DUTA BERSIH CENDRAWASIH_Cernak Hamidah Jauhary (Semarak Sastra Malam Minggu)
SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU: EDISI 9 2018
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Berhonor dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)
Redaksi juga menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)
Pemilihan Duta Bersih Cendrawasih adalah pemilihan salah satu burung cendrawasih yang sarangnya paling bersih dan paling indah. Burung cendrawasih yang terpilih akan mendapatkan sebutan Duta Bersih Cendrawasih selama satu tahun. Karena itulah, para burung cendrawasih sudah sibuk sejak seminggu lalu. Mereka dengan rajin membersihkan sarang masing-masing.
Di hari pemilihan Duta Bersih Cendrawasih, biasanya para Tetua burung cendrawasih akan berkeliling. Tetua cendrawasih adalah burung-burung cendrawasih yang jauh lebih tua dan berpengalaman dibanding burung lainnya. Para Tetua itu berkeliling ke setiap sangkar burung cendrawasih yang ada di hutan Papua. Mereka menilai sangkar mana yang paling bersih dan indah. Mereka berkeliling pagi hingga siang. Sorenya, mereka baru akan memberikan pengumuman hasilnya.
“Ayo kita pergi,” ujar Cendra ada Ciko dan Ceri, sahabatnya.
Cendra dan kedua temannya pun terbang bersama. Mereka sudah berjanji akan pergi bersama-sama ke tempat perkumpulan burung cendrawasih. Di sana akan diumumkan hasil pemilihan Duta Bersih oleh para Tetua burung cendrawasih.
“Sarangmu bagus sekali, Cendra,” ujar Ciko kagum sambil terus mengepakkan sayapnya. “Aku yakin tahun ini kamu akan menang lagi.”
Cendra hanya tersenyum mendengar perkataan Ciko itu. Sudah dua tahun ini Cendra memang selalu memenangkan gelar Duta Bersih. Itu karena selain bersih, sarang Cendra juga dihiasinya dengan bulu-bulunya yang indah.
“Aku tidak yakin soal itu,” sambung Ceri. “Tadi aku melewati sarang Cici lalu melihat bagian dalamnya. Sarangnya juga terlihat sangat indah. Kali ini ia pasti jadi saingan terberat Cendra.”
“Benarkah?” sahut Cendra penasaran. Ia menoleh memandangi Ceri.
Ceri mengangguk. “Sarangnya bersih dan indah. Selain dengan bulu, Cici juga menghiasi sarangnya dengan bunga berwarna-warni.”
Cendra terdiam. Ia tidak suka mendengar berita itu. Cendra sebal kalau ada burung cendrawasih lain yang menjadi saingannya.
Selama sisa perjalanan, ia jadi lebih banyak diam. Bahkan saat sampai di tempat berkumpul pun Cendra terus diam. Ia terus memikirkan perkataan Ceri. Ia sangat khawatir kalau ia akan kalah kali ini.
Saat pengumuman pun tiba. Para Tetua burung cendrawasih meminta semua burung yang hadir untuk tenang.
“Tahun ini cukup sulit bagi kami untuk menilai,” ujar salah satu Tetua. “Tapi, kami tentu harus memutuskan. Pemenang Duta Bersih tahun ini adalah…”
Semua menunggu dengan hati berdebar kencang.
“Cici!”
Para burung cendrawasih bersorak gembira. Mereka langsung memberi selamat pada Cici.
Hanya Cendra yang diam saja. Ia terlihat sangat sedih. Ciko dan Ceri mengerti perasaan Cendra. Mereka pun mendekati sahabatnya itu.
“Kamu sedih ya?” tanya Ciko.
Cendra hanya mengangguk.
“Jangan sedih dong. Kan tahun lalu kamu sudah menang,” bujuk Ciko.
“Benar,” sambung Ceri. “Kamu harus semangat ya. Mungkin sekarang giliran burung lain yang menang. Tapi siapa tahu berikutnya kamu lagi yang akan menang.”
Cendra diam saja.
“Kamu tahu sebuah rahasia tidak?” ujar Ciko, masih mencoba menghibur Cendra.
“Rahasia apa?” Cendra akhirnya bersuara.
“Sebenarnya dua tahun ini aku juga sedih karena kalah. Apalagi aku dikalahkan oleh sahabatku sendiri,” cerita Ciko jujur.
“Oh ya?” Cendra menatap sahabatnya kaget.
Ciko mengangguk. Ia lalu bercerita kalau saat pertama kali Cendra menang dua tahun lalu juga ia merasa sangat sedih. Tapi Ceri kemudian mengingatkan Ciko untuk bersikap sportif. Mereka bertiga sudah berusaha yang terbaik. Jadi Cendra menang dengan adil. Karena itu, Ciko harus bisa menerimanya dengan ikhlas.
Cendra jadi merasa tidak enak pada Ciko. Ia tidak tahu kalau Ciko dulu merasa sedih karenanya. Ia juga merasa tidak enak pada Ceri. Mungkin Ceri juga merasa sedih walaupun tidak menunjukkannya.
“Kamu jangan sedih lagi ya,” hibur Ciko kembali. “Ini kan hari bahagia. Seharusnya kita bergembira.”
Cendra mengangguk dan tersenyum. Ciko dan Ceri benar. Cendra harus bisa bersikap sportif seperti Ciko. Toh, Cici menang dengan adil. Cendra pun segera terbang menemui Cici. Ia ingin mengucapkan selamat pada Cici karena telah berhasil menjadi Duta Bersih.
