RAHASIA MASA LALU_Cerpen Daisy Rahmi (Semarak Sastra Malam Minggu)
SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 38
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen,cernak dan artikel (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)
Tas yang tersandang di bahu berayun seiring langkah bergegas seorang gadis. Ia ingin segera tiba di rumah. Nuril bersiap menyeberang ketika sebuah sepeda motor berhenti mendadak di dekatnya. Gadis itu terkejut. Bentakan yang sudah ada di ujung lidah tertahan begitu Nuril melihat wajah si pengemudi apalagi mendengar kata-katanya.
“Cepat naik. Mama masuk rumah sakit.”
Nuril cepat-cepat duduk di boncengan. Kenan segera memacu motor. Sesaat kemudian keduanya memasuki halaman rumah sakit. Nuril meloncat turun sebelum sepeda motor benar-benar berhenti lalu berlari masuk gedung. Dihampirinya seorang wanita yang duduk di belakang meja.
“Suster, di mana kamar Ibu Tati Sundari?”
Wanita muda itu mengecek melalui komputer.
“Kamar no.5 di lantai tiga. Ada lift di sebelah kiri.”
“Terima kasih.”
Sesampainya di kamar yang dituju, Nuril melihat Bu Mer duduk menunggui ibunya. Menyadari kedatangan Nuril, wanita itu bangkit dan menyongsongnya di luar kamar.
“Kita bicara di sini,” bisiknya, “Jangan sampai ibumu bangun. Dia gelisah sekali tadi.”
“Terima kasih Bu Mer, sudah menolong ibuku.”
"Itu gunanya tetangga, Nak. Saranku, jangan tinggalkan ibumu sendiri. Bagaimana kalau dia jatuh sakit tanpa ada yang tahu?”
Sepeninggal Bu Mer, Nuril masuk kamar dan menghampiri ibunya.
“Bagaimana Mama?” tanya Kenan yang baru tiba.
“Kata Bu Mer Mama gelisah.”
“Kita beritahu Papa?”
Nuril menggeleng.
“Tak perlu menganggu Papa dengan keluarga barunya selama bisa kita atasi sendiri. Biar aku yang jaga malam ini. Pulanglah, Ken.”
Tengah malam Nuril terbangun. Ibunya gelisah. Wanita tersebut menggumam, menyebut namanya.
“…Nuril…”
Gadis itu bergegas mendekat. Digenggamnya tangan sang ibu.
“Aku di sini, Ma. Mama perlu apa?”
Si pasien membuka mata dengan susah payah.
“Berkas di kamar Mama. Kamu harus baca.”
Dahi Nuril berkerut. Berkas apa? Tapi kini bukan waktunya bertanya.
“Baik, Ma. Nanti aku baca.”
Pelan-pelan ibunya tenang dan kembali pulas.
***
Nuril berkali-kali melihat jam tangan. Hampir saja dihubunginya Kenan ketika yang ditunggu muncul di ambang pintu.
“Maaf, terlambat.”
“Telepon aku kalau terjadi sesuatu pada Mama.”
Kenan mengangguk.
Nuril pulang, mandi dan tidur. Beberapa jam kemudian terbangun oleh rasa lapar dan ingat perutnya kosong sejak kemarin malam. Nuril pergi ke dapur. Selesai makan, ia masuk ke kamar ibunya. Gadis itu yakin ibunya ingin mengatakan sesuatu yang penting. Yang dicari ditemukan terletak di meja, seakan sengaja disiapkan. Nuril meraih map warna merah, matanya menelusuri kalimat-kalimat yang tertera. Ponselnya berbunyi. Kenan mendahului bicara begitu tersambung.
“Mbak, Mama kritis.”
“Aku segera ke sana.”
Nuril melempar map ke meja kemudian berganti baju secepat mungkin.
Duka menyelimuti hati Nuril dan Kenan saat pemakaman ibu mereka keesokan hari. Sesekali terdengar isak Nuril. Seorang pria mendekati keduanya. Disekanya air mata gadis itu.
“Jangan menangis lagi. Biarkan mamamu tenang,” ucapnya dan mengajak dua saudara itu pulang.
Setiba di rumah, Nuril masuk ke kamar. Dengan map di tangan ditemuinya sang ayah.
“Pa, aku ingin bicara.”
“Ada apa?”
Nuril menaruh map ke meja.
“Ini benar, Pa?”
Lelaki itu membaca sekilas lalu meletakkan kembali ke meja.
”Siapa yang memberitahumu?”
“Mama sendiri.”
Setelah lama diam, pria itu menatap anak gadisnya dengan serius.
“Nur, akan Papa tuliskan alamat seseorang yang bisa menceritakan segalanya. Dengan satu syarat…”
Nuril menunggu.
“Ajak Kenan bersamamu.”
“Tapi, Pa…,”
Ayahnya memotong tegas.
“Papa tidak akan mengatakan apa-apa lagi sebelum kamu berjanji mengajak adikmu.”
Nuril mengalah.
"Baik Pa, aku janji. Jadi siapa yang bisa menceritakan tentang orangtua kandungku?”
“Orangtua kandung?” Kenan yang sejak tadi diam menyela kaget.
Nuril menyodorkan map pada Kenan yang langsung membaca. Di dalam tersusun berkas-berkas adopsi atas bayi perempuan bernama Nuril Damayanti.
***
“Sepertinya ini,” gumam Nuril.
Mereka berdiri di depan pagar yang membatasi sebuah rumah bertingkat dua dengan jalan raya. Suara televisi terdengar melalui celah di pintu depannya. Kenan melihat ke kertas di tangan Nuril.
