Puisi Juli Prasetya _"SEMILIR LAUT DAN KEPULANGAN PENYAIR"
SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU: EDISI 11
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak ( minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam.
Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Berhonor dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)
Redaksi juga menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)
(klik video di bawah ini untuk menonton animasi puisi)
SEMILIR LAUT DAN KEPULANGAN PENYAIR
Semilir angin laut yang menggulung ombak menuju alis matamu
Di dermaga nelayan menghitung almanak tentang rasi bintang di langit dadamu
Rindu yang masih basah
kita titipkan pada bongkahan karang dan buih ombak yang menuntun arah
Semribit gelombang di rongga dadamu menjerit
Disinilah anak-anak kita memimpikan langit
Adakah desau angin dan gemuruh ombak
Menjadi saksi perjumpaan kita pada sepertiga malam pertama
Kita tadaburi alam
Kita mesrai malam
Dan serpihan kenangan akan kita rajut
Sepanjang perjalanan pulang
Biarkan ombak membawa keluh resahku
Berkelindan dengan pasang gelombang yang melarung rindu
Kita berceita pada malam tanpa suara
Dan ciuman ombak yang masih sama
Kita kekalkan janji tentang masa lalu
Bersama puisi dan lilin-lilin yang mulai mati
Sampai keningmu mencium sujudku di tubir pantai
kemudian laut menelan doa-doaku yang menderai
angin berbisik, ombak menderu rindu, daun meluruh sampai jauh ke hela nafasmu
menceritakan kisah air mata dan ghazal kesetiaan Cinta
“ Jangan teriak ombak” katamu
Pada suatu pagi di tempat yang berserakan dengan puisi
Pulanglah kedalam juntrung jantungku
Kembalilah ke pulau berhati
Dengan Membawa secarik kertas untuk kita berpuisi atau bercerita lagi
Menganti-Purwokerto, 30 Mei-5September 2015
HIKAYAT KAIMAN
;Mengenang Joko Kaiman dan Adipati Wirasaba
Maka ketika tiba-tiba kabar kematian ayah menjalar kedalam darah dan sungsum tulangmu
Betapa perih mendengar jantung ayah di tikam oleh utusan murka sang raja
Wirasaba gelap, semua menangis, sungai-sungai Wirasaba meluap mengabarkan dukacita kepada langit
Maka adakah penyesalan yang datang di awal hari?
Oh raja betapa gulita pedalaman dadamu, murka yang kau ciptakan dari mulut beracun toyareka, menjadikan muntab segala gemuruh langit yang kau kirimkan melalui hulubalang kematian
Dan ayah sempat bersumpah kepada sang maut
“ tak ada keturunanku boleh merindu mulut beracun, tak ada yang safari di sabtu paing dan janganlah sekali-kali memakan keturunan angsa di dalam rumahmu sendiri”
Dan pesan itu menjadi azimat anak cucu melihat masa lalu
Maka sampailah saat-saat kaiman pergi, membawa sebilah keberanian yang ia simpan di dalam dadanya sendiri “ biarlah kematian yang akan kutanggung sendiri, dan jika anugerahlah yang datang padaku janganlah kalian berkecil hati” , lalu berangkatlah kaiman menemui raja yang sedang dirundung sesal setengah mati
Raja masih merenung mendapati kaiman datang dengan kuyup di wajahnya
“ dimana saudaramu kaiman?” tanya raja
“cukuplah sahaya yang menerima murkamu, murka dari segala kebencian yang tak pernah ku tahu akan kemana hilirnya, murka dari segala pitnah, dan disini sahaya menjadi tumbal untuk membendung segala kerisauanmu paduka” jawab kaiman
Hancur hati raja mendengar kenyataan dari langit, jika segala sesal ia kumpulkan apakah masih bisa mengganti nyawa dari seorang ayah yang telah mati
Lalu upacara-upacara pengangkatan kaiman dikumandangkan, segala kesedihan ia larung diganti dengan iring-iringan kerajaan.
“kaiman, kumandatkan padamu gelar adipati untuk mengatur segala isi muka bumi almarhum ayahmu, jadilah engkau wargahutama dua, dan dengan segala maaf kuabadikan dalam doa-doaku menuju surga, menuju ayahmu, menuju gusti pangeran agar berkenan memaafkan segala dosa dan prasangka”
Kaiman berdiri, ia tak menangis, ia tak tertawa mendapat anugerah yang tiba-tiba
Ia tetap ngungun atas anugerah yang disematkan padanya, karena kaiman tak ingin menjadi orang yang rakus dan lupa, maka dibagilah segala kekuasaan dan kebahagiaan kepada 4 penjuru mata angin, mulai dari Wirasaba, Merden, Banjar Pertambakan, dan kembali kepada angin di Kejawar
Maka semenjak itu dikenanglah sang adipati dengan sebutan adipati mrapat
Merapatkan yang terberai, merapatkan yang dingin, merapatkan yang jauh, merapatkan segala kenangan menjadi sebuah hikayat yang tak habis untuk diceritakan
Purwokerto, 2016
AMSAL DARI SEGALA DOA
Aku mengenang sebuah jalan tempat kita menyimpan segala kenang
Mereka menjelma kata, makna sampai pada hakikat tiada
Mengalamatkan segala jarak, agar rindu tetap bergerak
Sampai kita bersua melepas kangen dan segala resah
Memasrahkan pada dinding-dinding doa
Agar getar tetap sabar dan gemetar
Mungkin di perbatasan sepi kita akan menemukan titik sunyi
yang biasa diziarahi oleh doa, air mata, dan janji yang paling azali
Apakah Kita sempat mencatat kata-kata yang bergetar dan gemetar
yang meringkuk dipojokan pasar, rumah sakit, taman dan masjid.
