MUNCHAUSEN | Cerpen T Fathimah |
---sometimes, at night I let it get to me. And sometimes, i'm sure it gets, to all of us---*
Sudah purnama ke enam, ketika apa yang dilakukan Bagas selalu berhasil membuat penghuni rumah mengangkat alis.
Tidak ada yang dapat memberi jawaban pasti mengapa Bagas bertingkah di luar kata “baik-baik saja”.
Sejujurnya, sang ayah yang telah tenggelam di usianya yang senja, diam-diam senantiasa menyelipkan doa-doa yang ia lantunkan di tengah lelap malam demi merayu Tuhan. Sekira menepis prasangka mengenai anaknya yang tak waras.
“Tentu, aku tahu persis,” dalam nadanya terselip perasaan seolah ia sedang mencurigai seorang maling. “Kalian pasti berpikir bahwa aku yang membuat dapur ini berantakan setiap malam.”
“Bukan begitu—“
“Kenyataannya begitu!” Bagas dengan cepat menyanggah perkataan Mayang, adik perempuan satu-satunya. Tidak ada yang berani berkomentar lagi.
Mayang terlihat cekatan membereskan tempat bumbu yang sudah masuk ke wastafel, piring ditumpuk di atas toples selai kacang, gelas-gelas kaca yang berubah menjadi Piramida dadakan dan segala benda di ruangan tersebut tidak berada diposisi seharusnya. Sedangkan sang ayah lebih memilih mencari jadwal pertandingan sepak bola terbaru di koran yang ia pungut tadi pagi.
Sambil berlalu, Bagas kembali bercericau, bisa saja itu adalah ulah dari makhluk halus yang tidak suka kepadanya. Begitulah, Bagas selalu spontan mengaitkan hal yang terjadi di rumahnya adalah ulah makhluk yang bahkan secara logis tidak bisa menyentuh benda. Diam-diam, adiknya membatin. Tidak bisakah ia lebih tertarik mencari hal yang disukai pria seusianya? Atau terobsesi pada pekerjaan, itu lebih baik ketimbang menyalahkan setan yang hanya berdiam di pojok ruangan.
******
Odelia masih betah mengacaukan meja kerjanya dengan segala kertas yang telah ia print beberapa saat yang lalu. Sejujurnya, apa yang tengah ia cari saat ini, sama sekali bertolak jauh dari pekerjaannya sebagai karyawati di sebuah kantor perusahaan sebuah jasa, bahkan untuk waktunya sendiri banyak ia pertaruhkan hanya untuk mencari kemungkinan yang bisa didapat. Setidaknya untuk menepis, bahwa Bagas—satu-satunya teman lawan jenis, memang masih baik-baik saja. Tidak seperti desas-desus selama ini.
Jemarinya kembali lihai mengetik di menu pencarian; Skizofrenia, Dan klik. Matanya mengikuti kursor seakan itu adalah panah yang menunjukkan arah di persimpangan jalan. Setelah membaca satu hingga tiga halaman website, ia kembali memasukkan keyword baru. Kali ini mulai dari Afektif, Bipolar disorder hingga OCD. Hasilnya tetap sama; nihil. Semua hasil yang Odelia cari tidak membenarkan semua sikap membingungkan Bagas.
Odelia memutuskan menyerah dan memilih berbaring di tempat tidur. Ketika memejamkan mata, benak Odelia membentangkan kembali layar lebar-lebar. Menyetel kembali alasan apa yang membuatnya sampai repot-repot mencari pembenaran sendiri. Layar di benaknya menapaki lagi kilas balik ketika pertama kali ia mencurigai sikap Bagas yang sepenuhnya salah.
****
--And last night it had me down. I'm feeling numb. I can try, but sometimes that it's enough--
Hari ketika tidak ada jadwal sekolah. Ketika orang-orang sibuk mengejar long weekend mereka, Odelia harus rela untuk menghabiskan satu harinya yang berharga, untuk mengunjungi Bagas bersama orang tuanya. Ajaibnya, orang tua mereka merupakan teman sejak sekolah menengah yang masih disatukan takdir untuk saling berbagi suka duka. Tidak untuk membahas hari persandingan atau rencana berkemah bersama, tetapi naluri teman dekat selalu bergerak cepat ketika salah satu dari mereka mengalami kemalangan. Odelia mendapat kabar bahwa ibunda Bagas meninggal dunia karena sakit yang sudah lama dideritanya. Hal ini tentu menjadi titik awal, sikap Bagas yang menarik diri dari lingkungan sekitar.
“Jadi, bagaimana keadaannya hari ini?” Eli, yang juga teman dekat mendiang ibunda Bagas sejak SMA itu sedikit memelankan segala ucapan yang keluar. “Kulihat, anakmu sepertinya baik-baik saja.”