“Begitu kata orang yang kita tanya tadi. Coba saja,” usulnya.
Nuril mengangguk dan mengeraskan suara.
“Permisi.”
Pintu membuka lebih lebar seiring keluarnya seorang remaja yang menghampiri mereka.
“Ada apa?”
“Apa ini betul rumah Ibu Rusmi?”
“Ada perlu apa dengan nenekku?”
Sebuah suara menyela sebelum Nuril sempat menjawab.
“Biarkan mereka masuk, Jamil.”
Jamil serta dua kakak beradik itu berpaling ke arah suara. Di ambang pintu berdiri seorang wanita tua yang tersenyum pada Nuril. Nuril membalas senyumannya. Tanpa berkata-kata Jamil membuka pagar. Nuril dan Kenan berjalan ke teras.
“Pergilah ke belakang,” kata wanita tersebut pada Jamil yang datang menyusul.
“Mungkin ibumu butuh bantuan.”
Sepeninggal si cucu ditatapnya Nuril lekat-lekat.
“Wajahmu mirip ibumu,” desahnya lirih.
Kenan mengamati wanita yang jauh lebih tua dari ibunya.
“Anda tahu kami akan datang?” tanyanya.
Yang ditanya tersenyum.
“Tentu saja, Nak. Ayahmu yang memberitahu. Silakan masuk. Kita bicara di dalam.”
Di dinding ruang tamu tergantung beberapa lukisan. Sebuah lemari kaca berfungsi sebagai pembatas antara ruang tamu dengan ruangan dalam. Bunyi tv yang dikecilkan terdengar dari sana. Setelah mempersilakan tamu-tamunya duduk, nyonya rumah mulai bercerita.
“Aku kenal ibumu sejak dia lahir. Tantri gadis remaja yang lincah dan periang. Seseorang merenggut keceriaan itu saat usianya 15 tahun. Polisi memang berhasil menangkap si pelaku tapi hal itu tak mengubah apa pun. Lelaki itu bukan hanya menghancurkan hidup dan masa depan Tantri, dia juga meninggalkan sesuatu. Sembilan bulan kemudian, bayi malang tersebut diadopsi oleh kakak perempuan Tantri yang baru menikah, Tati.”
“Jadi Mama…,” sela Kenan.
Nuril memejamkan mata. Beberapa menit kemudian gadis itu membuka
matanya yang kini berembun.
“Di mana…,” Nuril menelan ludah, tenggorokannya kering. “…laki-laki itu sekarang?”
“Hidupnya berakhir setelah terlibat dalam perkelahian antara napi beberapa bulan sebelum hukumannya habis.”
Dada Nuril makin sesak.
“Ibuku…?” bisiknya gemetar.
Wanita tua itu menatap iba.
“Tabahkan hatimu, Nak. Tantri dan kedua orangtuanya meningg4l dalam kecelakaan lalu lintas ketika usiamu 4 tahun.”
Bendungan air matanya jebol. Nuril menangis tersedu-sedu. Kenan yang duduk di sampingnya gelisah, tak tahu apa yang harus dilakukan. Jamil melongok melalui tepi lemari pembatas, ingin tahu apa yang terjadi. Neneknya memberi isyarat agar remaja itu pergi. Kepala Jamil langsung menghilang.
Nuril segera menguasai diri.
“Maaf,” gumamnya sambil menyeka air mata di pipi.
Nyonya rumah menyodorkan kotak tisu. Wanita itu tersenyum penuh simpati.
“Hapus air matamu, Nak. Akan kusuruh Jamil mengantar ke pemakaman agar kalian bisa berziarah.”
***
Tempat pemakaman tersebut cukup luas. Pintu gerbangnya yang kokoh terbuka lebar. Jamil menunjukkan arah kuburan yang dituju. Nuril mengucapkan terima kasih yang dibalas si remaja dengan senyuman sebelum beranjak pergi. Sebuah suara menyapa begitu dua saudara itu memasuki arealnya.
“Nur…,Ken…,”
Keduanya berpaling ke arah suara dan melihat ayah mereka.
“Kemarilah,” ucapnya.
Pria tersebut membawa anak-anaknya ke sisi selatan. Mereka berhenti di dekat tiga pusara berjajar. Kuburan Tantri ada di tengah, diapit makam ayah dan ibunya. Rumput liar tumbuh di sekitar tempat itu. Ayah mereka berjongkok dan mencabutinya.
“Mama kalian rutin datang ke sini ketika masih sehat.”
Dipandangnya Nuril yang berjongkok di sebelah.
“Nur, tak pernah sekali pun Papa dan Mama menganggapmu sebagai anak angkat. Kamu putri kami, sejak detik mama Kenan mendekapmu di pelukannya.”
Ia menengadah, menatap putranya.
“Bagaimana denganmu, Ken?”
”Mbak Nuril kakakku sejak aku kecil. Aku tak berniat mengubahnya.”
Nuril terharu.
“Terima kasih, Pa. Terima kasih, Ken.”
Ayahnya bangkit sambil mengisyaratkan Kenan mengikuti.
“Papa dan Kenan menunggu di luar, Nur.”
Gadis itu mengangguk.
Angin menggoyangkan daun-daun di pohon. Setitik air berkilauan di sudut mata Nuril saat jemarinya menelusuri tulisan di batu nisan Tantri.
“Aku senang akhirnya kita bertemu, Ibu,” bisiknya.
Tamat
Tentang Penulis:
Daisy Rahmi kelahiran Manado, 30 April 1976. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa. Kini tinggal di Jakarta.
Tidak ada komentar