BULAN BULAN SAKIT | Sajak Riduan Hamsyah |
Tak ada bulan. Mungkin ia sedang sakit. Tersudut ke ranah yang membuatnya tersengal sendiri mengitari pikiran pikiran sendiri. Lelah berpikir, ia menulis sajak, ini pertanda sedang retak. Barangkali. Tetapi penyajak yang telah menemukan ruang kekata tak akan lagi mau tunduk pada perasaan. Apa lagi sekedar cinta pada biji biji bumi.
Kembali pada bulan, kita sedang diuji, barangkali oleh rasa yang mencekam atau bisa jadi tertusuk dari belakang. Ada wilayah yang sedikit terguncang berdenyar di hulu dada tetapi sebagai makhluk yang terbiasa dengan pengkhianatan, kita bisa kembali menguasai pikiran. Kembali tenang. Dinamis seperti danau. Tetapi cahaya bulan tak ada yang memantul dari dalam danau, dimana ada kecipak yang hanyut ke dalam angin, wajah menjadi bening meski hati sebenarnya sedikit kacau.
Untung ada perempuan yang setia mendampingi. Mengalirkan urat urat yang tersumbat, dada yang meremang oleh kecemasan. Ya, tugas kita akhirnya mesti berperang dengan kecemasan sebab setelah itu segala rasa tak nyaman akan merupa kenangan. Kenangan yang lindap. Berserakan di jalan jalan menjangkiti kita dengan beragam ambisi manusia, kadang terlihat jelas dari dengus nafasnya, ada yang datang ke rumah, mengetuk pintu menjelang magrib menagih kecemasan yang terbawa pulang. Nah, lagi lagi kecemasan yang belum juga mampu kita singkirkan ke balik bayang bayang bulan.
Tetapi bulan kini tak ada. Meski di hari baik. Udara tenang dan sedikit bintang. Mungkin ia sedang menjumpai alam yang baru. Menemukan orang orang baru, dengan rencana yang baru. Percayalah, ketika kabar baik datang, cemas ini akan hilang, atau berpindah pada orang.
(Penulis: Riduan Hamsyah, bekerja sebagai ASN dan konten kreator)
Tidak ada komentar