AISYAH DAN MARIA_Cerpen Yuditeha(Semarak Sastra Merah Putih)
SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 31
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam.
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)
“Mukena dan sajadahmu sudah kamu bawa?” tanya umi bermaksud mengingatkan. Tentu saja aku tidak lupa, pertanyaan itu disampaikan umi saat aku akan berangkat kerja di kota ini, lebih tepatnya di rumah ini.
***
Usai sudah pekerjaan utamaku. Ibu Maria telah selesai mandi dan ganti baju. Sebenarnya Ibu Maria bukan mandi sungguhan, aku hanya menyeka tubuhnya. Ibu Maria memang sudah tidak bisa beranjak dari tempat tidur dan akulah yang membantu segala kebutuhannya. Aku juga sudah menyuapinya. Tadi aku masak sayur bening bayam kesukaannya. Ibu Maria tadi makan lahap, dan wajahnya sumringah. Hal itu bisa jadi tanda, badan Ibu Maria saat ini dalam keadaan prima. Kini, Ibu Maria telah tidur. Semoga berminpi indah. Dan sekarang aku bisa melakukan pekerjaan yang lain. Seperti biasanya, ini jadwalnya aku menyetrika pakaian, sembari berjaga kalau ibu Maria bangun.
Tadi sudah aku katakan, tubuh Ibu Maria sudah tidak bisa apa-apa lagi, bahkan hanya sekedar membersihkan ingusnya sendiri pun sudah tak mampu melakukan. Tubuh Ibu Maria lumpuh, tapi masih bisa berbicara. Pikiran dan hatinya pun masih sehat. Tapi kelumpuhan Ibu Maria berbeda dengan kelumpuhan yang diderita orang lain pada umumnya. Biasanya, orang lumpuh disertai dengan m4t1 rasa di beberapa bagian tubuhnya, sedangkan Ibu Maria tidak demikian. Meski beliau lumpuh total, tetapi seluruh bagian tubuhnya tidak ada yang m4ti1 rasa. Misalnya kulitnya dicubit, ibu Maria masih bisa merasakan sakitnya cubitan itu. Ibu Maria juga masih bisa merasakan sakit fisik, dan justru karena hal itu, dia sering tersiksa. Jika sakit fisiknya sedang kambuh, sakitnya itu tak terperikan rasanya.
Kata temanku yang juga bekerja merawat orang lumpuh pernah cerita, bahwa perangai orang lumpuh biasanya suka semena-mena dan cerewet. Kegalakan orang lumpuh kadang melebihi galaknya orang yang fisiknya masih sehat. Kata-katanya sering tidak mengenal tepa selira. Tapi syukurlah Ibu Maria tidak begitu. Ibu Maria termasuk orang yang gampang dirawat, dan tidak cerewet. Karena hal itu aku merasa kerasan di rumah ini dan bisa bekerja dengan tenang. Menurutku selain Ibu Maria tidak cerewet, dia juga baik hati. Maksudku baik hati, dia tidak bersikap semaunya terhadapku, bahkan perasaannya sangat halus. Yang kutahu, perkataan Ibu Maria hampir tak pernah menyakiti perasaan orang lain.
Oya mungkin perlu aku ceritakan juga bagaimana ceritanya sampai aku bekerja sebagai perawat orang lumpuh di rumah ini. Begini, sejak abah tiada, umi yang sebelumnya tidak punya pengalaman kerja tiba-tiba harus menafkahi kehidupan kami (aku dan kedua adikku yang masih kecil). Ekonomi keluarga kacau. Karena itu, usai lulus SMA aku langsung minta izin pada umi untuk bekerja. Meski dengan perasaan berat, umi akhirnya mengizinkan. Tak lama kemudian seorang teman menawari kerja ini. Tetapi waktu itu, baik umi maupun aku sendiri masih ragu untuk menerimanya. Keraguan itu dikarenakan, selain aku belum pernah merawat orang lumpuh, juga karena kebetulan orang lumpuh yang akan aku rawat ternyata pemeluk agama Katolik. Aku mengatakan kenyataan ini bukan bermaksud membeda-bedakan atau berpikir buruk lainnya, tetapi umi dan aku sendiri takut jika aku sampai berbuat kesalahan terhadap keluarga itu. Bayangan tentang peristiwa yang selama ini terjadi terkait perbedaan agama sedikit banyak menjadi bahan pertimbangan kami tidak langsung menerima tawaran kerja itu. Tetapi entah karena apa, aku sendiri juga tidak begitu menyadarinya, waktu itu aku menerimanya. Mungkin didikan abah dan umi agar aku selalu berpikir positif terhadap segala perkaralah yang melatarbelakangi akhirnya aku menerima kerja itu. Demikian juga waktu umi kuberitahu kesediaanku itu, umi memberi restu, meski setelah itu umi menyampaikan banyak pesan-pesan untuk bekalku kerja di sana.
