PULUHAN RIBU DETIK SETELAH PASAR MALAM USAI_Cerpen Fitri Manalu(Semarak Sastra Malam Minggu)
SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 40
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), cerpen,cernak dan artikel (minimal 5 halaman A4) untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. Apabila dalam 2 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(Bagi karya yang dimuat malam minggu diberikan honorarium sepantasnya)
90 detik setelah pertemuan
Daniza ingin segera mengetahui nama pemuda itu. Ada magnet yang menariknya begitu lekat: sepasang mata cokelat yang hangat, suara yang damai di telinga, dan lengan kokoh yang menopang tubuhnya saat nyaris terseret arus orang-orang di pasar malam. Suasana di sekitar mereka sungguh ramai, namun sosok pemuda itu menyedot seluruh perhatiannya. Selain mereka berdua, dunia seolah perlahan mengabur menuju tiada.
“Terima kasih atas pertolonganmu.” Daniza mengulurkan tangan meski dirundung ragu. “Daniza.” Sedetik, dua detik, tiga detik...
“Matonang.” Pemuda itu menyambut uluran tangannya. “Lajang, humoris, dan suka berteman,” tambah pemuda berbaju kotak-kotak biru itu sambil tersenyum.
Daniza nyaris tersedak. Sungguh terus terang! Daniza mengira, setelah adegan dirinya yang terjatuh di pelukan pemuda itu, percakapan awal akan sedikit malu-malu. Tidak spontan seperti yang didengarnya barusan. Ia merasa gugup membalas kalimat pemuda itu.
“Ehm... aku cuma… Daniza.”
Tawa pemuda itu berderai.
120 detik setelah perkenalan
“Tidak biasanya seorang gadis datang ke pasar malam sendirian,” teriak Matonang melawan suara bising mesin motor trail yang memekakkan telinga di wahana Tong Set4n.
“Pemuda sepertimu juga takkan datang ke sini sendirian,” sanggah Daniza tak mau kalah. Daniza lalu gegas melangkah, menjauhi wahana yang memekakkan telinga. Tubuh mungilnya menyelinap cepat di antara lalu-lalang orang-orang.
“Hei, tunggu aku!” Matonang berusaha mengejar langkahnya, nyaris menubruk orang-orang yang berpapasan jalan.
Daniza tergelak melihat ekspresi Matonang. Ia datang ke pasar malam ini untuk mengenang sesuatu. Siapa menduga, ia malah bertemu sosok penuh kegembiraan. “Ayo, cepat! Aku mau naik komidi putar,” serunya. Kebersamaan mereka mengalir begitu saja.
“Rupanya kau cukup gesit,” ujar pemuda itu setelah berhasil menjejeri langkahnya. “Tunggu sebentar, komidi putar? Kau sedang bercanda, kan?”
“Tentu saja tidak. Ayahku sering mengajakku naik komidi putar sejak aku masih anak-anak. Aku sangat menyukainya. Bahkan hingga saat ini.” Daniza memberi penekanan pada kalimat terakhir.
“Serius? Apa mereka mengizinkanmu?”
“Lihat saja nanti. Kau akan tahu keajaiban yang bisa dilakukan orang bertubuh mungil sepertiku.”
Daniza mengantre di depan loket pembelian karcis. Saat gilirannya tiba, petugas loket memandangnya sekilas dan memberikannya sebuah karcis. Daniza melambaikan karcis miliknya pada Matonang dengan senyum kemenangan.
Matonang mengangkat dua jempol ke arahnya dan memujinya, “Gadis hebat.”
180 detik setelah membeli karcis komidi putar
Daniza menyukai warna biru, sama seperti ayah dan ibunya. Karena itu, ia memilih kuda berwarna biru. Saat menaiki kuda itu, seketika ia merasa kembali ke dunia anak-anak. Tubuhnya memang nyaris sebesar anak-anak yang ikut naik bersamanya. Saat komidi putar mulai bergerak, hatinya sungguh riang. Ia tersenyum melambaikan tangan pada Matonang yang berdiri menontonnya dari pinggir wahana.
Satu putaran, dua putaran, hingga tiga putaran. Daniza kembali mengenang malam itu. Waktu itu ayahnya mengajaknya ke pasar malam. Hatinya sungguh gembira. Ia bahkan melompat-lompat kegirangan. Sudah cukup lama orangtuanya tidak membawanya ke pasar malam. Tetapi entah mengapa, wajah ibu tampak murung. Ibu hanya berpesan agar ia tidak nakal selama berada di pasar malam.
Saat ayah dan ibu membawanya ke wahana komidi putar, Daniza merengek minta dibelikan permen kapas merah jambu. Ayah segera berlari dan tiba dengan setangkai permen kapas merah jambu berukuran besar. Daniza memeluk ayahnya girang. Tapi ibunya hanya membisu. Daniza merasa heran dan ingin bertanya mengapa. Tetapi, ia sudah tak sabar ingin naik komidi putar. Saat ayah menunjukkan karcis padanya, ia segera melupakan hal itu.
