SEKILAS TENTANG BUKU KITAB TUNGGUTUBANG_Oleh: Riduan Hamsyah
DARI CELAH LUANG
(Sebutlah Ini Pengantar)
Belum juga berhasil menggenabkan diri yang ganjil ini menjadi lebih baik. Dan, layak disebut baik. Sejak pertama menggoreskan tinta, membentuk sejudul tulisan, yang setelahnya dengan malu malu disebut sajak. Ya, entah sajak, entah juga bukan? Tetapi tak dapat diurungkan ini terlanjur merupa sebuah kegelisahan sejak lama, berlangsung dalam kurun waktu yang mulai sulit untuk dihitung.
Tetapi bukan pula kegelisahan tersebut berangkat untuk menghitung ruas-ruas waktu. Biarkan ia mengalir mencari muaranya sendiri. Mencari dangau (gubuk), dalam istilah suku semende – Sumatera Selatan, untuk menyimpan badan. Beristirahat. Setelah lelah bermusim musim sungsang di punggung pematang (bukit kecil atau gundukan tanah yang meninggi dengan area cukup luas, cukup untuk menanam berbidang-bidang kebun kopi). Sebab, pematang, ia hanya akan disebut demikian bila disekat oleh luang (sungai kecil bagian hulu). Tempat melampiaskan kemungkinan yang kemudian hari (bisa jadi) memiliki sejarahnya sendiri, membentuk fenomena dalam waktu serta nasib yang juga lain. Inilah luang, tempat segala yang tercatat, kemudian mengalir ke hilir lalu menghanyutkan saya sebagai perantau.
Cukup lama menulis, meski berbanding terbalik dengan hasil yang didapatkan, belum banyak karya yang dihasilkan. Apalagi disebut bermutu. Tentu sangat belum layak. Tetapi bagi saya, menulis adalah menulis, dan menulis tidak terikat oleh kerangka teoritis yang kaku apalagi terkait dengan kuantitas serta kualitas. Justru menulis ini adalah sebuah pencarian yang tak kunjung selesai. Yang tak pernah berkesudahan. ‘Perantauan’ sebenarnya ada di sini, di ranah yang tak berbentuk ini. Ketika sekelumit kisah kisah silam mendapatkan dangaunya di tempat ini, ketika kegelisahan menemukan ruang beristirahatnya ketika selembar tubuh dihanyutkan luang ke hilir jauh kemudian menemukan pula bahteranya ketika selaksa pematang malang melintang di seberang pandang kemudian talang (pemukiman) yang dihuni banyak koloni, maka petualangan kata kata (mungkin) telah dimulai, atau baru saja hendak dimulai. Sebab bagi saya, lagi, menulis bukanlah predikat waktu! Bukan pula rangkaian sejarah prestasi instant. Menulis adalah menulis. Karena memang masih ada yang bisa dituliskan. Itu saja.
Dari celah luang yang kecil inilah sebenarnya KITAB TUNGGUTUBANG ini lahir, dari tangan tangan dukun paraji, bukan dari ruang bersalin VIP dan pisau bedah Caesar seperti dialami orang orang kekinian. Ibaratnya.
Saya mencoba mengangkat tema ini dan tema tema lain yang kurang lebih serupa diilhami oleh selaksa perasaan dalam kurun waktu tahun 2017 hingga 2018, mengakumulasinya sebagai talang yang dihuni beberapa koloni pikiran. Sebenarnya saya begitu menyadari bahwa buku ini sangatlah belum layak disebut ‘BUKU’, maka jika berkenan sebutlah sebagai kumpulan catatan pikiran saja. Atau sebut saja ia kumpulan tema yang belum begitu berhasil digarap oleh penulisnya. Tetapi sebagai manusia, saya tetap berharap pada siapapun yang membaca buku ini (minimal) telah mengenal apa itu Tunggutubang. Kalimat ini adalah sebuah istilah yang berasal dari rumpun budaya Suku Semende salah satu suku yang bersal dari Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Suku Semende tidak banyak jumlahnya bila dibandingkan suku Jawa, Sunda, Dayak, Papua, atau Batak di Sumatera Utara. Semende hanya salah satu bagian dari Sumatera Selatan, yang di Sumatera Selatan pun hanya bagian dari satu kabupaten saja, yakni Muara Enim. Bahkan di Muara Enim tidak hanya dihuni oleh orang Semende saja, ada suku lain, yakni orang Enim.