Dari semua keresahan yang kami punya, sebenarnya ada satu keresahan yang paling kuat kami pertimbangkan, yaitu perihal pemikiranku tentang kenyamananku menunaikan kewajiban sebagai muslimah bisa terganggu, atau malah bisa jadi terbelenggu karena bekerja di rumah orang yang beragama berbeda. Alhamdulillah, semua yang kami cemaskan tidak terjadi, justru Ibu Maria sangat pengertian. Bahkan Ibu Maria sering mengingatkanku untuk segera salat bila waktunya telah tiba, tapi aku belum melakukannya, seperti halnya subuh tadi. Kebaikan dan kelembutan hati Ibu Maria membuatku trenyuh. Hubungan kami tidak lagi seperti majikan dan perawatnya, tetapi sudah seperti halnya ibu dan anaknya. Kedekatan kami seperti tanpa skat. Perbedaan yang ada di antara kami sama sekali tak menjadi halangan untuk menjalin persaudaraan. Aku sering bersyukur dan terima kasih kepada Allah atas perlindungan dan rahmatNya.
“Aisyah,” Lamunanku terhenti oleh panggilan Ibu Maria. Kumatikan alat setrika dan bergegas menghampirinya. Ketika aku sampai di dekatnya kulihat matanya berbinar. Aku bisa merasakan, sepertinya perasaan Ibu Maria sedang bergembira.
“Besok hari raya Natal,” kata Ibu Maria. Sebenarnya sepekan lalu Ibu Maria sudah menyampaikan hal itu, dan mungkin perkataannya tadi untuk mengingatkan aku agar membantu dan menyiapkan segala keperluannya dalam menyambut hari raya itu. Sudah menjadi kebiasaan, kedua anak Ibu Maria – Mbak Elisabet dan Mas Frasiskus, akan datang sowan. Kedua anak Ibu Maria itu sudah berkeluarga dan masing-masing tinggal di kota yang berbeda. Dari beberapa kali bertemu dengan mereka, aku bisa merasakan bahwa ungkapan buah jatuh tak jauh dari pohonnya, terasa pantas untuk menggambarkan keluarga ini. Perangai mereka pun juga juga sangat santun dan baik hati, tak ubahnya kebaikan Ibu Maria. Mereka juga tidak memasalahkan perbedaan agama, bahkan mereka sangat menghormati apa keyakinanku. Mereka juga dapat memercayaiku dengan sepenuh hati, terkhusus perihal merawat ibu mereka. Tak jarang pada waktu mereka merayakan Natal, aku pun ikut kebagian hadiah baju baru. Dan yang membuatku terharu, mereka menghadiahiku pakaian yang sesuai dengan yang biasa aku kenakan. Beberapa kali malah menghadiahiku hijab cantik. Dalam hal ini, jika boleh aku memaknai, yang terpenting bukan masalah hadiah yang kuterima dan ketika ditilik dari jenis hadiah yang diberikan kepadaku itu, aku bisa menilai betapa mereka sangat menghargaiku sebagai pribadi yang mempunyai keyakinan yang berbeda. Pengertian seperti inilah yang seringkali membuatku sangat menyayangi keluarga ini. Aku seperti mendapat keluarga baru di tempat rantau ini.
