INTENSI PUITIK DAN DOA PAGI HARI_Oleh Wahyu Budiantoro
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
(Belum berhonor)
“Ya Allah, berikanlah setiap hariku puisi yang indah dan bermanfaat”. Ucapan tersebut merupakan sebaris doa yang kerap diajarkan oleh Abdul Wachid B.S. kepada murid-muridnya, terutama bagi mereka yang baru belajar menulis puisi. Achid, sebagaimana ia sering disapa, selalu mempersepsi dan memposisikan doa sebagai lumbung kreativitas, karena dengan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jiwa manusia akan lebih mudah menerima seluruh gejala kehidupan dan gerak semesta, sebagai representasi dari Nur Muhammad yang abadi.
Doa merupakan dinamo bagi kehidupan manusia. Nick Vujicic, seorang motivator asal Australia, terlahir dengan sindrom tetra – amelia. Sindrom tersebut adalah sebuah gangguan kelahiran yang sangat langka di mana anak dilahirkan tanpa tangan dan kaki. Satu atau lebih lengan atau kaki tidak pernah berkembang selama pertumbuhan janin dan akan hilang saat anak dilahirkan (liputan6.com).
Akan tetapi, meskipun dalam kondisi fisik yang not born perfect tersebut, Nick tidak kehilangan optimisme. Terbukti, setelah ia tumbuh dewasa, ia sering menjadi pembicara dalam kelompok doa di gereja, bahkan ia mendapatkan dua gelar sarjana dalam bidang akuntansi dan keuangan. Kehidupan Nick berjalan normal dan saya kira istimewa.
Pelajaran yang bisa diambil dari doa Achid dan kehidupan Nick tersebut adalah makna hidup manusia berangkat dari doa dan situasi keprihatinan, atau dalam diskursus pesantren disebut riyadloh. Ada sebuah analogi yang menarik yang menyebut bahwa hidup manusia sehat dan kuat bukan karena sayur, buah-buahan, atau vitamin tablet, tetapi lambung manusia itu sendiri. Ketika lambung sehat, kendati yang dikonsumsi adalah asupan yang gizinya minimal, maka ia akan tetap sehat dan tidak mengganggu pencernaan.
Saya kira, dalam situasi semacam itu, kita perlu memaknai kosmologi pagi hari dengan sudut pandang yang luas, sebagai sebuah ruang imajinatif dan transenden. Secara puitik, matahari lahir dari “perkawinan” senja dan malam hari. Ia menyeruak dan merevitalisasi udara (sebagai tulang punggung nafas manusia) dan energi yang tersisa dari karbondioksida semalaman, sehingga yang ada di pagi hari adalah kesejukan dan kandungan oksigen yang cukup untuk mendorong kerja biologis tubuh manusia secara maksimal. Maka di dalam khazanah pesantren, tidak jarang santri mandi pada pukul 03.00 dinihari karena udara dan airnya masih mengandung oksigen cukup banyak. Sehingga kerap terdengar anekdot, jika ingin mendapatkan wajah dan aura yang rupawan, maka mandilah di saat pagi/ dini hari. Belum lagi kedahsyatan shalat tahajud yang menurut para ulama apabila doa dipanjatkan di dalam waktunya, niscaya akan dikabulkan.
Allah Swt berfirman: “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal” (Q.S ali-Imran: 190). Metafora alam semacam itu lantas menjadikan manusia yakin terhadap sebuah keindahan yang hakiki, yang hanya bisa dilihat oleh kedalaman mata batin. Oleh sebab itu, mengamini analogi kesehatan dan lambung di atas maka, puisi yang indah bukan karena yang ditulis adalah gunung, laut, burung, dan percintaan, akan tetapi, karena pikiran dan rasa yang selalu pagi, bersih dan menyala disinari matahari. Achid dalam sajaknya yang berjudul “Setiap Pagi” menulis seperti ini:
...
Matahari terbit dari rambutmu yang panjang
Seperti sungai masa kecilku
Di mana bapak ibuku berkata beningnya doa
Dan aku meminta berkaca di dalamnya
...
Mojokerto, 18 Januari 2016
Dalam sajak itu, saya rasa Achid ingin mengatakan bahwa ibarat sebuah cermin, matahari dan pagi hari memaksa kita untuk melakukan refleksi dan reaktualisasi kehidupan yang di dalamnya ramai oleh ingatan masa kecil hingga imajinasi usia tua nanti. Dan, doa akan selalu bening. Ia jujur kepada semesta. Manusialah yang mendustai doanya sendiri. Saya kira, mengapa Allah menciptakan puisi dan pagi hari dalam rotasi hidup manusia? Hal itu dikarenakan, meminjam ucapan Jalaluddin Rakhmat, manusia diajak untuk berbahagia. Setelah itu, manusia diajak untuk mempertahankan kebahagiaan itu dengan berbuat baik. Nah, salah satu perbuatan baiknya adalah dengan berdoa dan menulis puisi yang indah setiap hari.
***
Tentang Penulis :
Wahyu Budiantoro. Lahir di Purwokerto. Saat ini bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto, sebagai manajer pelaksana. Puisi dan esainya telah dipublikasikan di koran Suara Merdeka, Banjarmasin Post, Analisa, Solo Pos, Haluan, Minggu Pagi, Pikiran Rakyat, Harian Rakyat Sultra, dan Nusantaranews.co. Selain itu, beberapa artikelnya juga sudah dipublikasikan, antara lain: Revitalisasi Mahasiswa di Era Global (Obsesi Press, 2015), Requiem Terakhir: Antologi Puisi Terbaik (Oase Pustaka, 2016), Antologi The First Drop of Rain, Banjarbaru (Wahana Resolusi, 2017), Citra Perempuan dan Bahasa (Kajian Feminisme) (Cinta Buku, 2017), Puisi, Cinta, dan Keabadian (AE Publishing, 2017), FEBI dan Sastra (Puisi) yang Mencari Bentuk (SKSP, 2017), Urgensi Manajemen Dakwah (Jurnal Komunika, 2016), Dakwah di Era Digital (Jurnal Komunika, 2017), Quo Vadis Pemberdayaan Masyarakat Islam Indonesia: Relevansi Pendidikan (Jurnal El-Hamra, 2017). Buku pertamanya berjudul Aplikasi Teori Psikologi Sastra : Kajian Puisi dan Kehidupan Abdul Wachid B.S. (Kaldera Press, 2016).
Tidak ada komentar