Semende adalah bagian dari kultur Melayu yang berproses sejak peradaban Sriwijaya. Suku ini telah merantau dan bermukin serta membentuk talang-talang yang tersebar di beberapa wilayah Sumatera seperti Lampung, Bangkulu dan Jambi. Sebagai manusia yang sejak kecil telah hanyut dan berpisah dari luang, mendewasa dan bermukim di seberang pulau, (jujur) saya sebenarnya tidak paham secara detil tentang Semende. Tetapi saya amatlah mencintainya. Dan sangat mengakuinya serta ingin selalu menuliskannya, sebab di sinilah muasal pematang yang telah mengeraskan tulang belulang serta menyambung sendi-sendi saya, Allah menitipkan saya dari sekelumit percintaan sederhana di masa silam antara seorang ibu yang Semende Darat Pulau Panggung dan ayah yang Ogan Ulu Surau (salah satu suku lainnya di Sumatera Selatan). Dari sekelumit percintaan masa silam sepasang manusia Sumatera Selatan inilah kemudian tema itu hanyut, berhulu di luang berangkat ke hilir dan mengalir ke pembuluh darah saya. Ia merupa kegelisan yang Bengal. Menjadi hasrat hasrat ajaib untuk menuliskan (juga sekelumit) sajak yang bertalang di buku KITAB TUNGGUTUBANG ini.
TUNGGUTUBANG sendiri adalah seorang anak sulung perempuan dalam istilah suku Semende. Jika dalam satu keluarga Semende, ternyata, anak sulung adalah lelaki maka otomatis yang mendapat predikat Tunggutubang adalah adiknya, yang perempuan. Jika satu keluarga Semende memiliki 6 anak, dan hanya anak yang bungsu berjenis kelamin perempuan, maka Si Bungsulah yang mesti mendapat predikat Tunggutubang. Nah, kenapa pula orang Semende memakai istilah Tunggutubang itu identik dengan Si Sulung perempuan? Sebab jika satu keluarga memiliki beberapa anak perempuan atau anaknya semua perempuan maka yang paling tua-lah yang kemudian menyandang predikat Tunggutubang. Dalam adat kami Tunggutubang adalah semacam pemangku keluarga. Pemangku segala hajat. Pemangku segala kultur yang berkaitan dengan Ke-semende-an seseorang. Sudah jadi aturan adat bahwa Tunggutubang tidak boleh merantau, ia mesti tunggu rumah (tubang). Ia mesti merawat kedua orang tua setelah mereke renta, ia mesti jadi penampung segala keluh kesah apidjurai (Sanak family). Tunggutubang diberi warisan mutlak sebuah rumah, sebidang sawah atau sebidang kebun kopi, tetapi itu bukan untuknya melainkan untuk semua garis keturunan keluarganya. Ia hanya bertugas dan diberi amanah untuk menjaga serta merawatnya saja. Lalu kenapa saya ingin sekali menulis Tunggutubang, sebab saya anak sulung, tetapi saya laki laki. Dan, adik adik saya juga semuanya laki laki. Anak anak yang lahir dari rahim ibu saya semuanya lelaki, kami tak punya generasi Tunggutubang padahal saya sangat mencintai Semende dengan segalan kultur budaya di dalamnya. Ya, saya lelaki, bukan Tunggutubang itu sebab saya merantau dan boleh merantau! Dan, itu sebab saya ingin sekali menulis buku ini.
Akhirnya, saya ingin mempersembahkan buku ini untuk SEMENDE dan OGAN ULU, dengan sebutir air yang menggelinding di dahi, dengan segala kesedihan juga rasa haru saya yang hingga detik ini belum juga berhasil menemukan alamat ‘pulang’. Persembahan juga tentunya untuk umak dan ebak (almarhum) yang pernah ikhas saling mencintai demi menetaskan wujud saya ini. Persembahan untuk Indonesia Raya tercinta. Persembahan untuk Media Simalaba dan para sahabatnya di seluruh dunia. Dan yang paling utama semoga bila ada nilai nilai kebaikan dalam buku ini adalah untuk Allah yang telah memberi ridho pada saya. Semoga buku ini memiliki sedikit manfaat. Salam Kreatif Mandiri.
Penulis
Riduan Hamsyah
(Pemimpin Redaksi Media Simalaba)
Tidak ada komentar