Biasanya Mbak Elisabet dan Mas Fransiskus sowan ibunya setelah lebih dulu mereka merayakan ibadat Natal di gereja kota mereka masing-masing. Sedangkan Ibu Maria, sejak mengalami kelumpuhan, sudah tidak lagi pergi ke gereja, baik sendiri maupun bersama dengan anak-anaknya. Hal itu bukan karena Ibu Maria malas pergi ke gereja melainkan karena alasan sakit itu. Yang kupahami, jikapun Ibu Maria pergi ke gereja tentu harus dengan cara diangkat tubuhnya, sementara jika tubuh Ibu Maria bergerak sedikit saja akan merasakan sakit yang teramat sangat. Oleh karena itu pula dalam aku merawatnya, sebisa mungkin tidak membuatnya banyak melakukan gerakan. Begitu juga yang Mbak Elisabet dan Mas Fransiskus pesankan kepadaku.
Tetapi baru saja, Ibu Maria mengutarakan kepadaku keinginannya untuk pergi ke gereja esok hari. Ibu Maria ingin mengikuti Misa Natal tahun ini. Jujur, saat aku mendengar keinginannya itu, hatiku terharu, sampai-sampai aku ingin menangis. Keharuanku bukan karena kemungkinannya aku tidak bisa membantu Ibu Maria tetapi karena aku berpikir andai aku menjadi beliau yang merasa haus asupan rohani yang memang selama ini jarang diterimanya. Itu adalah keinginan yang mulia. itu adalah keinginan yang suci.
“Bukankah lebih baik Ibu menyampaikan keinginan ini kepada Mbak Elisabet, atau Mas Fransiskus dulu, Bu?” Aku menyarankan begitu agar mereka bisa mengetahuinya, dan tidak terjadi salah-paham terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Mereka adalah orang-orang baik, aku yakin pasti mereka akan mengupayakan bagaimana caranya agar Ibu Maria bisa pergi ke gereja jika memang Ibu Maria benar-benar menginginkannya. Permintaan yang baik selalu ada jalan.
“Atau saya yang menyampaikannya kepada mereka, Bu?” tanyaku kepada Ibu Maria tanpa menunggu dia menjawab saranku tadi. Aku bermaksud menawarkan bantuan.
“Tidak perlu, Ais. Justru aku ingin minta tolong kamu.”
“Jika Aisyah bisa, tentu Aisyah lakukan, Bu.”
“Bisakah kamu yang mengantar ibu ke gereja besok?”
Pertanyaan itu membuatku kaget. Jujur, ada sesuatu yang kupikirkan. Tentang masalah aku yang harus mengantarkan Ibu Maria, berarti aku akan ikut masuk ke gereja, terus terang tidak begitu kurisaukan. Karena jelas, tidak mungkin aku membiarkan Ibu Maria sendirian di sana, dan lagi keberadaanku di sana untuk urusan kerja. Toh, aku juga pernah beberapa kali melihat ada beberapa muslimah yang ikut masuk ke gereja karena alasan kerja. Justru yang membuaku cemas karena pesan dari Mbak Elisabet dan Mas Fransiskus, untuk menjaga Ibu Maria dari gerakan yang bisa membahayakannya. Sebisa mungkin Ibu Maria tidak melakukan gerakan yang ekstrem. Jika Ibu Maria pergi ke gereja, itu berarti tidak bisa tidak, beliau pasti akan melakukan gerakan yang selama ini tak pernah dilakukan, dan hal itu tentu melanggar pesan dari Mbak Elisabet dan Mas Fransiskus.
