SURAT UNTUK PENYAIR_Puisi Puisi WT(Sastra Harian)
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu)
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI.
(Belum berhonor)
Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk
tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.
Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk
tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.
SURAT UNTUK PENYAIR
Wahai tuan dan puan
Masihkah kau memulung kekata indah
Tentang alam yang sejuk menawan hati
Sedang di desaku keringat bergelayut serupa gletser
Masihkah kau menenun aksara romantis
Tentang merdunya siulan burung-burung di udara
Sedang di desaku hanya ada deruh bising mesin
Serta tawa ria manusia-manusia modern
Masihkah kau membingkaikan syair syahdu
Tentang hijauhnya alam yang membentang
Sedang di desaku hanya ada dedaunan yang getas di tangkai
Lalu jatuh berguguran dihempas angin
Masihkah kau membingkaikan sajak
Tentang laut yang biru menggoda
Sedang laut desaku hanya ada bangkai perahu dan hewan
Botol dan kaleng berserakan di bibirnya
Masihkah kau menulis puisi
Tentang tanah kita tanah surga
Kayu dan batu jadi tanaman
Sedang di desaku kekeringan meranggas kemana-mana
Bibit padi dan jagung sudah lama dimakan rayap
Wahai tuan dan puan
Penyair adalah lidah kebenaran
PENANTIAN
Hingga di pucuk september, kudapati tubuhnya masih terkulai, di atas bibir ranjang penantian. Mendamba cinta yang ditumpahkan langit. Sebagaimana janji setahun yang lalu sebelum pergi, seperti biasanya; ia akan datang lagi membasuh luk4-luk4 yang telah lama menganga di tubuh yang rapuh.
Sesekali bau tandus bergelayut bak keringat birahi mengh*n*s. Lidah-lidah api menjilati punggung bukit yang ranggas. Entah dari mana asalnya. Kicau burung, lolongan anjing, dan nyanyian serangga menjadi sendu, lafalkan elegi dedaun yang getas di dahan.
Kian hari musim semakin samar terbaca. Antara gigil dan gerah, atau antara semi dan kemarau. Orang-orang mengelus dada, memeluk gelisa. Tofa, cangkul, kapak, dan parang, sudah lama mematung di sudut sepi yang tak mau menepi, pada gubuk-gubuk sepanjang setapak yang ku lewati.
Angin berhembus lalu. Tiada kabar yang dapat dipungut. Hanya ada penantian di setiap isyarat dan gerak-gerik zaman. Kapan tiba waktunya langit mengabulkan segalah harap yang tersimpul erat di akhir sujud setiap makluk.
JERIT ANAK ZAMAN
Sekuntum mawar mekar luruh
Takluk pada garangnya raja siang
Musim semi enggan bertandang
Si kumbang m4ti tertik4m duri
Riak-riak pilu mendesir menggema
Tertiup sang bayu melengking hingga ke pucuk bukit
Kumbang dan mawar merana
Harapan sisakan fatamorgana semata
Tangan-tangan jahil terkatup rapat tunduk lugu
Bak sehelai yang menguning bergelantungan di tangkainya
Mengharap butiran cinta dari langit
Jatuhkan benih surga
AWAL OKTOBER
Hingga di awal oktober
Saat menyibak kerudung lelap
Seiring pagi mengepakan sayap hitamnya
Di atas horison langit berarak-arak
Hamparan putih masih membentang
Lama nian berharap
Mengelus dada memeluk gelisah
Mereka; pemilik dada berpeluh
Tatapannya sendu muram durja
Bumi masih menabuh genta tak sepadan asa
Entalah tiba masa menutup lembaran kisah
Pengap dan gerah menjadi selimut siang
Keringat bercucuran bak aliran gletser
Helai demi helai tunduk pasrah di tubuh tangkai
Bauh tandus tanah jagung menyeruak men*s*k hidung
Lantas pada senja yang mengecup bibir langit jingga
Tak ada kabar tak ada isyarat
Angin pun hanya berhembus lalu
Burung pipit enggan mengirim pesan
Kapan waktunya langit meneteskan air mata kehidupan
MEMILIH TINGGAL
Sayang,
Dulu sekali
Waktu yang telah sudah
Ingin kelana aku sekali lagi
Memulung asa yang masih tercecer
Mengais perut kenyang entah dimana
Namun cintamu membuat lupa ingatku
Dalam setiap niat kembara
Melilit langkah yang enggan mengayun
Kendati bising goda tak jengah mengajak
Engkau rumah segala pulang
Sayang,
Aku memilih tinggal
Saat yang lain meninggalkanmu tanpa permisi
Bahkan masih memilih tinggal
Bila harus dianggap tertinggal
Saat yang lain pergi memburu mimpi
Aku masih memilih tinggal
Bersama anak-anak serahim
Berteman para dada lusuh berpeluh
Bertukar ide dalam tutur
Bersatu padu mewujud nyata
Sayang,
Aku masih memilih tinggal
Menyibak noda yang mendera
Menata hatimu yang nyaris celaka
Oleh nafsu penuh ambisi
Dalam derap langka pembangunan
Dan maaf bila mungkin peranah menyayat hati
Lewat lisan maupun laku
Tiada maksud menoreh luk4
Sebab rahimmu mengalir hidup
Dalam hembus nafas dan detak jantung
Sayang,
Aku masih memilih tinggal
Tentang Penulis:
WT,Penikmat sajak lahir dan tinggal di Adonara, Flores Timur, NTT. Alumni UVRI Makassar
Tidak ada komentar