HEADLINE

BALADA ANAK MINTA AIR_ puisi Agust Gunadin (Sastra Harian)

Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) 
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini untuk memberi ruang bagi sahabat pemula Dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor)
Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.


BALADA ANAK MINTA AIR

Setelah bayi itu dilahirkan, dunia tersenyum dan menyapa
Lalu pagi pun merekah sehingga tahu ini kehangatan mentari
Bayi yang masih mungil menampakan ceria tanpa memikul beban
Sebab memang ibu masih memberi asuh dan asih
Membopongnya, ini ibumu anak!
Hingga bayi tertidur pulas
Ini memang hidup sejahtera dimiliki sang bayi
Tetapi, manusia punya fase untuk meningkat
Cerita saat masih bayi, kini berubah menjadi kanak-kanak
Maklum…
zaman kanak-kanak ingin tahu banyak hal
saat ibu, keluar rumah memikul tempat air
anak itu, mulai bertanya: aku ingin ikut bu!
Ibunya menyahut: tempatnya jauh, ibu ingin menimba air
Bukan karena ibunya takut tetapi usaha mencari
Air di tanah kering, melahap lahan membuka sumur, memang sia-sia
Karena terpaksa ditolak, anak itu merenung diri
Bahwa hidupnya susah di zaman kekurangan air
Lantas, mau ke mana mencari air?
Tanyakan pada diri-mu dan mereka, kemanakah mencari air?
Saat kerongkongan mulai lelah akibat ketiadaan air


San Camillo, 240809


IMAM BUTUH ISTIRAHAT

Tak perlu resah, tuk secepat mungkin saling menyahut
Apalagi dalilmu itu, batas pada keyakinanmu saja
Akhirnya tak saling sepaham hingga perlu meregangkan jiwa
Imanmu menyelamatkanmu, kata-Ku di atas perahu Galilea
Jika memang kau kuat pada keyakinan itu, yakinlah ada keselamatan
Kau tak perlu berceloteh membela di depan umum
Sebab yang Ku-kehendaki bersujud di tempat sembunyi
Saudaramu tak perlu tahu, kau seringkali menyembah
Itu urusanmu!
Sebab dirimu hanyalah milikmu
Lagi-lagi tak perlu resah pada keyakinanmu, yakinlah!
Jika dalam dirimu ada keyakinan
Kau tak perlu menyanggah kebenaran yang lain
Sebab semua benar, hanya beda jalan, menuju
Kembalilah apa yang kau sebut iman yang memiliki harapan pada kasih
Hingga kau hidup damai, walaupun itu beda keyakinan
Kau hanya beda jalan tetapi saling menuju
Kepada sang Khalik 

Pau, kentol: GND 082019


KETIKA NASIB MEMBALUT LUK4

Masih berdiri dalam sebuah potret
Yang nampaknya seperti aj4l
Sebab, telah lama dimulai
Tentang Perdagangan Orang yang bertumbuh
Humus lagi indah dari kejauhan saja
Jika pemberian predikat wilayah toleransi
Patut diapresiasi
Lantas, menjadi kusam dan memperpucat
Bahwa orang kita sering diangkut dalam sebuah koper
Yang tak bertuan! Dan mungkin bertanya: Kemanakah mereka?
Kita tak lagi bisa berlari
Ini memang nasib, kita yang tak punya berpijak
Soal hidup sejahtera
Katanya tak perlu belagu, sebab beranjak dari tanah ini!
Bias menikmati
Malaysia yang katanya “Ringgit Melangit” menjadikan hidup
Tak perlu kredit
Karena alasan nasib sekaligus ekonomi yang meradang
Gadis belia nan manis dan lugu, pergi…
Dengan hati yang tak karuan, dipicut gaji yang tinggi
Namun, apa? Tak disangka-sangka
Pulang hanya bawah dengan tangan hampa
Sebab segala gajian menjadi ratapan dan kreasi imajinatif para penyelundup

San Camillo, GND: Dohut, 060809


KERINDUAN MENYOAL STUNTING

Memang kehidupan menjadi sebuah perdebatan
Sebab di dalamnya ada gelap dan cahaya
 Cahaya selalu diimpikan
Namun, bagi orang yang Gennya bercahaya
Itu bukan impian tetapi sebagai akibat “kita ini keterunan sejahtera”
Bagaimana dengan kami?
Katanya “tubuh pendek” ini karena Gen orangtua
Lalu kini dilabeli kata metafora “Stunting”
Lalu cahaya mataku hanya menatap tembok
Sebab ini soal peradaban
Alih-alih pemerintah ingin menyentuh! Ini masalah kelam
Mengapa kita sering menyukai terlambat pencegahan
Daripada mengatasi
Riwayat stunting jarak mulai membentang, meluas dan menjangkit
Namun perlu kesadaran pilu selama waktu di punggungmu
Menanggung rindu dalam kata “sama-sama mengatasi”
Menjadi soal
Pemerintah jangan larut dalam APBD untuk keperluan beli ASPAL
Sebab garis ibu-ibu memiliki jejak
Mendapat asupan gizi, saat janin mulai bertumbuh

Lembah Pau: Kentol 082019


Tentang Penulis :

Agust Gunadin: (Pecinta Kata di San Camillo, Ketua Kelompok Sastra “Salib Merah”. Beberapa puisi pernah diterbitkan Pos Kupang, Warta Flobamora, Majalah GSS OFM, Galeri Buku Jakarta, Flores Muda dan media onlinenya



Tidak ada komentar