pak...”
Jamal mendorong salah seorang petugas yang menginjak-injak lukisannya yang tercecer di atas trotoar dan teras pertokoan. Petugas seperti yang tidak perduli. Mereka berlalu begitu saja.
Perdebatan kecil terjadi antara Jamal dan petugas Satpol PP yang tidak bisa lagi berbaik hati. Semua lapak PKL yang tidak berhasil diselamatkan pemiliknya diangkut. Termasuk lapak Jamal. Jamal berusaha mencari alasan agar lapaknya tidak diangkut. Pikirnya kalau sampai diangkut dia harus mengeluarkan berapa rupiah lagi untuk diputar menjadi modal baru. Atau mungkin saja menyelamatkan lapaknya dengan membayar denda di pengadilan negeri. Hasilnya sama saja ia harus mengeluarkan uang lagi.
Jamal marah tidak tanggung-tanggung. Apalagi beberapa lukisannya dirusak oleh petugas.
“Ya sudah angkut saja... angkut... pemerintah memang selalu berpihak kepada yang punya modal. Tidak pernah memberi perhatian kepada pedagang-pedagang kecil... mana keadilan... katanya pedagang kecil tulang punggung ekonomi negara…..!!!”
Jamal teriak-teriak di pinggir truk Satpol PP, seperti orang kerasukan.
“Hei... jaga mulut kamu... kalau tidak mengerti urusan pemerintah jangan mencaci maki kaya orang gila... atau kamu juga akan saya amankan...”
Salah satu petugas Satpol PP membentak Jamal. Wajar, mereka kan bodigar-bodigarnya penguasa. Mobil petugas yang penuh dengan lapak PKL akhirnya pergi meninggalkan Jamal. Jamal hanya bisa diam. Tak kuasa menahan amarah yang meledak-ledak di dadanya. Ia duduk menjatuhkan badannya ke lantai teras toko Lesmigo I. Pikirannya entah terbang kemana. Wajahnya nampak kusut. Marah, kesal, benci, dan sedih bercampur aduk seketika. Tinggal beberapa kanvas saja yang bisa diselamatkan. Yang lainnya hancur diacak-acak Satpol PP.
***
“Aduh.. Bu Yati, bukan saya tidak ingin berbaik hati kepada Ibu. Tapi hutang-hutang ibu di warung saya sudah terlalu banyak. Saya kasian sama Ibu Yati dan Jamal. Bagaimana bayar hutangnya nanti. Saya sih sebagai tetangga senang saja bisa membantu Ibu Yati walau hanya memberi hutang.” Ujar Pak Kasman pemilik warung sayur mayur dan sembako. Warungnya Pak Kasman terletak tidak jauh dari rumah Jamal dan Bu Yati.
Selang 100 meter sebelum rumah Jamal kalau masuk dari gang Masjid Lopang Gede. Pak Kasman memang satu-satunya warung sayur mayur dan sembako di kampung Lopang Gede. Pak Kasman dikenal warga sebagai orang yang ramah. Ia tidak pernah keberatan kalau ada tetangga yang menghutang kepadanya.
Ibu Yati hanya bisa termenung sejenak mendengar jawaban Pak Kasman. Bagaimana ia dan Jamal bisa menyambung hidup. Untuk sesuap nasi saja, tidak ada uang sepeser pun yang bisa dipakai. Apalagi semenjak usaha Kaki Lima Jamal diobrak-abrik petugas di pasar Royal. Sekarang Jamal harus merintis ulang usahanya dari nol. Ia hanya bisa mengadalkan teras rumahnya untuk mangkal. Penghasilan usahanya hanya mengandalkan pesanan yang datang. Tapi Jamal pantang menyerah. Hampir tiap hari kuasnya terus menorehkan cat di atas kanvas.
“Ngomong-omong, berapa hutang saya di warung pak Kasman?” Ibu Yati bertanya kepada Pak Kasman. Sekedar bertanya dan ingin memastikan berapa jumlah hutangnya di warung tersebut.
“Maaf Bu Yati, saya hanya menghitung yang tercatat saja oleh saya yaitu sebesar 1.500.000. kalau yang tidak tercatat atau yang tidak teringat saya ikhlaskan saja. Yah... hitung hitung saya beramal saja. Ikut meringankan beban hidup Ibu Yati dan Jamal. Apalagi sekarang Jamal tidak ke mana-mana.”
“Oh, pak Kasman, hutang saya sudah besar sekali. Bagaimana saya bisa membayarnya?”
