Puisi Puisi Diah Febriani
KETIKA LAUT MENJADI TUA
Setelah engkau menjadi laut
aku, serupa pantai yang setiap saat membaca gelombang pikiranmu,
yang terkadang gemuruh
memanggil pasir pasir yang lain
juga siulanmu yang mengubah pelangi menjadi gelagat tsunami merubah arah angin
mengusir jauh mata-mata camar yang terus menggerutu,
mengisyaratkan sajak sedikit lugu.
Di sini saat kau menjadi laut,
lidahmu meludahi karang hingga pecah menjadi seonggok bangkai nestapa,
kemudian aroma itu larut ke rongga dada ini
dan berbalik arah, muntah jadi percikan api.
Dan ketika laut menjadi tua
senyumanmu itu sirna,
tiada lagi laut yang hijau, gemuruh pun menjadi renta
setelah itu kita, oleh waktu terhapus perlahan dari peradaban.
Lampung Barat, 01 Juni 2020
MUASAL RINDU
Sejak mendung mulai menua di matamu, jemari kita seakan membeku
meskipun kaki kita tetap melangkah pada banyak kemungkinan
Menyusuri jejak, pada putih pasir hingga ke ujung karang
dan sejak itu pula cinta ini kita sepakati, menjadi muasal rindu yang kutitipkan di celah
dadamu.
Kita belum akrab benar,
untuk mereka-reka kokohnya karang dan semerdu apa nyayian camar
sebab denyar di pembuluh nadi masihlah berselimut kabut
debur ombak belum seirama detak yang gagal diutarakan.
Bila nanti, mata kita mencari isyarat jalan pulang
kita akan menjejakkan kaki di tepian pantai ini lagi
yang disetiap deburnya adalah rasa rindu
mungkin kita akan berpelukan, dan lebih jauh lagi memaknai perjumpaan
lalu mengeja belalak mata menarasikan birunya laut
dan mengabaikan segala pergunjingan
sebab, arti sebuah perbedaan bukanlah alasan sebagai jarak.
Dan,
Biarkan camar berdansa mencumbu senja agar ia tak lagi menganyam firasat awan
ketika mereka menyusuri jejak putih pasir yang menjelma menjadi kita.
Lampung barat, 26 maret 2020
MATA YANG MERINDUKAN MUSIM
Mata itu masih menyimpan musim
dan ia bisikkan kedalam nadinya sendiri
tentang cuaca yang menggelinding di ingatan,
tentang sungai yang dahaga,
juga asap yang menari di atap jerami
sementara kelopak lembab menganak airmata.
Hakikat musim yang selalu ingin ia raba
menarasikan nasib bunga kopi
pertikaian putik yang ingin melintasi masa panen memerah,
tetapi semuanya kembali dilipat angin
bahkan rumput-rumput rebah tak berdaya.
Mungkin ia bosan menghitung biji kalender
hingga jarak tak berkelipatan
sedangkan tiang dangau telah merapuh dilalap usia yang kian menua.
Lampung Barat, 10 Maret 2020
Tentang Penulis:
Diah Febriani tinggal di Pekon Puralaksana, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat. DIAH FEBRIANI Lahir di Mutar Alam, 07 Februari 1985. Ia senang menulis dan membaca puisi sejak SD, puisi-puisinya juga terbit di media online SIMALABA, buku Antologi MALAM PURNAMA DI TEPI LIWA(2018), Buku Antologi SEPASANG CAMAR (2018), Buku Antologi penyair ASEAN Kunanti di Kampar Kiri (2018), Event Puisi Tifa Nusantara 4 (2018), Event Puisi Pringsewu Kita (2020), Event Puisi Antologi Bersama Melawan Covid-19
Tidak ada komentar