Banyak perdebatan terjadi di batinku - tidak mengiyakan permintaan Ibu Maria atau mengindahkannya. Sulit rasanya untuk memutuskan, hingga sampai menjelang malam pun aku belum punya keputusan. Entah bagaimana tiba-tiba aku merasa mendapat pemahaman, bahwa Allah selalu mengerti kemurnian hati seseorang, hingga dari situ tanpa berpikir panjang lagi aku menyampaikan kepada Ibu Maria bahwa aku menyanggupinya untuk mengantar beliau pergi ke gereja besok. Bahkan saat berangkat ke gereja, agar tubuh Ibu Maria tidak menimbulkan banyak gerakan, perjalanan menuju gereja itu aku rela menggendongnya. Karena sebelumnya telah dilakukan dengan tiga cara - menyewa becak, ojek sepeda motor, bahkan menyewa mobil, ibu Maria tetap kesakitan. Untuk mengurangi gerakan yang menyentak, aku melangkahkan kaki dengan sangat perlahan dan hati-hati. Langkah kakiku kubuat sebisa mungkin seirama hembusan napasku. Akhirnya kami berhasil mencapai gereja dengan selamat. Senyum Ibu Maria mengembang begitu berhasil dibaringkan di tempat tidur yang telah disediakan petugas gereja. Sepanjang misa, aku duduk di sampingnya. Sesekali kami saling bertaut pandang, dan kulihat Ibu Maria tampak begitu ceria. Sepanjang misa itu Ibu Maria ikut serta menyanyikan lagu pujian dengan antusias dan berdoa dengan khusyuk. Melihat sosoknya sekilas aku terkenang Umi dan keluarga di desa. Saking asyiknya melamunkan Umi dan keluarga sampai tak menyadari kalau misa Natal hampir selesai.
Menyadari hal itu aku kembali memerhatikan Ibu Maria yang kulihat waktu itu sedang khusyuk dalam doanya. Matanya terpejam dan kedua telapak tangan diletakkan di dadanya. Tetapi sampai misa usai, posisi Ibu Maria tidak berubah sedikut pun, Ibu Maria bergeming dengan masih pada sikap semula, sikap berdoa. Kontan perasaanku gusar dan tidak tenang. Perlahan aku memegang tangannya.
“Bu, Ibu. Ibu Maria..” Tidak ada sahutan. Pada saat aku memanggil namanya lebih keras, ada beberapa jemaat gereja yang mendekat dan memeriksanya. Setelah mereka memeriksa Ibu Maria, terjadi perbincangan. Dari perbincangan yang kudengar itu sekilas aku menangkap pengertian bahwa Ibu Maria telah berpulang. Aku mendekati Ibu Maria. Kupeluk tubuh Ibu Maria, aku menangis histeris, tak peduli keadaan sekitar. Kesedihanku saat itu seketika melangit.
Selesai upacara pemakaman, aku masih belum mau beranjak dari kuburnya. Tangisku masih tak mau berhenti. Air mataku juga belum berhenti keluar. Selain itu di hatiku terbersit perasaan gelisah. Aku khawatir jika nantinya aku dianggap sebagai penyebab wafatnya Ibu Maria oleh Mbak Elisabet dan Mas Fransiskus. Terlebih di rumah tadi aku sempat mendengar perdebatan kecil mereka, dan aku merasa memang dirikulah sumber pertengkaran itu. Perasaanku tidak menentu.
Saat perasaanku masih kalut, tiba-tiba aku merasakan ada dua tangan memegang kedua pundakku. Aku tengadah, dan melihat dengan mataku yang penuh air mata. Ternyata Mbak Elisabet dan Mas Fransiskus telah berdiri di dekatku.
“Kamu tidak bersalah, Ais. Justru kami sangat berterima-kasih kepadamu. Sebagai anak, kami yang kurang peka. Apa yang kamu lakukan begitu mulia.” Mendengar Mbak Elisabet berkata begitu, sedetik kemudian aku berdiri dan menenggelamkan diriku dalam pelukannya dengan tangis yang menjadi-jadi.
***
Tentang Penulis:
Yuditeha, Pemenang Ketiga Lomba Cerpen Eksperimental, Basabasi 2018. Pemenang Kedua Lomba Cerpen Sejarah Yogyakarta, Dinas Kebudayaan Yogyakarta, 2018. Kumcer terbarunya Cara Jitu Menjadi Munafik (Stiletto, 2018). Aktif di Sastra Alit Surakarta dan Pendiri Kamar Kata Karanganyar.
Tidak ada komentar