“Yah.. kalau soal pembayaran dicicil saja, bu. Gak usah merasa terlalu terbebani. Kemarin sore Jamal juga sudah tahu, kok. Ada mampir ke warung saya ngcek catatan hutangnya.”
“Ia.. Pak Kasman, saya bingung sama Jamal. Mboh dibantu cari kerjaan toh..”
“Ya. Bukannya saya ga mau bantu. Tapi bagaimana saya bisa bantu, bu Yati. Saya Cuma tukang sayuran kampung gini. Paling banter nawarin kerjaan jadi kuli panggul.”
“Ya. Sudah. Kalau begitu. Saya mau nunggu Jamal dulu. Mungkin saja dia dapat uang sore ini. Saya akan bilang ke Jamal agar meluniasi hutang seadanya dulu.”
Setelah itu Ibu Yati meninggalkan warung Pak Kasman dengan langkah sedikit lesu. Tapi wajahnya pandai menyembunyikan beban hidup yang maha dahsyat. Setelah kepergian suaminya. Keadaan ekonominya berbalik 180 derajat. Satu-satunya sandaran hidupnya adalah Jamal. Anak pertamanya tinggal di Tangerang. Karena kesibukan kerjanya yang padat. Hampi tidak punya waktu menengok orang tuanya. Atau bahkan sudah tidak sempat memikirkan nasib ibu dan adiknya di Serang.
Jamal sebenarnya bukan tidak berusaha mencari kerja. Tapi apa yang bisa diharapkan dengan ijazah SMA? Pabrik, kantor-kantor, restoran, toko, swalayan dan lain sebagainya sudah didatangi Jamal. Tapi hasilnya tetap nihil. Jamal hanya bisa berpikir, menggali dan memanfaatkan potensi pribadi akan lebih berharga dari pada harus mengemis pekerjaan yang akhirnya tidak memiliki ujung pangkal.
Jiwa enterpreneurshipnya tumbuh kembali. Bekerja dalam pandangannya bentuk lain dari pada ketidakberdayaan dalam mengarungi hidup. Karena masih harus menggantungkan nasib kepada tempat kerjaan dan sirkulasi keuangan tempat kerja. Meski usahanya yang sudah dirintis sejak lama, hancur seketika. Kegagal tersebut baginya bukanlah akhir dari perjuangan, tapi justru langkah awal dari kesuksesan. Ia yakin, setelah ini kesuksesannya akan menanti di masa depan. Perlu keberanian dan modal nekat untuk menjalani prosesnya.
***
“Ya, aku harus merintis usahaku dari nol kembali, aku harus yakin menjadi pelukis itu bisa hidup dan bisa menghidupi orang lain. Ini lebih baik dari pada harus bangga dengan baju seragam Se-pe, nongkrong-nongkrong di perkantoran. Aku yakin tangan Allah tidak terbelenggu, mata-Nya tidak buta, telinga-Nya tidak tuli, rahmat-Nya selalu ada bagi siapa saja yang mau berjuang. Aku yakin itu. ” Hatinya bergumam sambil jari-jarinya memutar-mutar kuas lukis, di depannya masih ada kanvas kosong yang masih belum tergores cat sedikit pun.
Di dalam pikirannya hanya ada ibu. Seakan-akan Jamal sudah tidak peduli lagi masa depannya. Yang terpenting baginya mampu menopang hidup ibunya dengan hasil keringatnya sendiri. Sementara saudara-saudaranya sudah tidak lagi punya waktu mengunjungi ibu mereka. Paling-paling nanyakan kabar dari jauh lewat handphon. Kalau bukan Jamal, tidak ada lagi orang yang menopang hidup ibu Yati.
Jamal sangat sadar untuk memulai usahanya yang sudah hancur butuh modal tidak sedikit, entah jadi apa seluruh asetnya setelah dibongkar paksa oleh SATPOL PP di trotoar pasar Royal beberapa bulan yang lalu. Yah, biasanya memang begitu, pemerintah cuma mengerti bagaimana cara rakyatnya nurut dan takut melanggar hukum dan peraturan. Tapi cara membangun perekonomian rakyat demi mewujudkan warga yang sejahtera lahir dan batin masih jauh dari pengetahuan para pejabat setingkat pejabat-pejabat eselon sekalipun, yah termasuk para anggota dewan. Mereka ahli teori saja, prakteknya?