Sedangkan kita masih bersetia pada gigil hujan pertama
Saling mendekap diantara Biru laut hatimu dan gersang gurun pasirku
Seumpama kelindan cahaya alastu
Kita bersaksi untuk berjumpa saat menekuri fajar dan senja
Tapi lagi-lagi apa yang musti kita murungkan dari sajak perpisahan
pun kematian
Karena pada amsalnya kita adalah tiada dan akan kembali kepada ketiadaan
Sebelum remuk segala belulang, sebelum hilang segala perjumpaan Dari ingatan
Kita sudah menulis kisah suara dan sunyi yang saling mengisahkan air mata dan doa-doanya Sendiri
Sampai doa yang paling lirih kubacakan dan kutiupkan ke dalam ubunmu.
dan jika kita kembali ke sorga kelak, panggil namaku dengan doa-doa yang kutitipkan dalam Rindumu
Dalam tubuhmu
Purwokerto 8 september 2016
DI 557 HARI
Ku ingat kisah cinta langit yang kau senandungkan sebelum langit menceritakan kisah cintamu sendiri
Saat aku datang dari lubuk ingatan dan engkau menjelma dari serpih harapan
Mempertemukan kenangan
yang berpilin mengamini sebuah janji untuk bersama mencintai januari
Dari sungai-sungai waktu kita hitung rindu dengan kecepatan serayu
yang terkadang menjelma rinai atau perahu yang sebentar oleng diamuk seribu badai
Namun puisi kita terus berkelindan dengan damai
Mengalir menekuri usia kita dan mencari hilir dari Makrifat segala makna
Sampailah kita di punggung laut
Menitipkan seribu doa dan kenangan, kepada karang kepada ombak, kepada buih, Kepada pasir, kepada ikan, kepada kapal, kepada angin, kepada maha yang memiliki Segala alamat doa
Sampai kesepian saling memeluk isak suaraku dan memeluk bisu air mata sunyimu
Purwokerto, 31 Juli 2016
MASIH KUINGAT
Masih kuingat senja yang kita rayakan bersama di tubir pantai itu. Mengikat yang terlepas, menemukan yang hilang, dan mengingat sebuah kenangan. Dari bibir laut kau temukan sepoi angin yang berbisik di kedalaman hatimu. Ada suara resah yang gelisah, berkelindan dengan nyanyi, sunyi dan aksara. Lalu melindap di gigir laut dan moksa
Masih kuingat Selepas kau lesatkan gigil yang paling ragil, sehelai daun cemara jatuh di pelupuk matamu yang hening, tak ada suara atau gemerisik musim hanya pendar cahaya yang melintas jauh ke juntrung jantungmu
Masih kuingat Ada airmata disana, membentuk parit kecil di kedua pipimu bermuara nuju mulutmu yang masih bersih dari serakan prasangka dan serapah orang-orang
Masih kuingat di bening matamu ada sepucuk sirat untuk kubaca dan kutafsiri dengan makna yang kupetik dari pepohonan rindang yang ada dalam dadamu
“ kau tak pernah tahu, terkadang air mata dan senyuman perempuan adalah segala ihwal puisi sekaligus hikayat sunyi yang paling elegi”
2017
NGOBROL
Padamu sebagian sunyi
Hanya sampai pada suara
Dan cukuplah tubuhmu
Menjelma mata yang saga
Lidah api bukanlah ukuran
Serupa niat pun sudah menjadi
Sedangkan kita akan bertukar ruh
Saling dekap haruslah dekat
Kuat menerima segala harap
Biarpun jiwa dan mata
Belum sepakat dengan sekarat
Jadi lemparkan suaramu
Saat kerongkongan melepaskan angin
Mulut akan mewakili huruf dan angka
Dibatasi langit dan cakrawala
Lidah istiqomah menembakan peluru
Dengan bibir dzikir selalu
Sedangkan di dalam dada serupa samudera
Gelombang menyimpan segala
Terlahirlah suara dari Rahim sunyi
Yang berdoa tanpa mengenal tanggal dan waktu
Meski terkadang semua meresap
Dibiarkan penat menjadi pengap
Kepada goa telinga janganlah lalai
Bersihkanlah dengan gelombang badai
Sehingga pekak dan tuli
Menjadi pelajaran bagi yang berbagi
2016
SETIBA PADAMU
Setiba padamu
Serupa sore yang marun.
Kepakan sayap burung menjelma
Cara malaikat menuliskan doa yang paling purnama
Ketika senja menunggu adzan
aku tak pernah tahu harus kemana kaki ini melangkah, Tuhan
Takbir yang seperti apa, ruku yang bagaimana
Dan sujud rindu akan menjadi apa
Mencari jalan di pedalamanku sendiri
Seumpama mengaji alif, ba, ta
Mengeja nama-nama sunyi
Dari gelapnya perut sampai ke lindapnya maut
Tuhan, mautkan aku saat mabuk rindu pada-Mu
Biar burung-burung dalam kepalaku kuyu
Seperti senangnya ibu saat mengandung
Seperti senyum ibu saat menyanyikan kidung
Purwokerto, 9 April 2016
Tentang Penulis
Juli Prasetya, pemuda sederhana yang mencintai dunia literasi, sastra, sejarah, sosial dan kebudayaan. Lahir di sebuah desa pinggiran kota, Desa Purbadana RT 05/02 Kec. Kembaran Kab. Banyumas, Jateng, Puisinya pernah dimuat di surat kabar lokal maupun nasional. Kumpulan puisi tunggal perdananya bertajuk “ Menyingkap Langit, Membuka Hatimu (2014).
Tidak ada komentar