HARI HARI YANG PULANG_Cerpen Maula Nur Baety (Sastra Harian)
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 5 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
(Belum berhonor)
Juli.
Mengembalikan segala keinginan. Pada harapan tentang kamu
yang menjadi catatan lembar lama dan kini terbuka kembali dengan perbincang
penuh rencana.
Kamu datang tanpa aku minta lagi kembali pada Tuhan. Dengan
tanpa jeda, kau kabarkan aku melalui seseorang yang menjadi penghubung diantara
rasa malu dan enggan.
Sisa apalagi yang mesti dikalimahkan?
Sementara, berbagai keinginan telah luluh tak bersisa
termakan waktu hingga basah sudah segala rasa dan banjir pipi tirus polos yang
tak pernah lagi merasakan belai lembut uluranmu.
Kita sudah terkubur waktu.
Waktu yang telah menjabarkan berbagai penapsiran tentang
pergimu. Sudah kenyang betul aku dengan menunggu. Menunggu kau kirim kabar atau
sekadar bertanya bagaimana aku tanpamu waktuku habis untuk apa saja.
Namun memang.
Nasi lemak yang sudah basi tak bisa dihidangkan kembali. Kau
pergi dengan keinginanmu dan kau datang dengan rasamu yang telah pupus.
Biarlah aku menerka nerka segala menurutku sebab itu tidak
akan lebih sesak dari fakta yang kau ucapkan di dering terakhir.
Juli.
Selalu menjadi pintu waktu kau pergi dan kembali.
Di jam yang sama kau sapa aku.
Di menit serupa kau sambil lalu pergi dariku.
Aku sudah habis akal.
Tak bermuara pada pemikiran akan tentang kemarin dan esok.
Sebab aku menulikan segala bahasa bantahan dan akal logika yang kian merekat
menerjemahkan melulu.
Akan tetapi---seribu kata maaf.
Aku telah menjadi bagian berlayar dengan para nelayan. Menuju
di mana arti rumah begitu jauh sebab aku sedang bermuara pada negara
tetangga.
Aku tak bisa kembali.
Kau terlambat... terlambat untuk menahanku dan memintaku
kembali, pada lautmu. Aku sedang di titik yang tak bisa kau jangkau.
Tak ada dermaga di sini. Masih sangat jauh betul hingga kapal
ini berhenti pada pelabuhan. Kau sia-sia kan aku serupa kau menyia-nyiakan
makanan yang tak kau suka. Terimalah laparmu itu, sebab itu menjadi jawaban
atas ulahmu padaku.
Kau bahkan tak merengek sepertiku ketika kamu berlalu dari
hati. Kau hanya mendengus kasar, amarah tertahan, umpatan menggumpal dalam
bibir. Berperang dalam kendali diri, namun kau tak bisa lari.
Sekian..., hanya sampai di sini kau dan aku memekar, satu
tubuh serupa bunga dan ranting. Kau memilih membiarkan aku termakan cuaca dan
tumbang gugur, terbang terbawa angin dan hancur mengering terinjak. Kau masih
kokoh tegak, kau bahkan tak tersedu-sedan. Hanya merana meratap sepi yang menggulung
hari-harimu.
Aku ingin mengucap selamat tinggal.
Namun takdir seakan tidak mengizinkan, hanya sekadar beberapa
menit saja aku bersarapan suara paraumu. Takdir memisahkan tak
tanggung-tanggung dalam kurun waktu.
Tidak apa....
Aku masih menyimpan memori segala kenangan dari Bandar Udara
Radin Inten II. Hingga Brebes-Jakarta. Semua telah terdokumen dengan rapi dalam
ingatan. Tak sekalipun aku bisa menghapus atau bahkan memindahkan ke berkas
catatan lantas aku buang begitu saja.
Kamu itu ; sesosok lelaki pertama yang membawaku pada dimana
rasa cinta itu sendiri. Aku tak pernah sejauh ini, memiliki sebuah rasa.
Deretan mantan tak pernah bisa membawaku pada nama cinta. Hanya sebagai lelaki
yang menemani hari-hari tanpa sorangan.
Please, stay with me....
Selalu saja aku mengucap pada batin kalimah itu.
Namun, masih saja hitam-putih akan pucuk hubungan. Kembalinya
dirimu, tak bisa membawaku pada keinginan terbesar. Kau kembali dalam keadaan
yang masih saja gamang. Masih saja memikirkan banyak hal, dan aku namai kau
masih ragu dan tak yakin melangkah.
Aku masih menyimpan rasa yang sama saat aku menyapamu pada
sebuah dinding groub messenger. Pernyataan ini selalu menjadi ganjil dalam hati
sebab, sudah ada beberapa kali dalam hilang ada banyak lelaki mencoba menjamah
hati namun tetap saja. Rasa itu masih utuh, terkutuk benar cinta!
Banyak segala saran dan pernyataan tentang arti pergi ke lain
hati or move on. Namun tetap saja, hati ini serupa batu di bibir sungai.
Sudahlah! Sejatinya hati hanya diri sendiri yang meniatkan
dan memutuskan, biar menjadi dedoa pada Tuhan saja, untuk alur takdirnya
tinggal menunggu apakah berjodoh or not.
Lagipula sudah terlampau jauh, kau dan aku.
Aku di negara yang kau tak bisa berusaha menujuku, aku sedang
memilih proses berbakti dan bekal masa depan. Aku sedang menempuh ilmu sembari
mengais rezeki. Dan di sini bukan yang bisa kau jangkau hanya naik bus lantas
menyebrang dari pelabuhan atau dari Bandara Bandar Lampung ke Bandara
Soekarno-Hatta.
Kamu : Muhammad Sarjuli.
Yang menjadi catatan hari hari yang pulang.
Tamat.
Tentang penulis :
Maula Nur Baety, peserta belajar menulis
online Angakatan 3 Simalaba lahir di Brebes, Jawa Tengah. Aktif mulai menulis
dari 2 tahun lalu. Karya-karyanya dipublikasikan di koran
Rakyat Sumbar, Buku Antologi simalaba" Sepasang Camar", 2018 aktif menulis
di media online www.penuliscerpen.com dan www.simalaba.net.
Tidak ada komentar