AKHIR DOSA INI_Puisi Puisi Septiannor Wiranata (Sastra Harian)
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu)
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
(Belum berhonor)
Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk
tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.
AKHIR DOSA INI
Dari
balik kaca menampakkan wajahku retak
Meninggalkan
jejak pada sorot sayu
Menghadap
pandang menembus kejanggalan
Langit
seirama hati ku : mendung
Pada
loteng tingkat dua
Perlahan
kaki menapaki ujung beranda
Di
bawah sana lalu-lalang pejalan kaki
Dengan
wajah masai
Meludah
sesekali
Enggan
aku membalas dengan siraman air panas
Meski
jiwa ku terbakar telah menjelma ganas
Tubuh-tubuh
itu kemudian bersorak
Mengacungkan
jari, menghujam kepadaku
Aku
membatu, sekejap memang ada ragu
Erat
kugenggam tiang penyangga
Seiring
serapah ucap mereka
Mereka
cerca hina yang hinggap di hatiku
Bungkam
mulutku, terbelenggu oleh dosa
Hingga
aku tak sanggup
Terlepas
tangan kaki menjejak beranda
Menghentak
ribuan pemangsa yang meminta keadilan
Tubuh
ku terakhiri
Bersimbah
merah pada spanduk berlabel “Ganyang Koruptor!”
Hanya
sekilas kutatap langit
Hujan menderas di ubun-ubun jasad ini
Kotabaru, Oktober 2018
LAYANG LAYANG DI LANGIT SENJA
Merona
langit dikala burung-burung kembali ke sarang
Ada
kesempatan menepi jiwa di padang sawah
Demikian
perlahan, tanpa alas dan hanya berbekal layang-layang
Bersorak
di antara gelap dan jingga
Awan
seketika berarak
Kunang-kunang
berhambur saat putus belenggu di pundak
Mengambil
segulung benang
Menerbangkan
layang-layang
Bersuka
ria, bermain dengan angin senja
Ada
miris dalam tatap layang-layang di angkasa
Saat
anak-anak lebih sering tertawa bersama teknologi masa kini
Dan
tak hirau berlari melawan angin bersama layang-layang
Mungkin
hanya menunggu ketika nanti tak lagi mengiasi langit
Layang-layang
bimbang akan peradaban segera mengubur tubuhnya
Memutuskan
benang untuk selamanya
Maka
nikmati hari ini
Seolah
besok tak pernah ada lagi nuansa bak hari ini
Di
pematang sawah yang mulai menguning, mengibar bersama senja
Berlari
menerobos angin oleh benang mu digenggaman para bocah
Yang
meraut senyum di gambaran wajah mereka
Kotabaru,
Oktober 2018
Merayap
raba di jalan Nusantara
Sorot
menembus hamburan megah kota-kota
Yang
berdiri mencakar langit
Bukan
melihat pemuda dan pemudi berdasi di dalamnya
Namun,
sorot pasti justru jatuh pada mereka di kolong jembatan kota
Menghambur
di lampu lalu lintas
Meminta
belas kasih dengan menjual tipu c4c4t tubuh mereka
Wajah
itu kah yang muncul ketika melihat generasi tersiksa
Meraut
kusam sambil berlalu meninggalkan receh di tengadahnya
Menancap
gas, menderu mobil mewah
Wajah
itu kah kau generasi selanjutnya
Meraut
bahagia oleh dusta yang kau iba-iba kan
Mengemis
pada nasib, meminta harta di jalan raya
Ini
Nusantara
Dengan
begitu banyak kejanggalan moral
Kaum
kapitalis menoda di wajah negeri
Meradang
mencipta hukum berat sebelah
Mereka
punya uang dalam saku
Kau
miskin, maka pasrah
Dilarang
membantah
Kau
kaya, maka bebas menindas yang lemah
Silahkan
saja jika ingin berfoya-foya
Wajah-wajah
pelukis negeri
Entah
ia berdasi atau kumuh di kolong jembatan kota
Yang
korupsi atau sekedar meminta iba di lampu lalu lintas raya
Kotabaru,
Oktober 2018
SENANDUNG SEDU
Gumam
yang pertama kali membuat hati terb4k4r kenang
Rindu
menjelma, meradang batin untuk sebuah pertemuan
Senandung
sedu kala denting lara meraba nuansa dalam jiwa
Yang
kemudian terucap, mengalun tersedu
Sebuah
senandung menusuk pori-pori indra
Dekap
tubuh ini sebagai pelampiasan lara
Pasti
akan segera terhapus segala duka
Meski
perpisahan akan mencipta rindu
Dalam
baris prosa mungkin abadi senandung sedu
Merakit
malam seiring habis sumbu di pucuk lilin
Terawang
gulita, ada wajah itu
Meski
sempurna rembulan
Kuingin
tetap dalam gelap
Sebab
ada dekap dan senandung yang selalu ku rindu
Kotabaru,
Oktober 2018
SINGGASANA TERAKHIR
Terlihat
buram
Karena
embun membasahi permukaan kaca
Secangkir
kopi dan Koran minggu pagi
Menemani
hari sepi karena cuaca menangis lagi
Derai
rinai terus membasahi
Permukaan
kaca hingga relung hati
Terpejam
sesaat mengingat rindu di hati
Mengapa
selalu saja ini terulangi
Pertama
kasih pergi meninggalkan buah hati
Kini
sayang pergi jauh dari bumi
Hanya
kotoran yang selalu tertinggal ketika telah dilumat
Habis
kering tersisa ampas
Kehidupan
hampa ditinggal yang dicinta
Hidup
sebatang kara menggores pena tintah membekas aksara
Seperti
ada yang terlupakan
Saat-saat
bahagia bersama para keluarga
Dan
juga sedih duka dikala lara bersama mereka
Aku
menangis meratap tuan tak bernapas diatas tubuhku
Kopinya
membeku dan Koran pagi jatuh di ubin kayu
Kosong
kini jiwa dirumah megah tanpa penguasa
Hanya
aku sang perabotan rumah tangga
Singgasana
bertubuh kayu mahoni tua
Yang
setia sampai rapuh menopang tubuh renta penuh derita
Kotabaru,
Oktober 2018
Tentang Penulis:
Septiannor
Wiranata. 20 September 1998. Pemuda kelahiran kotabaru, Kalimantan Selatan. Beberapa
karya nya pernah dimuat dalam antologi bersama, Tadarus Puisi“Membumikan Langit” (2018). Lumbung Puisi, “Indonesia Lucu” (2018). Tadarus Puisi Ramadhan,
“Sedekah Puisi”(2018). Puisi Menolak Korupsi periode ke-7 “Negeri Tanpa
Korupsi” (2018) Juga pernah menjadi
kontributor terpilih dalam lomba tulis cerpen STKIP bertema kearifan lokal.
Aktif dalam Komunitas Taman Sastra Garuda Kotabaru.
Tidak ada komentar