Hamidah Jauhary adalah seorang penulis lepas. Buku nonfiksinya yang berjudul “Sehat Tanpa Obat dengan Apel (2016)” serta “Sehat Tanpa Obat dengan Tomat (2017)” bisa didapatkan di toko-toko buku. Cernak-cernaknya pernah diterbitkan di beberapa media.
Cendra adalah burung cendrawasih yang tinggal dalam hutan di Pulau Papua di Indonesia bagian timur. Ia sedang bersemangat karena hari ini adalah hari pemilihan Duta Bersih Cendrawasih.
Di hari pemilihan Duta Bersih Cendrawasih, biasanya para Tetua burung cendrawasih akan berkeliling. Tetua cendrawasih adalah burung-burung cendrawasih yang jauh lebih tua dan berpengalaman dibanding burung lainnya. Para Tetua itu berkeliling ke setiap sangkar burung cendrawasih yang ada di hutan Papua. Mereka menilai sangkar mana yang paling bersih dan indah. Mereka berkeliling pagi hingga siang. Sorenya, mereka baru akan memberikan pengumuman hasilnya.
“Ayo kita pergi,” ujar Cendra ada Ciko dan Ceri, sahabatnya.
Cendra dan kedua temannya pun terbang bersama. Mereka sudah berjanji akan pergi bersama-sama ke tempat perkumpulan burung cendrawasih. Di sana akan diumumkan hasil pemilihan Duta Bersih oleh para Tetua burung cendrawasih.
“Sarangmu bagus sekali, Cendra,” ujar Ciko kagum sambil terus mengepakkan sayapnya. “Aku yakin tahun ini kamu akan menang lagi.”
Cendra hanya tersenyum mendengar perkataan Ciko itu. Sudah dua tahun ini Cendra memang selalu memenangkan gelar Duta Bersih. Itu karena selain bersih, sarang Cendra juga dihiasinya dengan bulu-bulunya yang indah.
“Aku tidak yakin soal itu,” sambung Ceri. “Tadi aku melewati sarang Cici lalu melihat bagian dalamnya. Sarangnya juga terlihat sangat indah. Kali ini ia pasti jadi saingan terberat Cendra.”
“Benarkah?” sahut Cendra penasaran. Ia menoleh memandangi Ceri.
Ceri mengangguk. “Sarangnya bersih dan indah. Selain dengan bulu, Cici juga menghiasi sarangnya dengan bunga berwarna-warni.”
Cendra terdiam. Ia tidak suka mendengar berita itu. Cendra sebal kalau ada burung cendrawasih lain yang menjadi saingannya.
Selama sisa perjalanan, ia jadi lebih banyak diam. Bahkan saat sampai di tempat berkumpul pun Cendra terus diam. Ia terus memikirkan perkataan Ceri. Ia sangat khawatir kalau ia akan kalah kali ini.
Saat pengumuman pun tiba. Para Tetua burung cendrawasih meminta semua burung yang hadir untuk tenang.
“Tahun ini cukup sulit bagi kami untuk menilai,” ujar salah satu Tetua. “Tapi, kami tentu harus memutuskan. Pemenang Duta Bersih tahun ini adalah…”
Semua menunggu dengan hati berdebar kencang.
“Cici!”
Para burung cendrawasih bersorak gembira. Mereka langsung memberi selamat pada Cici.
Hanya Cendra yang diam saja. Ia terlihat sangat sedih. Ciko dan Ceri mengerti perasaan Cendra. Mereka pun mendekati sahabatnya itu.
“Kamu sedih ya?” tanya Ciko.
Cendra hanya mengangguk.
“Jangan sedih dong. Kan tahun lalu kamu sudah menang,” bujuk Ciko.
“Benar,” sambung Ceri. “Kamu harus semangat ya. Mungkin sekarang giliran burung lain yang menang. Tapi siapa tahu berikutnya kamu lagi yang akan menang.”
Cendra diam saja.
“Kamu tahu sebuah rahasia tidak?” ujar Ciko, masih mencoba menghibur Cendra.
“Rahasia apa?” Cendra akhirnya bersuara.
“Sebenarnya dua tahun ini aku juga sedih karena kalah. Apalagi aku dikalahkan oleh sahabatku sendiri,” cerita Ciko jujur.
“Oh ya?” Cendra menatap sahabatnya kaget.
Ciko mengangguk. Ia lalu bercerita kalau saat pertama kali Cendra menang dua tahun lalu juga ia merasa sangat sedih. Tapi Ceri kemudian mengingatkan Ciko untuk bersikap sportif. Mereka bertiga sudah berusaha yang terbaik. Jadi Cendra menang dengan adil. Karena itu, Ciko harus bisa menerimanya dengan ikhlas.
Cendra jadi merasa tidak enak pada Ciko. Ia tidak tahu kalau Ciko dulu merasa sedih karenanya. Ia juga merasa tidak enak pada Ceri. Mungkin Ceri juga merasa sedih walaupun tidak menunjukkannya.
“Kamu jangan sedih lagi ya,” hibur Ciko kembali. “Ini kan hari bahagia. Seharusnya kita bergembira.”
Cendra mengangguk dan tersenyum. Ciko dan Ceri benar. Cendra harus bisa bersikap sportif seperti Ciko. Toh, Cici menang dengan adil. Cendra pun segera terbang menemui Cici. Ia ingin mengucapkan selamat pada Cici karena telah berhasil menjadi Duta Bersih.
***
Tentang Penulis
Hamidah Jauhary adalah seorang penulis lepas. Buku nonfiksinya yang berjudul “Sehat Tanpa Obat dengan Apel (2016)” serta “Sehat Tanpa Obat dengan Tomat (2017)” bisa didapatkan di toko-toko buku. Cernak-cernaknya pernah diterbitkan di beberapa media.
Tidak ada komentar