Tidak ingin terdengar Anaknya yang terlihat sibuk pada televisi, Harmanto menjawab dengan tidak kalah pelannya.
“Ya, aku harap juga begitu. Tetapi jika kamu lihat ketika tiba-tiba saja gelas plastik melayang ke kepala, atau seseorang seolah berbicara sendiri, sepertinya anggapannya menjadi lain.”
“Jadi Bagas?”
“Dia bisa jadi orang yang emosinya di luar kendali di jam malam tertentu. Del, apa Bagas menceritakan sesuatu?”
“Bagas, tidak terlalu interaktif padaku akhir-akhir ini, Paman. Tapi aku mengerti keadaannya,” jawab Odelia cepat. Tetapi meskipun percakapan kedua orang ini ada baiknya Odelia perhatikan. Tetap saja, ia selalu memalingkan muka hanya untuk mengawasi, jika benar tiba-tiba saja Bagas berteriak padanya tanpa alasan jelas.
“Sejak kapan?” tanya Eli kemudian
“Sejak ibunya meninggal pekan lalu, Bagas sudah memperlihatkan sikap yang berbeda.”
“Apa mungkin?”
Harmanto hanya mengangkat bahu. Kehilangan seseorang yang sangat dicintai memang bisa membuat siapa saja tidak waras. Jika beruntung, ke-tidak-warasan tersebut hanya akan berlangsung sebentar saja. Meskipun Ia merupakan sosok ayah yang keras, matanya yang layu tidak bisa menyembunyikan segalanya.
Tanpa banyak lagi basa-basi, mereka memilih untuk segera pulang. Dan menitipkan doa-doa yang sepenuhnya baik untuk Bagas.
Pernah juga ketika Odelia mencoba mengunjungi untuk kedua kalinya seorang diri, karena mendapat kabar bahwa malam sebelumnya Bagas mengamuk dan hampir adu jotos dengan ayahnya sendiri. Alasannya sendiri sangat sepele; ia menyangka bahwa sang ayah sedang membicarakan dirinya lewat telepon bersama teman kerjanya.
Hanya karena itu? Oh, Tuhan.
Baru saja dia akan mengetuk pintu, Bagas sudah membuka pintu, dan menyambut hangat.
“Ah, Odeliaku. Aku tahu kau pasti akan mengunjungiku hari ini!” Penyambutannya begitu hangat, seperti tidak ada apa-apa yang terjadi di malam sebelumnya. Bahkan ia terlihat segar dengan balutan baju jas yang terlihat sedikit terlalu besar di badannya yang tidak terlalu gemuk. Penyambutan yang sangat formal sekali.
“Dari mana kau tahu aku akan berkunjung kemari?”
“Tentu saja bukan dari ayahku.”
“Lalu?”
Dia hanya tersenyum. Melihatnya begitu ceria, ia tahu lebih baik tidak mengacaukan harinya dengan membahas seputar keluarganya.
Hari itu, mereka habiskan waktu dengan bercanda, bercerita dan bermain game. Meski Odelia mengorek dengan halus masalah apa yang mungkin sedang dialami Bagas, ia selalu berhasil mengelak dengan jawaban yang menakjubkan.
“Kau baik-baik saja, 'kan?” Odelia bertanya dengan hati-hati di tengah permainan gamenya. Bagas masih tetap fokus pada layar, sesekali ia tertawa ketika berhasil menebas musuh di game tersebut.
“Kenapa? Kau juga menganggapku gila?”
Odelia tersentak dengan jawaban tersebut. Bagas tiba-tiba saja berdiri, ia membalikkan badan dan berjalan keluar kamar. Diambilnya sebuah gelas di meja lampu tidur, sebelum menutup pintu, ia membanting gelas tersebut begitu saja. Odelia terkejut bukan main, ia takut apa yang diucapkan tadi membuatnya tersinggung sehingga berlaku demikian. Di luar kamar pintu Bagas bercericau tentang baju yang ia pilih dari ayahnya. Suaranya semakin lama tidak terdengar jelas.
Sedangkan Odelia, masih saja bergeming. Ia masih kebingungan dengan kejadian baru saja, tetapi ada satu hal yang malah semakin membuatnya bingung.
******
Malam sudah lelap, tetapi kegaduhan di rumah Bagas masih saja terjadi. Setelah Mayang berhasil membereskan segala barang yang berserakan di dapur, kali ini ia harus rela digaduhkan dengan suara musik yang tidak pelan dari kamar sang kakak. Mayang memang tahu kalau kakanya menyukai lagu-lagu pop-rock sejak dulu. Hanya saja, akhir-akhir ini ia menjadi terlalu bosan. Setiap malam.
