PUISI DAN NARASI SEORANG NABI_Oleh: Bagus Likurnianto
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
(Belum berhonor)
Puisi
adalah semesta yang ada di dalam jiwa manusia. Puisi hidup tanpa ada batasan.
Dikatakan demikian, karena puisi tidak akan pernah hilang sekalipun penyairnya
sudah tidak lagi pada jiwanya. Penyair juga bisa dikatakan sebagai seorang yang
abadi bersama tulisannya, karena penyair akan senantiasa hidup bersama manfaat
yang ada pada puisinya.
puisi biasanya dituliskan dan di abadikan
dengan tujuan tertentu yang intinya mendatangkan manfaat bagi generasi masa
depan. Lalu, bagaimana dengan pendahulu kita? Apakah ada puisi di dalam
kehidupan di masa lampau? Apakah mereka sudah mempersiapkan ilmu mereka untuk
kita?
Titian kisah para nabi yang diabadikan sebenarnya
banyak yang mengandung kisah puitis. Contohnya saja kisah pada zaman Nabi
Zakaria. Suatu hari Zakaria datang menjenguk Maryam, anak saudaranya di mihrab.
Karena Maryam sedang bersembahyang, ia tidak menghiraukan segala apa yang
datang padanya, termasuk kehadiran Zakariya. Ada peristiwa yang mengherankan
bahwa di depan sembahyangnya Maryam terdapat buah-buahan musim panas padahal
mereka sedang berada dalam musim dingin. Setelah selesai bersembahyang, Maryam
mendapat pertanyaan dari Zakariya : “wahai Maryam, dari manakah engkau
memperoleh rezeki ini, padahal tidak seorang pun mengunjungimu dan tidak pula
engkau pernah meninggalkan mihrabmu? Selain buah-buahan ini adalah buah buahan
musim panas yang tidak dapat di beli di pasar pada musim dingin ini.”.
Maryam menjawab : “ ini adalah Pemberian
Allah yang aku dapat tanpa aku berusaha atau minta. Di waktu pagi dikala
matahari terbit aku mendapatkan rezekiku ini sudah berada di depan mataku,
demikian pula bila matahari tenggelam di waktu senja. Mengapa paman merasa
heran dan takjub? Bukankah Allah berkuasa memberikan rezekinya kepada siapa
saja yang Dia kehendaki dalam bilangan yang tak ternilai besarnya?” (Ihsan,
2016).
Dari kutipan di atas, sangat jelas terdapat
bahasa puisi dalam percakapan Zakariya dan Maryam perihal pemberian rezeki, di mana
Maryam berkedudukan sebagai wanita pilihan Allah. Alih-alih jawaban Maryam
mengatakan “di waktu pagi dikala matahari terbit aku mendapatkan rezekiku
ini sudah berada di depan mataku, demikian pula bila matahari tenggelam di
waktu senja”, itu merupakan kalimat yang sudah bisa dikatakan sebagai
puisi.
Konsep mengenai cerita tersebut ditujukan pada
kondisi masyarakat pada. Al-Qur’an menjelaskan kondisi-kondisi orang yang
menjalankan suluk dan yang membangkang. Al-Ghazali meringkas cerita
mengenai hal tersebut : “adapun kondisi orang-orang yang menjalankan suluk
adalah cerita-cerita tentang para Nabi dan Wali, seperti cerita Adam, Nuh,
Ibrahim, Musa, Harun, Zakaria, Yahya, Isa, Maryam, Daud, Sulaiman, Yunus, Luth,
Idris, Khidir, Syu’aib, Ilyas, Muhammad, Jibril, Mikail, Malaikat dan
lain-lainnya. Sementara kondisi orang yang membangkang adalah cerita perihal
Namrud, Fir’aun, Ad, kaum Nabi Luth, kaum Tuba’, Ashabul Aikah, kafir Makah,
para penyembah berhala dan lain-lain. Kegunaan pembagian ini
adalah untuk menakut-nakuti, memperingatkan dan memberikan pelajaran. Pembagian
ini juga mencakup misteri, simbol-simbol, dan isyarat-isyarat yang membutuhkan
pemikiran panjang” (Ghazali, 1995 :14-15 via Abu Zaid, 2011 :364).
Dalam pernyataan di atas, mengenai misteri,
simbol-simbol, dan isyarat-isyarat yang membutuhkan pemikiran panjang, pendapat
saya mengungkapkan bahwa hal yang demikian itu merupakan perihal yang
membutuhkan penafsiran. Layaknya puisi yang sama halnya membutuhkan penafsiran
akan isi yang terkandung di dalamnya. Terlebih lagi cerita yang ada dalam
al-Qur’an merupakan konsep yang menyesuaikan kondisi masyarakat masa silam yang
sukar ditafsirkan.
Al-Ghazali memasukkan masa pembentukkan dan
keterbukaan teks. Tidak dapat disangsikan bahwa teks merefleksikan masyarakat
pada masanya sebagai sasaran teks, seperti teks merefleksikan kondisi Nabi
sebagai penerima pertama dan sebagai penyampai. Akan tetapi, yang baru dalam
konsep al-Ghazali adalah dimasukkannya salah satu dimensi kepenyairan.
