PARASITE DAN FENOMENA GAGAL | Esai Eeng Nurhaeni |
Redaksi Simalaba menerima tulisan puisi (minimal 5 judul), cerpen dan cernak (minimal 4 halaman A4) esai, opini, artikel dan liputan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi media Simalaba untuk dipublikasikan setiap hari (selain malam minggu) kirim karyamu ke e-mail : majalahsimalaba@gmail.comBeri subjek SASTRA SETIAP HARI. Program ini juga memberi ruang bagi sahabat pemula dalam dunia sastra agar tetap semangat berkarya (Belum berhonor)Redaksi berhak menyunting naskah yang masuk tanpa mengurangi maksud dan isi dari tulisan.
Universitas College London, Inggris, telah mengadakan penelitian dan berhasil menemukan fakta empiris bahwa kebohongan sangat berkaitan erat dengan kondisi otak seseorang. Bentuk penelitian dimulai dari proses pemindaian otak kepada responden. Para ilmuwan menyebutnya dengan istilah Functional Magnetic Resonance Imaging (FMRI). Kemudian, kepada puluhan responden diberikan simulasi-simulasi kasus terhadap mereka.
Di antaranya, suatu hal yang dapat menguntungkan dirinya dan kawannya; lalu hal yang menguntungkan dirinya dan merugikan kawannya; terus menguntungkan kawannya dan merugikan dirinya; atau menguntungkan salah satu dari mereka tanpa memberi efek kepada yang lainnya.
Apakah sutradara Korea Selatan, Bong Joon-ho, yang berhasil memboyong kemenangan Oscar dalam filmnya “Parasite” pernah mengadakan penelitian serupa. Saya tidak tahu. Tapi yang jelas, film tersebut menyiratkan kebohongan sebagai salah satu fenomena yang mengurat mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat kota. Empat tokoh dalam film Parasite, sebagai keluarga marjinal di tengah perkotaan, seakan menganggap bahwa kebohongan adalah sesuatu yang lumrah dan wajar saja.
Keluarga marjinal itu, telah mengesampingkan nilai-nilai kejujuran yang seharusnya menjadi tanggung jawab moral setiap individu dalam bersosialisasi. Penelitian di universitas College ini terus mempelajari aktifitas ketidakjujuran, dan berusaha mengungkap mengapa sedikit kebohongan bisa mendorong pada kebohongan-kobohongan selanjutnya yang lebih besar lagi. Inilah esensi dari penggambaran Parasite, sebagai film Asia satu-satunya yang berhasil meraih Oscar sejak awal penganugerahannya (1927).
Film tersebut sama sekali tidak menyinggung proses kemajuan teknologi pemindai otak yang dapat mengungkap fakta medis di balik kebohongan dan perilaku berbohong. Melalui metode FMRI, para ilmuwan menunjukkan bahwa bagian otak amigdala, bagian yang sangat berhubungan dengan aktifitas emosi manusia, menjadi sangat aktif ketika responden melakukan kebohongan kecil pertama demi keuntungan pribadinya.
Reaksi amigdala ini akan semakin menurun seiring dengan peningkatan kekuatan berbohong responden. Bahkan lebih tendensius lagi, penurunan semakin besar dari aktifitas amigdala diprediksi akan mendorong kebohongan lebih besar di masa yang akan datang. Inilah yang membuat tokoh-tokoh utama dalam film Parasite tak sanggup lagi mengukur risiko, sampai pada waktunya mereka menganggap bahwa kebohongan itu lazim dan biasa saja.
Parasite dan Neurosains
Dr. Tali Sharot dari UCL Experimental Psychology menyatakan bahwa, ketika seseorang berbohong untuk kepentingan pribadinya, amigdala memberi perasaan negatif yang akan membatasi tingkat di mana ia sedang bersiap-siap untuk melakukan kebohongan berikutnya. Respon amigdala akan memudar jika seseorang terus berbohong. Lalu, jika tingkat pemudaran itu semakin rendah, maka ia akan terus berani melakukan kebohongan yang lebih besar lagi, sampai-sampai – dibuktikan dalam ending film Parasite – hukum alam sendiri yang akan bertindak dan membalas keburukannya.
Peningkatan aktifitas amigdala sangat kentara pada tokoh ibu (diperankan Jang Hye-jin). Demi keuntungan diri dan keluarganya, ia tega mendiskreditkan pembantu lama untuk menggantikan posisinya. Degradasi moral semakin menjadi-jadi ketika seluruh anggota keluarga marjinal ini – yang dilegitimasi oleh peran bapak selaku teladan (diperankan Song Kang-ho) – terus menggalakkan ketidakjujuran kecil menjadi kebohongan-kebohongan yang semakin besar.
Suatu kali muncul pembelaan dari sang suami, bahwa majikannya itu adalah orang kaya yang baik hati. Namun demikian digugat pula oleh istrinya bahwa, “Bukan karena kebaikan yang membuat mereka menjadi kaya, tapi justru karena mereka kaya yang membuat mereka menjadi baik.”
Kisah yang ditampilkan Parasite pada prinsipnya adalah pembenaran akan sikap korup dari keluarga marjinal, bahwa dalam diri mereka pun menyimpan benih-benih mentalitas para koruptor. Memang sangat interesan di era milenial yang sarat hoaks dan kebohongan yang kadang dilakukan secara struktural akhir-akhir ini. Meskipun kemenangan film garapan sutradara Bong Joon-ho ini banyak mengundang perdebatan dan kontroversi, tetapi sampai saat ini makin ramai para penulis dan intelektual membahasnya, baik melalui resensi atau sinopsis di berbagai media nasional dan internasional.