Itulah terakhir kalinya Daniza melihat ibu. Ia hanya sempat melihat sepotong adegan, yaitu saat orangtuanya tampak berdebat di pinggiran wahana komidi putar. Ibu lalu pergi meninggalkan ayah. Semula, ia menduga ibu pergi sebentar untuk membeli sesuatu. Namun ia keliru, ibu tak pernah kembali sejak saat itu. Ayah berubah menjadi sosok yang pemurung. Meski ia merengek-rengek dan memohon, ayah tak pernah mengatakan apa pun tentang masalah itu.
“Daniza!”
Daniza tersentak. Matonang melambaikan dua buah permen kapas merah jambu dari pinggiran wahana. Sudut matanya menghangat. Wajah ibunya kembali melintas.
Di mana ibu sekarang berada?
200 detik setelah main komidi putar.
“Aku masih ingin makan satu lagi. Kau juga?” Sepasang mata Matonang mengerling jenaka. Ujung lidah dan bibir pemuda berwarna merah jambu.
“Eh?” Daniza masih menikmati kapas yang meleleh di mulutnya dan meninggalkan rasa manis yang memabukkan.
“Aku mau beli lagi!” seru pemuda itu. “Mungkin ini karena kita sedang melihat dunia anak-anak,” candanya lalu melihat ke arah bocah-bocah yang sedang asyik bergulingan di wahana Mandi Bola.
Daniza tertawa keras. “Bilang saja doyan.”
Pemuda itu tertawa. “Ini pasar malam, kan? Pasar malam adalah dunia tempat orang-orang ingin bersukacita, termasuk makan yang manis-manis,” godanya.
“Hahaha... bilang saja kau suka. Selesai.”
“Tentu saja,” aku pemuda itu. “Buktinya, gadis yang sedang berdiri di sebelahku juga manis. Iya, kan?”
“Gombal!”
“Jujur kok dibilang gombal!”
“Kita baru kenal, Matonang. Kau pikir aku percaya?”
“Seperti yang kubilang, ini dunia sukacita. Kau harus gembira. Percuma tertawa, namun matamu berselimut kabut, Daniza...”
Daniza tertegun dan menatap pemuda itu. Tuhan sudah mengirim malaikat kegembiraan padanya. Mengapa ia terus larut mengenang masa lampau?
“Kalau begitu, belilah lagi,” Daniza tersenyum lebar, “jangan lupa, belikan juga untukku.”
“Pasti! Tunggu di sini sebentar, ya. Aku juga mau membeli sesuatu di toko swalayan dekat sini. Tahu, kan? Aku takkan lama.”
“Tenang saja. Kalau kau lama, aku tinggal pergi.”
“Manis-manis kok galak, sih?”
“Siapa bilang orang manis nggak boleh galak?” cibir Daniza.
Pemuda itu mengangkat kedua tangannya. “Oke, oke, aku menyerah kalah. Pokoknya, tunggu aku di sini. Jangan pergi kemana-mana. Sepakat?”
“Siap, Bos!”
Pemuda itu tersenyum dan melangkah meninggalkannya. Daniza menatap anak-anak yang melempar-lemparkan bola plastik ke udara dan meresapi rasa manis yang memenuhi lidahnya. Matonang benar, mereka memang sedang berada di dunia sukacita.
Ribuan detik setelah Matonang pergi
Matonang tak kunjung kembali. Rasa manis permen kapas telah lenyap dari lidahnya. Daniza sudah mengelilingi seluruh area pasar malam dan memeriksa semua wahana permainan. Ia bahkan bertanya kepada orang-orang bermodalkan ciri-ciri umum pemuda itu: tinggi, tampan, dan memiliki senyum menawan. Ia bahkan berdiri berjam-jam di depan pasar malam, berharap Matonang akan melihatnya. Tak ada titik terang. Pemuda itu tak kunjung terlihat. Matonang lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Daniza melangkah gontai menuju penjual permen kapas di dekat komidi putar. Matonang pasti membeli permen kapas merah jambu untuknya di situ. Ia menatap permen kapas yang tinggal satu. Daniza membeli dan mencicipi permen itu dengan perasaan sedih. Rasa manis di lidahnya terasa getir.
“Bukankah kau tadi bilang kita sedang berada di dunia sukacita? Mengapa kau malah menghadiahiku kesedihan?” Daniza berbisik lirih. Sudut matanya menghangat. Rasa kehilangan dari masa lampau kembali menyeruak. Kali ini, terasa lebih menyesakkan.
Puluhan ribu detik setelah pasar malam usai
Daniza menyesap secangkir teh pahit sambil dengan pikiran menerawang. Tidak ada dunia sukacita yang abadi. Pun sosok malaikat kegembiraan. Berita tentang seorang pemuda berbaju kotak-kotak biru yang meningg4l karena kecelakaan saat meninggalkan pasar malam kemarin malam telah mengoyak-ngoyak hatinya. Ia takkan pernah bertemu pemuda itu lagi, meski bersedia menunggu hingga ratusan ribu detik berlalu.
***
TD, 29 Oktober 2018
Tentang Penulis:
Fitri Manalu. Penulis Kumcer Sebut Aku Ibl1s (2015) dan Novel Minaudiere (2017). Cerpennya termuat di sejumlah antologi bersama, media online, dan media cetak. Bergiat di komunitas Rumah Pena Inspirasi Sahabat. Kini tinggal di Medan.
Tidak ada komentar