KARENA MALIN TELAH JADI PERAHU_Puisi Isbedy Stiawan ZS
SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU: EDISI 2 2018
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 7 judul), Cerpen dan Cernak untuk dipublikasikan pada setiap sabtu malam. Kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU. (Berhonor dan akan diambil satu karya puisi untuk dibuat konten video)
Redaksi juga menerima tulisan untuk diterbitkan setiap hari (selain malam minggu), kirim karyamu ke e-mai: majalahsimalaba@gmail.com, beri subjek SASTRA SETIAP HARI. (Belum berhonor)
(video puisi di bawah ini)
hendak ke mana malin
kampung akan sepi
sekiranya engkau pergi,
kata ibu sebelum langkah
meninggalkan rumah
tapi kutukan anak dara
mesti menunggu
merantau juga malin
sejauhjauh jalan
maupun lautan
malin mencari kota baru
atau singgahi pelabuhan
termenung di teluk
menanti dekat tanjung
seperti lelaki itu
malin juga mengolah kayu
entah kapan jadi perahu
menderas di laut lepas
ingin pulang kelak
jika baju berwarna lain
didampingi sang ratu
setia menyusun kata
di pintalan layar
mungkin bila musim
mudik, malin akan kembali
ke dermaga dulu
menambatkan tali
menampung langkah
masa lalu:
di situ bekas jejak
begitu ringkih dan layu
tapi, ibu, usah sumpahi malin
seperti itu. malin tak mau,
tak elok jadi batu
karena malin telah jadi perahu
berlayar selalu ke jatimu...
208 D Hotel Jakarta, 15 Desember 2018
SELALU KUCATAT KAU…
malam. selalu kucatat kau, seperti
melebihi rinduku pada siang
karena membuatku akan riang
menyisik tiap kulit tubuhmu
lalu kutulis di lembar kertas
segala kisah agar dia tak lupa
di waktu hening aku mengajaknya
bertemu kemudian bercakapcakap
ihwal rumputan, embun, pohonpohon
yang turut bangun ingin melihat
kita yang sedang kasmaran
kalam. pada lembarlembar kertas,
ingin kukisahkan segala pertemuan
dengan bahasa yang tak akan
melompatlompat sebagaimana katak
di sawah. akan kukatakan dengan
kalimat sederhana, selayaknya
bahasa ombak pada pantai ketika
ingin mencintainya. betapa pun
hanya sebentar, tapi penuh getar
hingga ke hati kita: dada yang selalu
terbuka untuk cinta, lalu menutup
pintunya sewaktu datang benci
tak ada lagi kata benci, sayang,
jika terpenuhi cinta di hati
maka kalam dan malam selalu ingin
bertemu. di ruang ini. di hening, dan
angin tandang amat pelan. mengelus
leher, mengecup bibir...
14 Juli 2017
JALAN MASIH BASAH
malam ini aku tak pulang, kekasihku, udara
dingin. jalan masih berkacakaca sebab
sisa hujan. ada yang belum rampung, keinginan
dan simpan sementara mimpi itu; esok, ya, jika
tuhan maha pemurah mendekatkan tangannya
pada kita. terima saja sebagai anugerah dari
kesabaranmu. meskipun masih belum cukup:
-- apa yang sempurna di bumi ini, sayangku? –
esok, jika kau masih ada harapan maka akan
kugenapkan dengan kerja. dari kedua tanganku
semogalah tanah kering jadi gembur
pancuran mampat bisa mengucur
kucuran tertutup akan memancur
terimalah seriangmu...
28 September 2016
DI PALKA, KAU JADI CAMAR
di palka begitu dekat
gaduh laut membentur dinding
kau jadi camar; sayap bening
di tubuhku pekat ingin hinggap
ingin menghitung berapa kepak
bisa sampai di dermaga
menyerahkan cinta di sepi
penantian "itu mautkah
yang kelam?"