“Ayah, kupingku juga butuh istirahat,” protes Mayang ketika menjatuhkan diri di sofa. Sedangkan sang Ayah masih setia dengan koran yang ia pegang.
“Kau tahu sendiri bagaimana kalau kita larang, 'kan?”
“Tapi Ayah, Kaka sudah kelewatan. Setiap malam menyetel musik kencang-kencang, kadang membuat dapur berantakan, lebih-lebih selalu saja menuduh kita yang tidak-tidak. Bahkan, setan di rumah ini saja sampai dia tuduh. Padahal dulu Kaka orang yang begitu penurut.” Intonasinya menjadi sedikit memudar. Memang Bagas merupakan anak yang sangat dibanggakan oleh sang Ayah. Terlebih dia adalah anak sulung. Harmanto selalu menaruh harapan besar pada anak lelaki satu-satunya tersebut.
“Mungkin dia benar, setan di sini penyebabnya.” Mendengar jawabannya sendiri, ia sedikit tertawa kecil. “Mayang, apa yang akan kamu lakukan jika berhadapan dengan orang yang masih sakit?”
Mayang sedikit mengernyitkan alis. Meski bingung dengan apa yang ditanyakan sang ayah, Mayang menjawab selepasnya saja. “Ya mungkin bersabar dan membantu supaya orang itu cepat pulih.”
“Nah, lalu kenapa tidak kamu praktikkan sekarang?”
“Loh. Kaka kan gak sakit? Kenapa aku harus sabar? Lagian harusnya dia kuat, laki-laki masa mentalnya lemah begitu!”
“Mayang!” ujar lelaki itu agak meninggi. Memang sudah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja, daripada harus anak bungsunya ikut-ikutan memprotes, lebih baik dia menjelaskan dengan tidak berbelit.
“Kakakmu secara fisik memang baik-baik saja. Tapi secara mental, kamu lebih bisa menerima kepergian ibu. Sejauh yang ayah tahu, itu bisa jadi penyebabnya.” Mendengar jawaban demikian, Mayang lebih memilih untuk tidak lagi memperdebatkan.
Di tengah melamun mereka, tiba-tiba saja, Bagas melintas dengan cepat seperti sedang mengejar sesuatu. Harmanto yang terkejut melihat tingkah anaknya, cepat-cepat untuk menghalau dan mengejar Bagas keluar. Mayang hanya bisa mengejar sampai di depan rumah, dan lebih memilih menunggu. Setelah hampir dua puluh menit, Mayang mendapati ayahnya kembali tanpa Bagas.
“Ayah! Di mana kakak?” serunya.
“Dia terlalu cepat, tapi ayah tahu ke mana kemungkinan kakakmu pergi.” Harmanto masuk dan keluar dengan membawa sebuah senter. “Kita ke pemakaman.”
Setelah sampai di tempat pemakaman, dengan cahaya yang tidak terlalu mendukung, karena hanya ada dua lampu di setiap ujung jalan. Mereka tidak mendapati Bagas berada di sana. Karena waktu sudah semakin larut, mereka memutuskan untuk segera pulang.
Sepertinya keberuntungan selalu datang kepada orang yang berusaha, mereka menemukan Bagas yang sedang duduk berdiam di depan toko yang sudah tutup. Entah sedang memperhatikan kendaraan yang lewat, atau sekedar mencari angin.
Lengan bagas ditariknya paksa, agar tidak lagi pergi begitu saja. Kekhawatirannya sekarang lebih didominasi dengan rasa jengkel. “Bagas! Ngapain kamu di sini? Pulang!”
“Loh Ayah? Kok di sini?”
“Gak usah tanya balik. Ayok, ayah gak mau kalau sampai kamu cari ribut di sini.”
“Aku cuma dengerin musik.”
Urat-urat di leher Harmanto menegang. Namun, ia lebih memilih untuk menahan selagi masih di luar rumah. Melihat suasana yang tidak baik, Mayang berusaha untuk tidak ikut-ikutan menyalahkan kakaknya. Meskipun memang cukup melelahkan mencarinya.
Dengan sedikit bujuk rayu adiknya, Bagas bersedia ikut pulang, tetapi dengan syarat mereka harus mendengarkannya bernyanyi. Dia beralasan bahwa sudah dari tadi mencoba bernyanyi tetapi tidak ada satu pun orang yang lewat untuk mendengarkan suaranya. Mereka hanya menyetujui dan mengajaknya sembari berjalan pulang.
Di sepanjang jalan, Bagas banyak menyanyikan lagu. Tetapi tidak sampai tuntas. Kecuali untuk satu lagu yang memang ia sukai, In Bloom dari band ternama Neck Deep.