Selain itu, refleksi kisah yang ada dalam al-Quran dirasa sangat terbuka. Untuk itulah dibutuhkan penafsiran yang cukup mendalam. Selain yang ada dalam al-Qur ‘an, mengenai puisi sendiri terkadang juga membutuhkan penafsiran yang demikian karena biasanya seorang penyair menuliskan puisinya di bawah kesadarannya atau dengan kata lain penyair melewati jalan spiritual dalam memaparkan puisinya yang terkadang masih bersiat global dan tidak sembarang dalam menafsirkannya. “penyair yang betul-betul penyair tidaklah tinggal diam, dengan sendirinya dia memperkaya batin, memperkaya kemampuan bahasa, kemampuan imajinasi keaspekannya” (Wachid BS, 2005 :126). Dalam diri seorang penyair, terutama penyair Islam tentunya kebanyakan mereka juga memperkaya batin, kemampuan berbahasa, dan aspek imajinasi. Lihat saja karya-karya penyair Islami yang ada, sudah pasti dapat terlihat wacana dengan aspek imajinasi yang mampu membawa kita sampai pada perasaan dengan kemampuan bahasa yang mereka miliki sehingga penafsirnya pun tidak boleh sembarang menafsirkan.
Selain itu, refleksi kisah yang ada dalam al-Quran dirasa sangat terbuka. Untuk itulah dibutuhkan penafsiran yang cukup mendalam. Selain yang ada dalam al-Qur ‘an, mengenai puisi sendiri terkadang juga membutuhkan penafsiran yang demikian karena biasanya seorang penyair menuliskan puisinya di bawah kesadarannya atau dengan kata lain penyair melewati jalan spiritual dalam memaparkan puisinya yang terkadang masih bersiat global dan tidak sembarang dalam menafsirkannya. “penyair yang betul-betul penyair tidaklah tinggal diam, dengan sendirinya dia memperkaya batin, memperkaya kemampuan bahasa, kemampuan imajinasi keaspekannya” (Wachid BS, 2005 :126). Dalam diri seorang penyair, terutama penyair Islam tentunya kebanyakan mereka juga memperkaya batin, kemampuan berbahasa, dan aspek imajinasi. Lihat saja karya-karya penyair Islami yang ada, sudah pasti dapat terlihat wacana dengan aspek imajinasi yang mampu membawa kita sampai pada perasaan dengan kemampuan bahasa yang mereka miliki sehingga penafsirnya pun tidak boleh sembarang menafsirkan.
Lihat kutipan puisi karya Jalaludin Rumi berikut. “Kutelusuri bentangan sajadah dan masjid dengan segala hasrat dan kekhusyukan. Ku kenakan pakaian pertapa untuk memperkaya kebajikan...”. Dari sedikit kutipan saja imajinasi kita sudah terbawa pada perasaan dan mulai mencoba menggambarkan peristiwa yang ada. Hal itu dikarenakan Rumi memang sudah mumpuni dalam memainkan bahasa dan aspek imajinasi di dalam karyanya.
Kembali kepada ungkapan Maryam terhadap pertanyaan Zakaria. Maryam memang tidak dikatakan sebagai seorang penyair tetapi kata-katanya bernuansa puitik. Refleksi pembentukkan teks pada perkataannya sangatlah terasa yang membawa pembaca sampai kepada imajinasi dan perasaan sebagaimana syair Jalaluddin Rumi di atas.
Maryam yang merupakan wanita pilihan Allah,
perkataanya jelas bukanlah tutur kata yang sembarangan. Menurut pandangan saya,
Maryam menyatakan hal itu melalui jalan spiritual. Sebagaimana dalam menulis
puisi yang dilakukan melalui jalan spiritual “penyair sepertinya didikte
oleh suara ruh. Penyair hanya bertugas sebagai pelaksana dari suara ruh.
Sementara itu, ruh memerlukan badan, yakni bahasa, dan karenanya suara ruh itu
meminta bahasa agar dapat meruang dan mewaktu” (Wachid BS., dkk, 2017 :3).
Dalam perkataan Maryam, bisa jadi ia hanyalah sebagai pelaksana ruh. Ia
dituntun untuk memberikan jawaban mengenai keagungan Allah atas pertanyaan
Zakaria itu.
Mempelajari tutur bahasa puisi pada zaman Nabi
tentunya membawa kita sampai kepada suatu manfaat. Kisah Zakaria dan Maryam
adalah salah satunya. Dapat kita ambil pembelajaran yang ada pada kisah
tersebut yaitu rasa keyakinan yang kuat terhadap Allah bahwasanya tidak ada
yang tidak mungkin bagi-Nya, Allah pemberi rezeki kepada setiap yang
dikehendaki-Nya karena sudah pasti kehendak-Nya itu mutlak. Tidak hanya pada
kisah Zakaria dan Maryam saja yang mengandung banyak kisah puitis yang
bermanfaat, melainkan kisah seluruh Nabi pun boleh jadi masing-masing memiliki
kisah puitisnya tersendiri.
Mempelajari narasi puisi pada zaman Nabi sudah
tentu bisa mendatangkan banyak hikmah. Permasalahannya adalah mau atau tidaknya
generasi saat ini menggali kembali kisah masa silam sebagai media pembelajaran,
khususnya penyair di era milenial. Bagaimana dengan anda? Apakah anda bersedia
menyusuri masa silam untuk menemukan puisi?
Tentang Penulis
Bagus Likurnianto. Kelahiran Banjarnegara 9 Januari 1999.
Beralamatkan di Dukuh Taman Sari, Kelurahan Parakancanggah, RT 04/I
Banjarnegara. Kegemarannya membaca dan menulis. Beberapa tulisannya pernah dipublikasikan
di Pikiran Rakyat, Radar Mojokerto, Kabar Madura, Nusantaranews dan juga
pada beberapa publikasi di antologi. Saat ini ia masih berstatus sebagai
mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam dan bergiat di Sekolah Kepenulisan
Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto.
Tidak ada komentar