di matamu yang malam
aku cahayakan
SS-Lampung, 20 Desember 2017
TAK BISA KUTINGGALKAN PUISI
pada akhirnya, aku tak bisa meninggalkan puisi,
bahkan melupakan selamanya. karena aku
pernah mencintainya, dan ia membalas. kami
saling mendamba-cinta. sebagaimana tubuhku
dengan ruh, siapa pun tak kuasa meretas
meski orang lain menulis dalam sejarah sendiri,
dan kami diabaikan. tak tertera dalam leksikon,
tiada namaku dan puisiku di kitabkitab ditulisnya
tapi, pada akhirnya, memang aku tak dapat
meninggalkan puisi, bahkan membunuhnya;
jika ditujah, sama saja aku bunuh diri. karena
aku mencintainya, dan puisi menitipkan
bibibirnya padaku. kami telah samasama
mencintai
bagai tubuhku pada ruh; terpisah sebab maut
biarpun kalian tak menyebut percintaan kami,
aku akan menjaga kisah kasih ini. aku tak lagi
ingin membunuh puisi
walaupun orangorang sudah lama merebut
seluruh bahasa puisi
#rumahku 3 Maret 2017
MENUJU TIMUR DARI KAYU KOLEK
ia menju timur, jauh dari barat punggungku
mengais angin dan daun yang jatuh
dihitungnya--satu persatu--sampai lupa
alamat pulang. sebab di kepalanya hanya
terbentang jalan pergi. sebuah kepergian yang
tak pernah terbayang.
ia terus ke timur. meninggalkan
punggungmu, hitam jalan pulang. mengelam
di depan. matahari tak ada kali ini. hanya angin,
mengaislah. kumpulkan tiap daun yang jatuh
lalu hitunglah agar tak lupa sudah sampai
di mana -- atau tak ke manamana -- sebelum
benarbenar tiba di tuju. sebelum barat punggungmu
semakin hitam, kian kelam
menuju timur dari kayu kolek; cuaca dingin. air
pancuran dari bambu datang dari gunung
aku pun ngungun
memandangi sawahsawah, pepohonan rimbun
matahari meluncur di barat matamu, duhai sayangku,
aku peluk kau bundo dari anakanakku!
Payakumbuh-Lampung, 2017
AMPANGAN, AWAN DAN HUJAN ADALAH KATAKATA
naiklah. mendaki hingga yang ada
hanya kita dan hamparan langit
awan dan hujan adalah katakata
bulan dan gerimis jadi puisi
kusematkan pada garis keningmu
engkau ukir di sebaris bibirku
pagipagi. ketika masih kurasakan dengkur
menjelma musik syahdu. juga napas
dan flu yang kuciptakan dari kepingan lagu
: kau memejam aku meredam
di pagi awan menulis janji
pada siang angin meruncing
saat malam bulan dan hujan
samasama menemani
pawang!
bukankah kaupawang, mampu menyihir
hujan dan bulan hadir untuk menulis
puisi cinta? -ujarmu, tak sanggup kusela
di sini, aduhai panorama ampangan
seperti bukit yang selalu menurunkan
bidadari...
Payakumbuh 2 Des 2017-Lampung 25 Des 2017
Tentang Penulis
Isbedy Stiawan ZS kelahiran Tanjungkarang, Lampung, dan sampai saat ini masih menetap di kota tersebut. Selain menulis puisi, cerpen, esai, dia juga menulis karya jurnalistik. Pernah berkhidmat sebagai wartawan di Topik, Tabloid Salam, Lampung Post, Trans Sumatera, Sapu Lidi, Lampung TV (iNews), teraslampung.com, dan inilampung.com.
Salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandar Lampung ini, telah melanglangbuana ke berbagai negara serumpun dan Eropa (Belanda dan Belgia). Buku puisinya antara lain, Menampar Angin, Lelaki Membawa Matahari, Aku Tandai Tahilalatmu, Kota Cahaya, Menuju Kota Lama, Melipat Petang ke Dalam Kain Ibu, November Musim Dingin, Kota, Kita Malam, Kita Hanya Pohon, Kepada Puisi Beri Aku lagi Cinta dan Anak Kunci di Kepala.
Sedangkan kumpulan cerpennya, di antaranya Bulan Rebah di Meja Diggers, Dawai Kembali Berdenting, Selembut Angin Setajam Ranting, Perempuan Sunyi, Hanya untuk Satu Nama, Seandainya Kau Jadi Ikan, Perempuan di Rumah Panggung, dan lain-lain.
Buku puisinya Menuju Kota Lama memenangkan Hari Puisi Indonesia (HPI) tahun 2015, kumpulan cerpen Perempuan di Rumah Panggung masuk 10 besar prosa Kusala Khatulistiwa Sastra Award (2015), buku puisi Kota, Kita, Malam masuk 10 besar KLA tahun 2017.
Tidak ada komentar