YOGYAKARTA, JANGAN KAU ANGGAP AKU SEBAGAI TAMU |Sajak Riduan Hamsyah|
Pada sebuah titik, kita sama sama akan menua, Yogyakarta.
Tetapi jangan kau anggap aku sebagai tamu. Bunga-bunga kecil malam tadi menghiasi kita dengan sekuntum kisah lembut yang kusut sebenarnya sudah cukup lama kupahami karena aku begitu mengenalnya lekuk yang disembunyikan, atau lorong lorong tempat menampung kecemasan.
Bersama orang orang yang sudah begitu banyak memberikan kita warna dan waktu. Aku , sebenarnya, mencintai semua itu meski lebih besar cintaku pada udara kebebasan. Ya, udara di sepanjang trotoar yang telah merupa sungai dari tetes keringat ribuan langkah kaki, kuda kuda letih mengembara, mengitari kawasan Malioboro semua telah menjajah mereka sejak lama. Aku, melirik keletihan begitu dahsyat, dari jiwa jiwa yang dipaksa menarik beban kesumat. Bahkan dalam bilangan tak terhingga jumlahnya.
Jika pada sentuhan jemari lembut perempuan perempuan berseragam batik ini ada kegamangan membadai, meraba ke arah mana jalan hidup, maka pada andong-andong yang dipaksa berbudaya itu juga ada kemerdekaan yang terlucuti dari hasratnya berdiri.
Di sinilah, kemudian rencana itu, kusampaikan padamu. Aku akan sering datang. Meski lebih sering lagi pergi.
Kemudian, dari seteguk kopi yang kunikmati, banyak menyimpan siasat sesat. Lama aku berupaya memandang semua itu. Rasa pahit yang intens mengobati tubuh kita agar selamat dari kecemasan. Lalu, merasakan bahwa tuhan semakin mendekatkan aku pada lorong-lorong lain yang abai dari tatapan semesta.
Cordela, 25122019
Tetapi jangan kau anggap aku sebagai tamu. Bunga-bunga kecil malam tadi menghiasi kita dengan sekuntum kisah lembut yang kusut sebenarnya sudah cukup lama kupahami karena aku begitu mengenalnya lekuk yang disembunyikan, atau lorong lorong tempat menampung kecemasan.
Bersama orang orang yang sudah begitu banyak memberikan kita warna dan waktu. Aku , sebenarnya, mencintai semua itu meski lebih besar cintaku pada udara kebebasan. Ya, udara di sepanjang trotoar yang telah merupa sungai dari tetes keringat ribuan langkah kaki, kuda kuda letih mengembara, mengitari kawasan Malioboro semua telah menjajah mereka sejak lama. Aku, melirik keletihan begitu dahsyat, dari jiwa jiwa yang dipaksa menarik beban kesumat. Bahkan dalam bilangan tak terhingga jumlahnya.
Jika pada sentuhan jemari lembut perempuan perempuan berseragam batik ini ada kegamangan membadai, meraba ke arah mana jalan hidup, maka pada andong-andong yang dipaksa berbudaya itu juga ada kemerdekaan yang terlucuti dari hasratnya berdiri.
Di sinilah, kemudian rencana itu, kusampaikan padamu. Aku akan sering datang. Meski lebih sering lagi pergi.
Kemudian, dari seteguk kopi yang kunikmati, banyak menyimpan siasat sesat. Lama aku berupaya memandang semua itu. Rasa pahit yang intens mengobati tubuh kita agar selamat dari kecemasan. Lalu, merasakan bahwa tuhan semakin mendekatkan aku pada lorong-lorong lain yang abai dari tatapan semesta.
Cordela, 25122019
Tentang Penulis: Riduan Hamsyah, karya-karyanya telah dipublikasikan sejak tahun 2004 di Majalah Sabili, Pikiran Rakyat, Harian Amanah, Minggu Pagi, Jurnal Asia, Lampung Post, Dinamika News, Palembang Ekspres, Media Kalimantan, Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post. Juga tergabung dalam puluhan buku antologi bersama dan tunggal. Sehari hari ia bekerja sebagai ASN di Dinkes Pandeglang serta videografis untuk sejumlah media online.
Tidak ada komentar