KUKENANG DIKAU DI KAMPUNG DUYUNG_Puisi Puisi Titin Ulpianti (Sastra Harian)
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi majalah Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu)
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini untuk memberi ruang bagi sahabat pemula Dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor)
Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.
KUKENANG DIKAU DI KAMPUNG DUYUNG
Separuh langkah ini menuju sepi
dingin yang hinggap pada tulang beku
memucuk ke hulu hati
kala mentari pagi lahir.
aroma durian di sepajang jalan Simpang bintan Enau
tempat burung burung mengasah kicaunya
debar kian terasa pada dada bukit
dan aku masih tenggelam
Ku kenang dikau di kampung Duyung
namamu terpatri
abadi penguasa tradisi
Laksamana malaka,
tak pernah lekang dari ingatan
wangi jejak tualang tertanam pada benih benih kesetian
yang membawamu pada puncak kejayaan
walau tarian kata hang jabat semakin liar penuh tipu daya.
di sini namamu kan selalu abadi
dari rahim rahim anak melayu
semangatmu terlahir kembali
yang siap berkembang
berikan semerbak yang melibihi kesturi.
Lampung Barat, Oktober 2018.
RIWAYAT RINDU
Jauh dalam ranah rantau
ketika rindu menggelitik pada sajak
jejak goresan menari indah dalam balutan kata
membuatku limbung dalam dekapan diksi.
Riwayat rindu, memanggil
aku diam mengemas bayangan
meremukkan sendi
bangkitkan kenangan dalam puisi
lalu senyum bergelayutan
sejumlah waktu gagal dikemas.
Cerita tentang kita
di antara gemericik air
yang mengalir menyusuri pembuluh darah
dan hasrat kian bersahutan membakar nadi.
Lampung barat, September 2018
KEPRIHATINAN JIWA
Waktu bergemuruh tajam
gaduh bertandang
Ketika erupsi terjadi
jerit makin mencekam
banjir linang
tatap hampa.
Kala itu,
kami ingin berlari
resap prihatin melanda jiwa
dalam suasana duka
hadirkan rasa berhias keikhlasan
dari duri bencana.
ia telah berlalu
meninggalkan jejak luka
tak tersisa
bersama puing puing sejarah mencekam.
Lampung barat, September 2018.
KANKER KOLONIAL
Penguasa itu amat memikat hati dan jiwa
ketika adat menjadi akar
kanker kolonial bersarang di kepala
hilang peka dari setiap rasa
sedang tahta menjelma neraka.
Empati ini cepat singgah dalam benak
bukan rekayasa dalam hikayat cinta
melainkan resah yang menyiksa
bangsa tak berarti
jadi pinjakan kaki
aku sadar, tak terlahir dari bumi pertiwi
menikmati dari memeras keringat rodi
tersiksa sepanjang hari
di sepajang jalan.
ingin kulepas segala lilitan
namun jerat penderitaan semakin kuat
menindas
hati telah mati
nurani tak ada lagi.
Lampung Barat, 2018.
RUANG SIDANG
Ruang sidang ini mengetarkan
beribu kisah terurai
menanti neraca
dalam jiwa berkecamuk
jadi saksi bisu
di setiap sudut tertunduk
menunggu palu di ketuk.
ada dermaga menghiasi rona
sedang rembulan mulai bersinar
setiap kuntum mimpi mulai menemui jalan
dimana damai kembali singgah.
Lampung Barat, September 2018.
SENYAP
Adakah kerinduan yang mampu menyibak tirai keresahan?
dikala rembulan mulai meredup
semakin hilang diselimuti awan kelam.
Ada dia,
Ada rindu serta prahara
ada ribuan krikil membanjiri duka
meleburkan segala rasa
senyapkan rintihan batin.
Kucoba bangkit
namun lemas tak berdaya
sesakan nafas yang menggerogoti
hilang bersama mentari yang tak bisa kunikmati.
Sukau, Agustus 2018.
KISAH YANG BELUM BERAKHIR
Dan
mendung di matamu benar benar menjadi hujan
mengisahkan jalan yang pernah kau telusuri
bersama jejak tualang
yang kini nanar dari pandangan.
sementara angin semakin kencang
menyumbang nyanyian yang mengiris setiap langkah
senyap tampa suara
hilang dalam lipatan musim
Kisah ini belum berakhir
dari dan hendak kemana kumulai cerita
sedangkan tawa kian membeku
menyisakan tabir kelam
dalam untaian rindu.
hidup terus mengalir mengikuti arus
terlalu kuat menyeret hingga samudra
aku terombang ambing dalam peradapan semu
bertarung dengang waktu
yang selalu menghakimi
dalam sebuah ambisi.
Lampung Barat, Agustus 2018
Tentang Penulis:
Titin Ulpianti, tinggal di Lampung Barat, tergabung dalam Komunitas Sastra Simalaba hingga sekarang.
Tidak ada komentar