Sebuah Rindu Yang Menyakitkan_Cerpen Rifqi Hasani (Sastra Harian)
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu)
kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.com
Beri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini untuk memberi ruang bagi sahabat pemula Dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor)
Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.
Malam sunyi,sesekali terdengar sepeda motor melaju dan suara jangkrik di samping
rumah,sedangkan jam sudah menunjukkan pukul satu lewat lima menit, namun rasa
ngantuk belum juga datang. Aku masih memikirkan Mila,perempuan yang selama
ini aku cintai. Kerinduan terus saja menghantui pikiranku. Ketika teringat namanya yang indah dan senyum manis yang menghiasi wajah cantiknya itu membuatku tak
bisa tidur seperti malam ini, Menurutku dialah perempuan yang tercantik saat ini di dunia. Tanpa terasa sambil membayangkannya akhirnya aku tertidur juga.
Aku terbangun ketika ayam riuh berkokok dan matahari bersinar menyelimuti bumi. Perlahan kubuka jendela. kicauan burung terdengar di mana-mana. Embun pagi membasahi
seluruh tumbuhan di belakang rumahku, serta kupu-kupu yang terbang kesana
sini dengan sayap berwarna-warni begitu indah. Aku berkhayal andainya saja aku bisa menitipkan salam rindu untuk Mila lewat kupu kupu itu. dalam diam aku berdoa semoga Allah selalu memberinya kesehatan,dijauhkan dari segala musibah dan dilancarkan aktivitasnya sehari-hari dengan baik, amin.
Sebentar lagi mesti balik lagi ke pondok,tinggal menghitung hari saja, tapi dia belum ada kabar sama sekali selama liburan. Ditelpon tidak pernah
diangkat, sedangkan aku sudah telanjur rindu sama dia. Apakah dia mempunyai
laki-laki lain di belakangku, atau mungkin dia sudah melupakan aku sebagai
pacarnya. Aku berharap tidak seperti itu, aku takut kehilangan dia dari
kehidupanku, dan kehadirannya membuat hidupku lebih baik dari pada sebelumnya.
Waktu bergulir dengan cepatnya dan
tidak disangka balikan pondok telah tiba. Jam tujuh lewat lima belas menit, aku
menyiapkan barang-barang dimulai dari merapikan baju, membeli peralatan mandi,
dan barang lainnya. Tetapi rasa ingin ketemu dengannya tak kunjung hilang di
dalam hati, serta rindu yang terus menjadi bahan pikiranku selama ini.
Seandainya ada obat penghilang rindu, pasti aku akan membelinya untuk menghapus
memori ingin ketemu sama dia, tapi hal itu sangat sulit bagiku. Apalagi saat ini aku akan kembali ke pondok
dan harus meninggalkan dia bergaul dengan orang lain di luar sana. Aku takut
dia suka sama laki-laki lain, tapi aku yakin dia perempuan yang terbaik dan akan menjaga cintaku selamanya.
Matahari sudah hampir tenggelam di
ufuk barat menandakan sore hari tiba, akupun bersiap-siap untuk kembali ke pondok,
sebab waktu paling lambat sebelum adzan magrib berkumandang harus berada di
pondok semua dan kalau telat akan dihukum berdiri di depan kantor pesantren
sambil mengaji Al-Qur’an selama tiga jam. Akupun bergegas mandi, takut terlambat
kembali ke pondok. Setelah beberapa menit kemudian, akhirnya aku selesai mandi
dan selanjutnya mengambil sarung beserta baju yang sudah dirapikan tadi, lalu
memakainya secara bergantian.
Setelah merasa sudah siap semua, aku
memutuskan untuk berangkat dengan mengendarai sepeda motor ayahku, namun rasa
ingin ketemu sama dia masih melekat erat di dalam hati, serta rindu yang terus
saja menghantui pikiranku. Aku ingin menangis supaya kedua orang tua tahu bahwa
anaknya sedang rindu sama
perempuan yang namanya Mila, tapi aku malu untuk nangis di depan mereka, akan
aku jalani hidup ini dengan sabar,
ikhlas, serta menyerahkan semua kepada Tuhan yang maha esa.
“Kamu lagi apa sekarang Mil?”
kata-kata itu terus menyerang pikiranku di tengah perjalanan ke pondok. Aku takut terjadi sesuatu sama
dia saat ini dan semoga saja tidak ada musibah yang menghampirinya, serta dapat
melaksanakan aktivitasnya dengan baik. Namun rasa rindu ini masih menjadi teman
pikiranku. Aku benar-benar tidak bisa menghapus dari dalam ingatanku. Mungkin
obat satu-satunya adalah bertemu dengannya, tetapi sangat sulit bagiku buat ketemu
sama dia, karena aku sudah
kembali ke penjara suciku yaitu pondok pesantren, sedangkan disana di larang berpacaran
apalagi ketemuan sama perempuan yang bukan mahramnya.