Ia menyanyikan dengan kelewat ceria. Jika ada orang yang melihat, mungkin orang itu akan menyangka bahwa Bagas sedang 'kumat'. Sampai ketika di lirik;
'And thinking back upon those days. Way-way back i when i was young. I was such a little shit. Cause i was always on the run. Well you know just what they say. I just like father then son'. Bagas menyanyikan bait tersebut berulang kali.
Kemudian kedua tangannya merangkul pundak ayahnya. Sedangkan Mayang hanya menatap nanar dari belakang. Ia semakin paham, kenapa ayahnya selalu mengingatkannya untuk lebih bersabar.
**
Malam sudah melewati pukul 12.00 ketika mereka berempat sampai di rumah. Setengah jam kemudian, Odelia dan ibunya datang untuk memastikan keadaan Bagas. Mereka berdua terlalu khawatir setelah mendapat kabar dari Mayang.
Lampu yang berwarna senja membuat suasana semakin hening. Samar-samar, Odelia mendengar ada yang berdendang. Arahnya jelas dari kamar Bagas. Odelia berjalan pelan meninggalkan Mayang serta ibunya yang asyik bercerita di ruang tamu. Dan betul saja, pintunya sedikit memberinya celah untuk mengintip. Didapatinya Bagas sedang bernyanyi, dengan suara lirih dan berat.
“Kau suka sekali dengan lagu itu ternyata.”
Ucapan Odelia membuat Bagas tersentak. Namun dengan cepat juga ia menjadi bersikap biasa saja.
“Tentu. Bukan hal mudah menjadi lelaki yang sempurna di mata ayahmu sendiri bukan?”
“Bukankah menjadi seorang lelaki itu sudah menjadi sebuah kesempurnaan? Kau tidak perlu repot-repot untuk dapat setara.” Odelia lebih memilih menjaga jarak dan mengamati Bagas dari ambang pintu.
“Kau tahu bait apa yang cocok untuk kita dari lagu yang selalu aku nyanyikan?
“Don’t delude me with your sympathy. Cause i can di this on my own.”
“Don’t delude me with your sympathy. Cause i can di this on my own.”
Keduanya mengucapkan lirik yang sama kemudian saling menatap tajam. Seperkian detik, suasana menjadi lebih dingin.
“Kau tahu tidak? Aku tidak sedikit pun bersimpati padamu,” ucap Odelia dingin. “Aku sudah tahu kalau kau hanya memanfaatkan keadaan agar dapat memihakmu. Tapi maaf, itu tidak berlaku jika kau lakukan padaku.”
Bagas tersenyum licik. Ternyata semua yang dia lakukan secara apik bisa ditepis dengan mudah oleh temannya sendiri. Tetapi ia sendiri tidak terlalu terkejut, memang Odelia lah yang paling mengetahui dirinya sendiri disamping keluarganya.
“Lalu ....” sebelum melanjutkan ucapannya, Bagas berjalan mendekati Odelia. “Kau berpura-pura bersimpati kepada keluargaku untuk siapa?”
Odelia tetap tidak memberikan jawaban apa pun. Bagas kembali duduk di kasur, kemudian menceritakan bagaimana ia menjadi “anak baik” di atas tekanan ayahnya sendiri sejak kecil. Bagaimana ia mulai mengubur banyak keinginan karena sang ayah memilih hal yang menguntungkan hanya untuknya. Bagi Bagas menjadi anak baik hanya lah sebuah pelarian saja.
Setelah dirasa Bagas selesai bercerita, Odelia menyimpulkan kejadian ketika beberapa hari lalu saat bermain game.
“Kau memang menderita Munchausen, Bagas. Berpura-pura hanya untuk mendapatkan simpati orang lain. Karena tidak mungkin, seorang yang sakit jiwa mengakui dirinya tidak waras.”
“Hahaha! Kau memang pintar menebak seperti biasa. Tetapi siapa saja, aku yakin. Dia tidak lebih sepertiku.” Matanya menatap tajam Odelia yang langsung memalingkan muka.
--TAMAT--
*Cerita terinspirasi dari lagu Neck Deep dengan Judul In Bloom.
*Lirik hanya diambil beberapa bagian saja untuk mendukung cerita yang berjalan.
Tentang Penulis:
T Fathimah, lahir di Wanayasa, Purwakarta. Hobi membaca dan menyukai menulis terutama cerpen. Aktif sebagai content writer.
Tidak hanya ingin terus tergabung dalam antologi, ia sedang menapaki kumcer pertamanya. Dapat dikontak personal melalui email; timafatimah96@gmail.com atau akun Facebook dengan nama yang sama.
Tidak ada komentar