Relevansi Sastra dan Teks Kitab Suci | Esai Irawaty Nusa |
“Kita saat ini sama saja dengan diri kita tujuh tahun yang lalu, kecuali bila kita bersahabat dengan bacaan-bacaan yang mencerdaskan.”
Ungkapan puitis dari orang-orang bijak seperti itulah yang membuat jantung deg-degan bagi orang-orang yang bermindset tetap. Menurut hasil penelitian Carol Dweck, guru besar Universitas Stanford, orang yang bermindset tetap itu boleh jadi mereka yang dulunya berada di ranking teratas dari sisi akademis. Mereka bukan orang bodoh dan dungu. Justru karena itu mereka memupuk watak dan tabiat yang selalu membuatnya cemas bila melihat saingannya menanjak naik. Bahkan merasa takut seandainya sang pesaing berpotensi untuk mengejar dirinya. Karena dalam logika mereka yang bermindset tetap, sebuah prestasi hanya berhak bagi dirinya saja, tidak berhak bagi orang lain. Apalagi sang pesaing mampu melakukan hal-hal besar yang dulu dianggap mustahil dia lakukan.
Tidak jarang musuh-musuh perubahan itu adalah orang yang punya materi cukup, dikelilingi orang-orang berkedudukan tinggi. Dia gemar mengkritik dan menyerang lawan bicaranya secara lugas dan lantang. Namun, seringkali mereka lupa bahwa tidak semua orang cerdas akan selamanya cerdas, begitu juga orang bodoh tentu tidak akan selamanya bodoh. Sikap yang tidak menghargai proses ini akan bermuara pada kesombongan, bahkan keangkuhan intelektual yang menganggap hanya dirinya yang layak mencapai maqom seperti itu.
Ketika dia berkumpul dalam suatu komunitas lembaga maupun partai politik, keangkuhan itu semakin menjadi-jadi. Tidak jarang kita temukan para aktivis yang meneriakkan yel-yel dengan mengatasnamakan hukum Tuhan di atas segala-galanya (truth claim). Jadi, mereka hanya mengklaim bahwa orang-orang cerdas hanya ada dalam gerombolannya, sedangkan kelompok lain dinilai tidak mumpuni untuk menerjemahkan teks-teks agama. Padahal, kitab suci justru didominasi oleh teks-teks yang butuh penafsiran akan makna yang terkandung di dalamnya (dzanni ad-dalalah). Ya, walaupun tidak sedikit ayat yang sudah memiliki makna jelas (qath’i ad-dalalah), namun tetap masih dibutuhkan tafsir serta perincian tentang pengamalannya.
Orang yang mindset-nya tidak berkembang senantiasa dilumuri perasaan dengki dan permusuhan. Sedangkan nilai-nilai filosofis dalam ajaran agama, hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang jiwa dan pikirannya jernih. Membaca ayat-ayat Alquran, sebagaimana membaca esensi kebenaran yang terkandung dalam karya sastra, hanya akan mudah ditangkap oleh pribadi-pribadi yang terbuka hati dan qolbunya.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa jiwa-jiwa yang lapang dan bersih, akan mudah konek dengan kebenaran (ayat-ayat Tuhan). Sedangkan, orang yang hatinya kontra terhadap kebenaran dan kebaikan, tak lain adalah mereka yang terlampau bernafsu mementingkan urusan duniawi, mengejar target-target yang sebenarnya tak lain merupakan “fatamorgana”, tidak pernah mengenai sasaran yang dimaksud demi kebahagiaan batinnya. Hal ini terjadi tanpa kecuali, baik di tingkat akademisi, politisi, dunia usaha, bahkan tidak jarang di lembaga pesantren sekalipun.
Jika seorang individu sudah benar dalam batin dan kalbu, senantiasa dia akan menjadi terampil dalam urusan lahiriah. Tapi, dapatkan teks-teks wacana yang mendasarkan diri pada bahasa hati dan kalbu, dapat dipahami oleh mereka yang hatinya kotor dan miskin imajinasi? Tentu saja akan sulit menangkap moral massage dari bahan bacaan yang sarat imajinatif, bagi mereka yang miskin imajinasi. Begitupun sebuah karya sastra dan jurnalistik yang ditulis berdasarkan hatinurani, tentu hanya akan dapat dipahami oleh pembaca yang mampu membuka mata hatinya.
Dalam konteks agama, mana mungkin Alquran dipahami oleh mereka yang sibuk dengan kepentingan rasionalisasi, intelektualisme, dan pembenaran terhadap prilaku politik kotor? Bagaimana mungkin teks-teks Alquran dimengerti oleh mereka yang tidak memiliki spirit perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan? Apalagi bagi mereka yang gemar melakukan perselingkuhan di antara trinitas terselubung, yakni kuasa politik, ekonomi, sambil menghamba-hamba pada “orang pintar” untuk memperoleh legitimasi?
Orang yang tak suka perubahan, boleh jadi akan memutar otak bagaimana rubrik-rubrik sastra yang dianggap tak sehaluan dengan garis politiknya – sehebat apapun pengaruhnya bagi pendidikan umat – senantiasa dianggap “ancaman” yang perlu dijegal dengan berbagai macam cara. Hal ini menjadi tantangan serius bagi keteguhan sikap dan mental para sastrawan dan jurnalis. Karena, di bumi manapun kita berpijak mesti akan berhadapan dengan godaan yang menantang kita agar memilih jalan kebenaran ataukah kebatilan. Pada fase inilah manusia sedang bersiap-siap menghadapi kenaikan dejarat dalam perjalanan hidupnya, ataukah justru dia akan mengalami sebaliknya.
***
Tentang Penulis:
Irawaty Nusa. Pengamat sastra dan peneliti historical memory Indonesia
Tidak ada komentar