Jangan Gagal Paham
Setelah kemenangan film Parasite, banyak acara diskusi dan dialog yang diselenggarakan lembaga kebudayaan maupun perfilman kita, namun nyaris tidak satu pun yang mengenai sasaran dalam khazanah software perfilman dunia. Kebanyakan pembicara mengawang-awang ngalor-ngidul, sampai-sampai ada juga yang getol mengelus-elus batu cincin di jari jemarinya.
Ada pertemuan budaya di Jakarta yang diakhiri dengan pembicara seorang seniman senior – sebab ia tak pernah menolak disebut “senior” – yang menyimpulkan bahwa film Parasite seakan-akan peringatan bagi pemerintah kita agar membangun toilet di seluruh Indonesia. Saya kira, sah-sah saja kesimpulan seperti itu. Memang ada adegan seseorang yang kencing di sembarang tempat. Juga peringatan itu ada moral massage-nya, tetapi maaf, apresiasi seperti itu amat sangat dangkal!
Selain itu, untunglah ada pengecualian. Saya sempat mengapresiasi resensi yang luar biasa dari seorang kiai NU Banten, yang sekaligus anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), K.H. Chudori Sukra (kolomnis Kompas) dalam opininya, “Mimpi Asia dalam Belenggu Parasite”. Ia menyandingkan film Parasite dengan novel John Steinbeck (The Pearl), yakni tentang seorang marjinal pinggiran kota, tiba-tiba kaya mendadak setelah menemukan mutiara pada saat ia menyelam. Sebutir mutiara yang menghebohkan itu menjadi bahan perbincangan di seputar tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Mau tidak mau ia dituntut agar menjadi seorang dermawan yang serba dadakan.
Hal ini mengentakkan ingatan kita pada simbol “batu jimat” yang terus-menerus dalam genggaman si anak sulung dalam Parasite, yang pada akhirnya harus dikembalikan ke habitatnya. Peristiwa sakral (syirik) ini bisa disandingkan pula dengan keris sakti dalam genggaman Mbah Durip dalam novel Perasaan Orang Banten, yang dianggap sebagai pendatang rezeki dan penangkal marabahaya. Begitupun dalam The Pearl, mutiara itu diibaratkan kunci surga firdaus yang berada dalam genggaman keluarga. Mereka membayangkan kehidupan masa depan yang serba mewah dan membahagiakan. Tetapi, rupanya dugaan itu meleset jauh.
Akibat kehadiran mutiara itu – sebagaimana simbol batu jimat tadi – justru menimbulkan komplikasi-komplikasi batin yang tidak kepalang tanggung. Ia menjadi penyulit jalan hidup yang merepotkan dalam dunia yang serba kalut dan tamak. Sampai pada akhirnya, keluarga itu memutuskan untuk melemparkan kembali mutiara itu ke tengah laut. Inilah yang menjadi moral massage, sekaligus menyiratkan pesan religius dari Steinbeck: “Kehidupan sederhana dan apa adanya, jauh lebih menentramkan batin, ketimbang diselubungi kemelut uang dan keserakahan.”
Cerpen Hafis Azhari
Sementara itu, Dr. Neil Garret selaku pemimpin penelitian di Universitas College, London, menandaskan bahwa sinyal amigdala menjadi enggan merespon seiring dengan sikap-sikap korup yang amoral. Karena itu, respon otak menjadi tumpul jika ketidakjujuran dilakukan secara berulang-ulang, terlebih jika ketidakjujuran itu hanya mementingkan keuntungan dirinya serta merugikan pihak lain.
Hal ini mengingatkan kita pada cerpen Hafis Azhari berjudul “Kampung Abal-abal” (www.ahmadtohari.com) yang mengisahkan tentang kebohongan seorang ustad yang mengultuskan diri selaku “tokoh agama” di suatu kampung subur nan makmur, tapi masyarakatnya hidup miskin dan marjinal.
Meneladani gaya politik para penguasa, sang ustad memanfaatkan kebodohan massa sebagai komoditas politik semata. Dikuburlah seonggok kayu besar, lalu dengan memanfaatkan ayat-ayat Alquran, diiringi dengan gaya retorika seorang penceramah handal, ia berteriak-teriak di depan publik bahwa gundukan tanah di samping rumahnya itu adalah makam seorang wali besar.
Ajaran agama menjadi ajang pamer yang didakwakan ustad, yang tidak membuat masyarakat menjadi tentram dan nyaman, tapi justru membuat mereka menjadi takut akan kesaktian ustad berikut makam wali di samping rumahanya. Perlahan namun pasti, mereka pun memberikan berbagai macam sedekah dan sesajen, hingga membuat taraf hidup keluarga ustad semakin meningkat drastis. Sementara, nasib kemiskinan dan kebodohan masyarakat terus meningkat dari waktu ke waktu.
Badai besar dan banjir bandang selaku pewartaan hukum alam yang berlaku, akhirnya menghantam rumah sang ustad berikut makam wali yang hanya berisi bongkahan kayu besar. Rupanya sang ustad tak menyadari faktor geografis, bahwa dirinya telah membangun bangunan megah di bantaran sungai yang merupakan dataran paling rendah di kampung tersebut.
Kebohongan semakin terungkap dengan jelas, dan akal-akal sehat semakin bermekaran menaungi kehidupan masyarakat kampung. *
Tentang Penulis:
Esais dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten Selatan
Tidak ada komentar