MENCARI HIKAYAT CINTA_Puisi Aan Hidayat (Sastra Pinggir Kota)
HIKAYAT ANAK PANAH
Biji-biji kalender terus berguguran
namun hanya membuat matamu semakin buram untuk melihatku
hingga tak banyak yang kau perbaiki dari langkah yang terjebak jalanan berliku.
Mengertikah engkau?
Mata angin telah mencoba membalikkan arah anak panah, yang melesat dari busurnya
hingga kau ragu menemui alamat berpulang, dari riuh dan gemuruh kehidupan.
Sahabat, jangan kau biarkan, anak panahmu menuju arah tanpa tujuan
sebab, waktu yang kemarin tak akan pernah kau jumpai lagi.
Lihatlah!
Warna Dunia kian memudar
sehingga, sangatlah sukar kau bedakan nama-nama yang harus kau kenali dan kau kenang dalam hidupmu.
Lampung Barat, 3 / 06 / 2019
MENCARI HIKAYAT CINTA
Hari ini aku akan pergi, melihat langitmu yang tampak hitam
memeriksa lorong waktu yang pernah kita lalui tempo hari.
Aku akan mencari, hikayat cinta dan rindu yang telah banyak kau janjikan, dan kau sembunyikan di balik lipatan peta
Tapi, mengapa langitmu hitam?
Wajahmu banyak kerut dan keriput? Sehingga sukar kukenali wajahmu yang pernah kujumpai kemarin.
Hari ini, aku akan pergi sendiri, mencari peta yang memudar warna dan tanda yang dulu pernah kau janjikan.
Akan kucari segala tentangmu, sebelum datang waktu berpulang, walau langitmu kian menghitam.
Lampung Barat, 18 / 05 / 2019
LELAKI TUA
Ia tak bersuara
matanya berkaca-kaca
menatap langit berawan
di ambang senja yang membias warna merah.
Lalu dia melumatnya dari kejauhan.
Di rongga dadanya
ada kerinduan.
Kerinduan yang semakin ditikam usia.
Adalah dia, lelaki tua yang menghitung detik.
Menatap matahari merah di matanya.
Lampung Barat, 27 / 09 / 2018
TAK BANYAK YANG KULIHAT
Tak banyak yang kulihat di sini, selain sekawanan anjing gila yang sedang lapar dan haus. Namun mereka itu sangat pelupa.
Jujur. Tak banyak yang dapat kulakukan, sebab tangan dan kaki ini terikat, terikat oleh tirani yang tak akan mampu kubuka sendiri.
Hai.
Di mana kamu, dia dan kalian semua, aku menjerit dan bersyahadat, tapi kalian semua seakan TULI.
Aku terjatuh dan sekarat, tapi kalian seolah BUTA.
wahai engkau, dia dan kalian semua, lihatlah!
Anjing-anjing itu terus berdatangan, dari banyak pulau dan seluruh penjuru mata angin, anjing-anjing itu, akan penuhi setiap ruang dan waktu yang kita tinggalkan.
Lampung Barat, 22 / 05 / 2019
KETIKA HASRAT PADA TITIK LETIH
Entahlah, aku hanyalah aku
yang hanya mampu bersimpuh di balik sumpah serapah.
Aku hanya mampu terpaku, terpaku tanpa daya, menahan aroma demi aroma busuk yang menyengat, hingga ingatan demi ingatanku terbaring letih, menggenggam bara api ini, ternyata panas.
Tapi biarlah, aku tetap terpaku hingga tangan-tangan perkasa sampai pada lembah yang ku huni, dan sumpah yang terucap akan menjadi sebuah tempat berpijak, dari kehidupan manusiaku.
Lampung, 24 / 05 / 2019
SEGUMPAL PERIH
Kosong. Ya, telah kosong ruangan ini, tanpa penghuni, bahkan aroma tubuh yang biasa berkeliaran dari lantai hingga atap kini menghilang.
Senyum yang biasa singgah di sudut teras itu, kini telah pergi beserta canda yang biasanya pecah, percakapan tentang mimpi-mimpi yang terkadang membuat mata memerah kini berubah menjadi sungai kecil, penuh air.
Kau telah pergi paman, tinggalkan peti-peti yang belum sempat kukemas ke dalam ruangan, dan hanya segumpal perih mengiringi langkahmu yang terseok.
Maafkan aku paman, jika mimpi kita hanyalah mimpi usang, dan hanya menjadi dongeng sebelum kita tertidur di ruang makan.
Paman ... semoga di sisi kehidupan yang lain, kau dapati pendar cahaya itu, meski mata ini hanya mampu menatapmu dari balik jendela, dan hanya mampu menyeka bulir-bulir bening tanpa ada suara.
Lampung Barat, 4 Mei 2017
Tentang Penulis:
Aan Hidayat, karya karyanya tergabung dalam sejumlah buku antologi bersama. Ia salah satu aktifis Komsas Simalaba, tinggal di Liwa, Lampung Barat
Tidak ada komentar