Aksi Plagiat Kembali Terjadi, Redaktur Sastra disalahkan?
Kembali, aksi plagiat mewarnai kancah kesusastraan tanah air, tak perlu disebutkan siapa pelakunya karena pekan ini nama orang tersebut sedang mentereng jadi buah perbincangan di group-group whatshap dan medsos para penulis. Kali ini karya sang maestro terkemuka Taufik Ismail menjadi korban, puisi berjudul 'DENGAN PUISI AKU..' tersebut bersama satu judul lainnya 'INDAHNYA ALAM' (belum diketahuan karya siapa?) diplagiat dan terbit pada lembar budaya minggu (15/12) salah satu koran harian terkemuka di Jawa Barat.
Aksi ini bukan untuk yang pertama terjadi, sepanjang tahun 2019 saja, dalam catatan kami telah terjadi sejumlah aksi serupa dan, 'hebatnya', karya-karya tersebut bisa terbit pada lembar budaya sabtu/minggu media-media massa ternama.
Sekali lagi, media massa, yang paling terdepan jadi sorotan. Dalam hal ini redaktur sastra adalah manusia yang (seolah) paling bertanggung jawab serta paling bersalah karena atas (keteledoran)-nya karya-karya plagiat tersebut bisa melenggang manis tayang ke publik. Beragam kecaman juga terjadi di media sosial, redaktur sastra, adalah sudut yang paling renyah untuk dihantam.
Dalam ulasan singkat ini, bukan bermaksud untuk mencari garis hitam, siapa yang salah dan siapa yang layak bertanggung jawab. Aksi plagiat adalah realitas yang tak mungkin dapat dihindari pada semua aspek, tidak hanya sastra. Hantu hantu bernama plagiator justru akan terus lahir dari rahim iklim ketika semua celah kini bisa dibrowsing. Kesempatan untuk melakukan aksi tak terpuji tersebut lebih mungkin terjadi di tengah aturan yang buram serta limbung ditegakkan. Di sisi lain, akses teknologi yang semakin memudahkan kerja manusia juga rawan dijadikan jalan pintas untuk merampas sebuah kepemilikan dari wilayahnya.
Tidak bermaksud untuk melakukan pembelaan, bahwa seorang redaktur sastra, tak mungkin menjadi makhluk yang super teliti. Bagi anda yang belum pernah merasakan jadi seorang redaktur, atau mengetahui wilayah kerja redaktur, tentu begitu mudah mengatakan, "ceroboh, redakturnya ngantuk, redakturnya bla..bla.." dsb. Tetapi yang perlu kita ketahui bahwa naskah-naskah yang masuk ke e-mail redaksi itu ratusan dalam setiap minggu, jika diakumulasi dalam sebulan maka ribuan jumlahnya, itu belum terhitung naskah bulan bulan sebelumnya yang berada di box elektronik mail.
Dari ribuan naskah yang masuk, setiap naskah berisi paling tidak 8 sampai 10 judul puisi. Seorang redaktur yang kawakan sekalipun, sangat mungkin menghapal nama nama sebagian besar penulis, tetapi mustahil ia dapat menghapal (ini karya siapa?) secara satu persatu. Redaktur, punya keterbatasan kontrol, di tengah konsentrasinya untuk memilih karya siapa yang layak terbit setiap minggu. Belum lagi menyusun list naskah-naskah yang menempati daftar tunggu.
Kita bersyukur, di negeri ini masih ada media massa yang memberi ruang bagi kebudayaan, padahal itu sangat sulit. Kita lebih bersyukur media-media hebat tersebut masih menyediakan lembar budaya dan sastra sebagai signal masih berdenyarnya kehidupan kesusastraan di republik ini. Tetapi kita tidak berhak untuk melulu menyalahkan redaktur dan media massa yang kebetulan sedang troble, memuat karya yang salah. Kita setuju, aksi plagiat adalah musuh kita bersama, tetapi kita belum dapat menemukan siapa yang paling bersalah atas kasus kasus yang terjadi dan belum jadi pelajaran bagi calon calon pelaku yang bersiap melakukan aksi serupa. (Redaksi)
Dalam ulasan singkat ini, bukan bermaksud untuk mencari garis hitam, siapa yang salah dan siapa yang layak bertanggung jawab. Aksi plagiat adalah realitas yang tak mungkin dapat dihindari pada semua aspek, tidak hanya sastra. Hantu hantu bernama plagiator justru akan terus lahir dari rahim iklim ketika semua celah kini bisa dibrowsing. Kesempatan untuk melakukan aksi tak terpuji tersebut lebih mungkin terjadi di tengah aturan yang buram serta limbung ditegakkan. Di sisi lain, akses teknologi yang semakin memudahkan kerja manusia juga rawan dijadikan jalan pintas untuk merampas sebuah kepemilikan dari wilayahnya.
Tidak bermaksud untuk melakukan pembelaan, bahwa seorang redaktur sastra, tak mungkin menjadi makhluk yang super teliti. Bagi anda yang belum pernah merasakan jadi seorang redaktur, atau mengetahui wilayah kerja redaktur, tentu begitu mudah mengatakan, "ceroboh, redakturnya ngantuk, redakturnya bla..bla.." dsb. Tetapi yang perlu kita ketahui bahwa naskah-naskah yang masuk ke e-mail redaksi itu ratusan dalam setiap minggu, jika diakumulasi dalam sebulan maka ribuan jumlahnya, itu belum terhitung naskah bulan bulan sebelumnya yang berada di box elektronik mail.
Dari ribuan naskah yang masuk, setiap naskah berisi paling tidak 8 sampai 10 judul puisi. Seorang redaktur yang kawakan sekalipun, sangat mungkin menghapal nama nama sebagian besar penulis, tetapi mustahil ia dapat menghapal (ini karya siapa?) secara satu persatu. Redaktur, punya keterbatasan kontrol, di tengah konsentrasinya untuk memilih karya siapa yang layak terbit setiap minggu. Belum lagi menyusun list naskah-naskah yang menempati daftar tunggu.
Kita bersyukur, di negeri ini masih ada media massa yang memberi ruang bagi kebudayaan, padahal itu sangat sulit. Kita lebih bersyukur media-media hebat tersebut masih menyediakan lembar budaya dan sastra sebagai signal masih berdenyarnya kehidupan kesusastraan di republik ini. Tetapi kita tidak berhak untuk melulu menyalahkan redaktur dan media massa yang kebetulan sedang troble, memuat karya yang salah. Kita setuju, aksi plagiat adalah musuh kita bersama, tetapi kita belum dapat menemukan siapa yang paling bersalah atas kasus kasus yang terjadi dan belum jadi pelajaran bagi calon calon pelaku yang bersiap melakukan aksi serupa. (Redaksi)
Tidak ada komentar