Anton Suparyanta (Klaten, Jawa Tengah)_DONGENG “LIYAN” TENTANG DUTA PANCASILAIS
Sebagai pelakon literasi , perlukah kita menagih janji seputar peristiwa literasi akbar nan nasional? Jika terlalu tajam dengan kata-kata “menagih”, bolehlah dengan diksi santun kita mengingatkannya.
Apa sich? Mana pembelajarannya? Mana karya bukunya? Atau mana modulnya? Secara kronologis, mari kita uar-uar ingatan mentereng berikut ini. Seberapa urgensikah? Katanya mulia, demi ide gila PPK (penguatan pendidikan karakter) secara nasional. Hebring, kan?
Tempo hari gawai media sosial riuh, bahkan media cetak hingga jagongan rumpi di angkringan ujung kampung demam tag-latah “Aku (Saya) Pancasila”. Alih-alih, dengan bangganya banyak orang mengunggah grafis “Aku (Saya) Pancasila” bersanding dengan foto pribadi yang kasual. Grafis dengan font nyentrik berwarna merah d4r4h dan berlatar belakang putih polos. Atau dengan warna sebaliknya.
Masih ingat tamsil tag-latah “Aku (Saya) Pancasila”? Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), Yudi Latif, pun tergelincir duplikasi. Katanya, “Perwakilan pelajar dan mahasiswa dari seluruh Indonesia akan diundang untuk belajar Pancasila lewat film, musik, dan buku. Mereka nanti akan kembali ke wilayah masing-masing sebagai duta Pancasila.” Ternyata, tag “Aku (Saya) Pancasila” sebanding “Duta Pancasila”.
Adakah arti penyimpangan logika bahasa dalam tag tersebut?
Secara arti dalam KBBI V, Pancasila adalah dasar negara, falsafah bangsa dan negara Republik Indonesia yang terdiri atas lima sila, sedangkan Pancasilais adalah penganut ideologi Pancasila yang baik dan setia.
Bukankah intelek yang dimaksud adalah “Aku (Saya) Pancasilais” atau “Duta Pancasilais”? Oleh karena itu, “aku (saya) haruslah Pancasilais”.
Berangkat dari virus diksi intelek tersebut, opini ini terbentuk. Ada gagasan besar yang segera diketuk palu oleh UKP-PIP, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Personalia yang ditunjuk jelas, Yudi Latif, Muhadjir Effendy, dan Mohamad Nasir. Koordinasinya bersinergi membangun trianggolo Pancasilais. Ada upaya karitatif demi penyelamatan nilai-nilai ideologi Pancasila.
Agenda urgensinya adalah “program pembelajaran Pancasila gaya baru”. Underan sasarannya adalah pelajar dan mahasiswa dari seluruh Indonesia. Program ini penting demi “iman” bernegara dan berbangsa. Sebab fenomena yang mencuat tergambar jelas bahwa soko guru empat pilar negara sudah oleng dan limbung, carut marut. Terjadi pemakzulan pelan-pelan terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Tim UKP-PIP mendesak. Yudi Latif menggaransikan pada temuan fakta bahwa hampir selama dua dasa warsa terakhir ini pembelajaran Pancasila kurang intensif dan tidak efektif. Unsur-unsur sebaran karakter seperti kejujuran, keadilan, rajin, disiplin, tanggung jawab, proaktif, inisiatif, membangun kerja sama, kemandirian justru kini berbanding terbalik dengan ajaran k3k3rasan, keb3ncian, atau p3ngkhi4natn yang terangkum dalam ranah perundungan. Kelemahan ini menyebabkan ada 27 dari 100 orang di Indonesia tidak fasih sila dari Pancasila.
Menyikapi keprihatinan nasional karena aksi perundungan itu, Mohamad Nasir menggebu-gebu untuk melesakkan pembelajaran gaya baru. Promosinya, pembelajaran Pancasila kepada para pelajar dan mahasiswa nanti tidak berupa hafalan seperti era ORBA, tetapi kontekstual, aplikatif, praksis pelaksanaan hidup sehari-hari. Bagaimana jiwa, raga, dan tindakan kita mengamalkan Pancasila dari sila pertama sampai kelima.
ari trianggolo Pancasilais itu, terekam tugas maraton. UKP-PIP menyanggupi konten atau materi ajar. Tim UKP-PIP akan obrak-abrik (clearing house) terhadap materi ajar Pancasila selama ini yang menyimpang. Mereka berujar, selama ini terjadi kecenderungan materi ajar kaku, kering, dan bersifat jiplakan dari sumber atau referensi yang kurang valid dan tepercaya. Kilah mereka, padahal Pancasila menjadi mata pelajaran wajib di sekolah dan perguruan tinggi.
Pihak kementerian mendapat jatah teknis, berarti ada juklak-juknis hingga legalisasi surat keputusan nasional. Padahal bidikannya tahun akademik 2017-2018 harus dimulai. Trianggolo Pancasilais tersebut merencanakan peluncuran program spektakuler ini di Istana Bogor, pada 13-14 Agustus, menjelang HUT Kemerdekaan RI tahun 2017 yang lalu.
Nah! Titik inilah tagihan buat para pelakon literasi. Mana gaung dan kiprahnya?
Dari promosi trianggolo Pancasilais itu, muncullah introspeksi sekaligus refleksi bersama. Pertama, kurikulum yang bermuatan Pancasila dan perangkatnya terbaru ini dianggap rekayasa dan permainan proyek negara. Kedua, buku teks siswa dan buku guru yang diperjuangkan dengan penilaian PUSKURBUK dianggap cacat moral. Ketiga, buku referensi atau pendamping yang lulus penilaian masih lemah kualitas. Keempat, guru penghela siswa masih jauh harapan.
Mari kita sambut gagasan mulia ini agar tidak tersisih seperti pendidikan karakter, pendidikan ekonomi kreatif, pendidikan antikorupsi, pendidikan bahari. Semoga!
*) Anton Suparyanta, esais dan editor di penerbit PT Intan Pariwara, Klaten, Jawa Tengah
Tidak ada komentar