Kuasnya mulai menari lincah, ringan tapi pasti. Menggoreskan cat-cat minyak setapak demi setapak di atas kanvas. Waktu terus berjalan, hampir dua jam, herman masih berdiri di depan kanvasnya. Hingga akhirnya pada titik terakhir bulu-bulu kuasnya menorehkan cat hitan setitik di dagu sebuah wajah yang baru saja ia lukis.
“Jamal… Jamal… Jamal….” Jamal seketika terkaget keasikannya menikmati lukisan wajah ibunya buyar seketika.
“Ada apa si Herman, rebut-ribut di depan rumah?”. Jamal bergegas keluar ruang sanggar. Di teras sanggar Herman masih ngos-ngosan sambil nenteng Radar Banten.
“Ini.., Jamal, ini, ni…, lihat.., lihat…, ada undangan terbuka untuk peserta pameran lukisan di Balai Budaya Provinsi Banten. Evennya diselenggarakan minggu depan bertepatan dengan perayaan Hari Ibu.” Herman memberi tahu Jamal sambil tergopoh-gopoh.
Jamal sigap langsung mengambil Koran yang ditenteng Herman. Sejenak matanya serius membaca pojok iklan yang dicetak di sudut Koran. Matanya seketika terikat pada sebaris kalimat:
“Bagi peserta yang dinominasikan sebagai lukisan terbaik, akan mendapat hadiah uang tunai sebesar Rp. 30.000.000, dan lukisannya akan diabadikan sebagai lukisan bakti anak kepada ibu di Balai Budaya Provinsi Banten.”
Tanpa permisi lagi Herman sudah masuk ke ruang sanggar Jamal. Dan mulut berdecak-decak kagum melihat lukisan wajah ibu Jamal terpampang sangat indah berjiwa.
“Hehe.. Jamal sebaikny kau daftarkan lukisan barumu ini ke Balai Budaya… Aku yakin pasti kau masuk nominasi.” Herman berteriak dari dalam sanggar.
“Aku sebenarnya tidak tega, kalau harus menawarkan wajah ibuku di sana agar aku mendapat popularitas.” Jamal menangkis usulan Herman dengan nada datar.
“Ya, aku sih cuma usul, ya, kesananya terserah sampean, yang pasti aku rasa lukisanmu ini adalah yang terbaik dari yang sudah kamu buat, Jamal...” Herman berlalu keluar sanggar. “Ya, sudah deh kalau begitu aku pulang dulu ya, jangan lupa, daftarkan lukisanmu yang terbaik itu!”
***
“Hah, kemana lukisanku….?” Jamal sangat kaget begitu melihat lukisan ibunya sudah tidak lagi di tempatnya. Padahal kain putih yang disediakan menutupinya masih nenteng di kaki penyanggah lukisan dengan rapih.
Ia begitu panik. Tidak tahu harus kemana ia cari lukisan tersebut. Memang beberapa hari ini Herman tidak berkunjung ke sanggarnya. Padahal letaknya di serambi depan rumahnya.
Di tempat lain ada orang tengah berkerumun ramai di depan sebuah dinding di dalam gedung Balai Budaya Banten. Mulut mereka mengamburkan pujian-pujian kagum. Lukisan itu tiba-tiba menjadi buah bibir para pengunjung pameran siang itu.
Sementara itu panitia sudah memegang daftar nama yang masuk ke dalam nominasi pelukis terbaik dengan karya yang penuh cinta dan dedikasi. Sore itu juga hasil juri sudah siap mengumumkan hasil sidang penilaian tahap akhir lewat surat undangan resmi dari Gubernur Banten.
Jamal, tertegun di atas kursi rotan di depan rumahnya sore itu. Matanya menerawang dalam ke dalam selembar surat yang baru saja ia terima dari seorang karyawan pemprov. Yah, surat undangan dari panitian sayembara untuk Jamal dinobatkan sebagai pelukis penuh dedikasi dan cinta di malam Festival Budaya Banten. Sabtu malam esok.
Pikirannya bertanya-tanya, siapa yang sudah mendaftarkan namanya sebagai nominator pelukis terbaik pada festival tersebut? Jangan-jangan surat undangan itu sudah salah alamat?
Farhan al Fuadi, penulis kelahiran Karawang aktif sebagai guru relawan di Yayasan Bhakti Banten Cikeusal-Serang dan anggota Komunitas Sastra Gunung Karang Pandeglang. Aktif menulis ilmiyah dan sastra utamanya puisi. Puisi-puisi karyanya kerap dipublikasikan di Simalaba dan Majalah Mutiara Banten. Antologi puisinya yang siap rampung adalah Ke Lain Peristiwa.
Tidak ada komentar