PERIHAL RENCANA | Puisi Husein Heikal |
SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU : EDISI 4 (2020)
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi minimal 5 judul untuk dipublikasikan setiap malam minggu
kirim karyamu ke e-mail: majalahsimalaba@gmail.com
subjek SEMARAK SASTRA MALAM MINGGU.
Apabila dalam 1 bulan naskah tidak dimuat maka dipersilakan mengirimnya ke media lain.
(karya yang dimuat diberikan honorarium)
Hari ini aku datang sebagai serpihan
kaca-kaca retak dan tertawa
serupa wajah peratap senja
menangisi sebatang jasad
asal segala muasal
tanah rindu pada kita
ingin segera mencium
tepat di detak nyawa
Kelak, semua rencana ini
menjadi peristiwa-peristiwa
ketika kau terbangun
dari igau panjang tentang bulan
meraba-raba pagi
mencari umur yang terus kau
siram dengan setia
Masih aroma sama
bertahun lalu, atau aku
tengah lupa dan bicara apa?
Hari ini rencana-rencana
aku bangkitkan dari kuburnya
betapa bahagia mereka!
kau tidak lihat itu
tepat di atasmu bayang-bayang
menjaga tiap-tiap rencana
seolah para malaikat
sama menjaga kita
Di dalam kamarku hujan
berlangsung ramai
membanjir ubun-ubun
meyembur kepala lewat elegi
aku tak ingin bertanya,
itu bakal terjadi pada hari apa?
Ketika kita bersama, ah; maaf
salahkah aku bertanya?
bila udara menumpat ruh kita
dan nyawa kita tersesat
mencari-cari asal
kemana kita bersama pergi?
Hari makin sadar
saatnya memecat hujan
dari balik layar kerja
dan perlahan-lahan
matahari membuka tabir
dari segala yang kita rencanakan
RUMAH
Nanti, bertahun atau berpuluh tahun akan datang
kiranya apa yang terjadi pada rumah ini
sebuah rumah yang aku diami bersama ibu dan sepi
lantai-lantai dingin dibalut malam
cahaya tv yang menyalang buram
huruf-huruf dalam buku yang hilang
Akan kemanakah meja yang aku pakai kini
nanti, ketika bertahun atau berpuluh tahun akan datang
masihkah ingat rumah ini berulang menjadi saksi
berbagai pertemuan dan peninggalan
akankah nanti, rumah ini tersingkir
kembali menjadi butiran pasir
asalnya paling semula
Ah, butir-butir pasir
bakal menjadi pengingat terabadi
ketika tangisku gelisah
ketika tawaku renyah
ketika aku menguyah
ketika aku pecah!
Ketika aku
mengeping-ngepingkan diri
dalam pelukan angin di lantai dua
tempat kata ditempa setajam senjata
yang memulangkan aku kepada ritus-ritus resah
Nanti, ketika aku merindu ibu
akan kemana aku cari sisa aroma yang pernah tersinggahi
selimut atau sisir yang merontokkan rambutnya
akankah semua masih tersusun di lemari beraroma sepi
yang teramat sungkan untuk tersusun rapi
Duhai, gusarku kian menyebar-nyebar
membayangkan ketika bertahun atau berpuluh tahun akan datang
rumah ini akan hilang!
Dan aku sungguh teramat takut
lihatlah; badanku gemetar, jiwaku mendebar
aku takut tak akan pernah menemukan
sesuatu yang telah hilang
tak terlacak dari rubrik-rubrik ingatan
GIGIL
retak telah sampai di tepi gigil
cahaya yang kau cari
telah lama aku paksa untuk mati
di jurang ujung lembah
“disitu pula aku pernah bermimpi
merantau sunyi seorang diri”
setelah itu kau teruskan pencarian
ke risau abu, ke kelam rindu
kau temukan lagi itu
aduh yang berulang jemu
kau tak tahan, tak pernah tahan
untuk tidak menyentuh itu
sebuah pulau yang berdiri
dari jutaan pasir resahmu
ANGAN
tak terangankan segala
yang berlangsung kini
medan pagi hari
hidup bersama nafasmu
satu-persatu mengetuk kelopak
mataku haru menahan pedih
huruf-huruf ditempa jemari
dingin malam padangbulan
hujan lima menit lagi!
kau tertawa. tapi tadi aku katakan
tawa itu luka: luka yang begitu indah
lagi-lagi kau tertawa
mendung. entah mengapa saat kita disitu
rintik yang sama selalu menggejala
barangkali kalah atau justru menyerah
pada yang begitu murni-begitu merah
tiga hari berlalu
tak terangankan segala
yang berlangsung kini
rimah-rimah satu-satu menyatu
membentuk ruang kita berdiang
menanak rindu pada hari-hari debu
kota ini lelah. namun kita tak menyerah
meringkus terik siang dalam pelukan
hingga menyudahi perjalanan
aku tatap keberangkatanmu lekat-lekat
sesal yang berdiri menjadi pulau
di kamar tidurku
MELANKOLIA
–– Gate of Farewell, 1997
Di laut mana aku tumpah
seluruh diri dan gala-gejala
menyeret-nyeret aku
menghadap gerbang
Ruang Perbatasan
tempat rindu ditempa
luka dirobek tanpa suara
tak ada darah
tak ada zat tumpah
Hanya jerit
amis, dan gigil tak terdengar
jiwa menggema
membakar diri jadi cahaya
api merempas kepada laut
api mengobar
laut menyebar
memilah-milah rasa
angan dan cerita
Ke arah sana
ya, tak ada yang pasti
seperti igau jelang pagi
ah ibu, aku bermimpi
menari seorang dari
abad lalu kegelapan
serupa angin yang
menjenguk aku itu, dulu
ketika aku mengais tanah
mencari masa kecil
hijau, beku
Disinikah kini
aku bosan bertamu
melawat waktu
aku menjadi catatan
sejarah, usang
berkarat asing
aku tak pernah mencium ini
seperti raung
ah bukan, bukan raung
semacam erang
Lihat, lihatlah
ke arah sana
arah yang memanggil-manggil aku
tak lama lagi
sungai pengalir air mata
tak pernah terhubung
tidak,
sebab perpisahan itu
cuma gejala
rapuh atas jiwa
Usai, usailah semua
tak ada lagi tentang
pelukan terakhir
atau sekali lagi ciuman
sebab sejak bermula
debar semakin gema
(( gema ))
Tentang Penulis
Husein Heikal, lahir di Medan, 1997. Menyelesaikan studi di Universitas Sumatera Utara. Menulis untuk Horison, Kompas, Koran Tempo, Utusan Malaysia, The Jakarta Post, Media Indonesia dan terangkum beberapa antologi. Saat ini menggarap kumpulan cerita pertamanya Ular yang Berdiang dalam Kepala Sylvia.
Tidak ada komentar