Puisi Puisi Riduan Hamsyah
MENUNGGUMU DATANGMenunggumu. Membawa kabar baik buatkubuat orang orang yang ngobrol asyik di sekitarku. Setelahnya kita akan bergerak lebih cepat ke barat, menuju gunung gunung dan kabut, ada sungai, lembah juga lelah yang lama kita tidurkan.Aku ingin menambah langkah ini dengan kelebat bayang bayang daun di rimbun gunung. Bosan dengan jerat di seluruh pembuluh labirin yang menahanku di suatu tempat keparat, aku ingin melesat bersamamu ke sebuah titik ketika kita bicara tentang hakikat kebebasan.Menunggumu datang, membawa angin sejuk, hari hari baik silih berganti di tubuh kita sementara banyak belahan yang belum sempat kita periksa. Sudut sudut bumi yang belum kita kunjungi dan kita sepakat untuk mencukupkan janji pada kelimunan kota ini pada orang orang yang ramah pada gadis gadis yang batal kita cintai.Menunggumu datang. Agar kita sama sama pergi. Memeriksa bumi. Udara di lembah. Dan, ikan ikan yang damai di celah sungai.Banten, 01082020TAK USAH KAU TERJEMAHKANSAJAK INI, ASTUTIAda deru angin, padahal malam sudah dingin. Sedingin bulir bulir pasir di kaki laut, sedingin peluru di benak pemburu.Huru hara ini pergi. Menggendong lebam sejarah, maka: tak usah kau terjemah setiap sudut kalimat, sajak sajak yang menetas dari rahim kecemasan.Ini sebuah kisah dari sekelumit pemantik api yang jiwanya terbakar, merupa jerit tak bersuara, hanyut di tenggorokan sebelum nyemplung ke lambung sunyi.Ya, Astuti, kita memang sedang berjudi dengan sunyi. Ketika malam berangkat merantau. Ketika sajak sajak yang kita tuliskan semakin dangkal mengejar kecipak air semata kaki. Kaki yang terus menghujam langit. Langit menjadi duri. Duri menjadi ular, meliuk tarianmu di sayup kulitku, dan ini, lagi lagi kuibaratkan sebagai dingin.(Ruang sastra, 24072020)
Tentang Penulis:
Riduan Hamsyah, telah mempublikasikan sajak sajaknya sejak tahun 2003 di sejumlah media massa serta buku buku antologi. Saat ini ia memilih untuk menulis secara mandiri sambil menikmati hari hari berkesenian.
Tidak ada komentar