****
Hari demi hari, bulan berganti
bulan, aku merasakan pahit dan manisnya kehidupanku selama ini, dimulai dari
bersekolah, ujian kitab kuning dan kegiatan lainnya. Sehingga hari paling
istimewanya para santri telah tiba yaitu liburan yang dinanti sejak kemarin.
Aku sangat senang sekali, karena dapat pulang lagi ke rumah dan bertemu kedua
orang tua, serta menyembuhkan rasa rindu yang sudah lama menjadi teman akrabku selama di pondok. Aku tak
sabar lagi buat ketemu sama dia untuk mengungkapkan kerinduan yang terpendam di
dalam hati. Benar juga yang dikatakan Dilan, rindu itu memang berat dan kalau saja merindukannya dapat pahala,
mungkin aku orang pertama kali yang merindukannya, serta paling banyak
mendapatkan pahala.
Pada saat
ini para santri sedang sibuk menyiapkan barang miliknya diantaranya, memasukkan
baju kedalam tasnya, ada pula yang masih mandi, mengambil pakaiannya yang bergantung
di depan kamar mereka, dan ada juga yang masih berkeliaran kesana-kesini untuk
kepentingan mereka sendiri. Sedangkan aku sudah siap untuk pulang kerumah dan
bertemu dengannya.
Selesai berpamitan kepada kyai, aku
di jemput
oleh ayah menggunakan sepeda motor kesayangannya. Sesudah itu, akupun pulang dengan
wajah gembira sambil memikirkan dia yang jauh di mata, tapi dekat di hati.
Sesampainya di rumah, aku langsung minta izin kepada orang tua untuk pergi
ke rumah dia sebentar, akhirnya mereka mengizinkan dengan berpesan jangan terlalu lama-lama dan aku menjawabnya
dengan kata sederhana “iya”.
Di tengah jalan, hatiku
berbunga-bunga ingin segera sampai di rumahnya buat ketemu dengan dia. Beberapa menit kemudian, sampai juga pada
tujuanku, namun sebelum
memasuki pintu gerbang, aku terkejut melihat dia bersama laki-laki lain sedang
mesra-mesraan di serambi rumahnya. Hatiku benar-benar sakit seperti disambar petir, ternyata perempuan yang
selama ini aku cintai masih mengharap cintanya orang lain. Seandainya dia tahu
betapa beratnya usaha aku menjaga cintanya, menahan rindu yang sekarang menjadi
teman akrabku, tapi dia seenaknya bermain cinta di belakangku dan dia melupakan
janjinya untuk setia serta mencintaiku selamanya. Aku tidak tahu harus berbuat
apalagi selain pulang, tetapi sebelum malangkahkan kaki untuk pergi meninggalkan rumahnya, tanpa
disengaja dia menoleh kearahku yang berdiri tegak di depan rumahnya sejak tadi.
Dia terlihat kebingungan, seolah-olah tidak percaya kalau aku berada di
rumahnya.
“Mil, siapa laki-laki yang berada di
depan rumahmu itu”, tanya laki-laki itu sambil mengarahkan jari telunjuknya
kepadaku.
“Kamu tunggu disini ya”, jawab Mila
dengan kebingungan.
“Mau kemana”, tanya laki-laki itu
lagi.
Tapi dia tidak menjawabnya dan pergi
ke arahku yang berdiri di depan rumahnya.
“Hai Rifqi, apa kabar?”ucapnya
sambil mengeluarkan senyum manisnya, namun aku tidak tergoda sama sekali melainkan
semakin kecewa sama dia.
“Dasar perempuan pengkhianat”, kataku dengan nada yang nyaring.
Setelah itu aku memilih untuk pulang
saja, karena tidak tahan lagi melihat dia berada dihadapanku.
“Bisa aku jelasin Rif, ini semua
hanya salah paham”, kata dia, namun aku menghiraukan perkataannya dan terus
menjauh darinya.
Aku kira dia perempuan yang baik dan
sholehah, tapi sebaliknya, dia perempuan licik, suka mempermainkan perasaannya
orang lain. Aku sudah berjuang mati-matian menahan rindu berat kepadanya,
menjaga cintanya, tetapi malah dia yang membuang jauh cintaku dan menghadirkan
laki-laki itu di dalam hidupnya. Sejak berpacaran dengannya, ketika dia tidak
ada kabar, aku khawatir takut terjadi sesuatu sama dia, serta rasa rindu yang
terus menerus menyerang hati, namun perjalanan hidupku dengannya berakhir
sampai hari ini. Semoga dia bahagia dengan pilihannya itu, sedangkan aku akan
mencoba melupakannya dari kehidupanku.
Tentang Penulis:
Rifqi Hasani Pengurus perpustakaan PP. Annuqayah Lubangsa Selatan, siswa MA Tahfidh Annuqayah dan santri asal Dasuk.
Tidak ada komentar