LEBIH AKRAB DENGAN WALI oleh: Eeng Nurhaeni
“Sayangi dia, jagalah dia, dan bantu perjuangannya. Di dunia ini hanya ada satu orang seperti dia.” Kata-kata ini pernah disampaikan seorang kiai sufi, ketika ada seorang murid bertanya tentang siapakah si Fulan itu yang sebenarnya? Dalam kaitannya dengan karakteristik seorang wali yang unik dan langka, Imam Al-Ghazali pernah ditanya perihal bagaimana kita bisa mendapatkan seorang Guru Waliullah. Kemudian, Al-Ghazali menjawab, “Menemukan mursyid yang Waliullah itu ibarat menemukan jarum di tengah padang pasir dalam keadaan gelap gulita.” Secara implisit Al-Ghazali menyatakan, bahwa hanya orang-orang ahli yang berkapasitas kewalian akan mampu melihat wali-wali lainnya. Sebagaimana Allah berfirman (hadits qudsi): “Para wali-Ku ada di bawah naungan-Ku, tidak ada orang yang mengenal dan mendekatinya, kecuali jika Allah memberi taufik dan hidayah-Nya.” Dalam konteks lain, dinyatakan oleh Sahal Abdullah At-Tustari, sebagai jawaban yang diajukan oleh salah seorang muridnya, bahwa Allah hanya akan memperkenalkan wali-Nya kepada orang yang serupa dengannya, atau kepada orang yang akan memperoleh manfaat darinya, agar lebih mengenal dan mendekat kepada Allah. Rasulullah pernah bersabda (diriwayatkan oleh Abu Umamah), bahwa Allah memberitahu perihal wali-wali-Nya yang menimbulkan rasa iri dan cemburu para kekasih Allah, yakni seorang beriman yang sedikit hartanya, yang menemukan kesabarannya dalam salat, yang khusuk ibadahnya, serta taat kepada Allah. Orang itu seakan tak diperhitungkan banyak orang, kekayaannya tidak seberapa, tetapi dia tenang dalam menjalani kehidupan. Sejenak kemudian Rasulullah terdiam, lalu sambungnya, “Orang itu akan menghadapi kematian dengan ringan dan cepat, harta peninggalannya sedikit sekali.” Suatu kali, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah perihal ciri-ciri kekasih Allah, dan Rasul pun menjawab, “Kalau dipandang selalu mengingatkan kita kepada Allah.” Pada kesempatan lain, Rasul bersabda (diriwayatkan Ibnu Abbas): “Ada tiga sifat yang jika dimiliki oleh seseorang, ia akan tergolong waliullah, yakni pandai mengendalikan amarahnya, wara, dan rendah hati pada orang lain.” Abu Hurairah pernah diberi nasihat oleh Rasulullah, agar senantiasa bersikap tenang dan percaya diri, pada saat orang-orang merasa panik. Ia berani menempuh tantangan besar, hingga dengan kesabarannya dapat menempati derajat para nabi. Ia menahan diri dalam ujian menghadapi rasa lapar dan kekurangan. Pakaiannya sederhana, serta mampu menahan haus dan dahaga. Ia melakukan itu hanya untuk mendapat ridho Allah. Sesuatu yang mubah ditinggalkannya karena menyadari akan amanah-Nya. Ia hidup dengan dunia hanya sekadar badan dan fisiknya, tetapi tak mau diperdaya oleh dunia. Ibadahnya membuat kagum para malaikat dan para nabi. Rasulullah menangis karena merasa rindu berjumpa dengan tipikal hamba seperti ini, lalu beliau bersabda: “Jika Allah hendak menyiksa penduduk bumi, lalu Dia melihat orang seperti itu, maka Allah akan menjauhkan siksa-Nya.”
Rahasia Kewalian
Banyak wali yang tak mengetahui dirinya memiliki derajat kewalian. "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan tidak bersedih hati." (Yunus: 62). Rasa terpaksa dan ragu-ragu yang seringkali mendominasi perasaan manusia, akan sulit baginya memperoleh rasa tenang dan aman dalam hidup. Seseorang mencapai derajat wali dikarenakan Allah mencintainya, bukan lantaran ia mencintai Allah. Begitupun sebaliknya, seseorang menjadi musuh Allah karena Allah memusuhinya, bukan lantaran ia memusuhi Allah. Sebab, mencintai dan memusuhi Allah adalah dua rahasia yang tidak tampak pada penilaian dan pandangan kasatmata. Ketaatan dan kemaksiatan hamba tidak mempengaruhi seseorang untuk mencintai atau memusuhi Allah, karena ketaatan adalah sesuatu yang baru muncul kemudian, sedangkan sifat Allah itu kekal dan tidak terbatas. Sesuatu yang baru dan terbatas, tidak dapat mengalahkan yang kekal dan tak terbatas. Boleh jadi seseorang berbuat zalim dan jahat saat ini, tapi siapa tahu dia orang yang baik dan saleh sebelumnya. Begitupun orang yang baik saat ini, boleh jadi dulunya dia adalah seorang zalim yang bertindak sewenang-wenang. Dalam hal maksiat kepada Allah pun begitu. Boleh jadi orang yang berlaku maksiat pada Allah saat ini, dulunya seorang yang taat dan patuh, dan boleh jadi orang yang taat saat ini, dulunya seorang pelaku maksiat. Seorang yang berbohong demi kebaikan bukanlah seorang pendusta, sedangkan seorang pendusta akan sesekali berkata jujur demi untuk kepentingan politisnya. Jadi, orang yang dasarnya buruk, tiba-tiba dia berbuat baik, mesti kebaikannya itu untuk motif-motif politis, tetapi orang yang dasarnya baik, lalu sesekali berbuat buruk, hal itu mesti untuk tujuan kemaslahatan yang bisa ditoleransi. Cinta dan benci, hakikatnya hanyalah sebuah sifat? Sedangkan sifat Allah tak mungkin bisa diraba dan dijelaskan alasannya. Bagi orang yang mencintai Allah tanpa alasan dan tendeng aling-aling, mustahil baginya akan menjadi musuh Allah. Meskipun dalam pandangan kasatmata, ia melakukan perbuatan maksiat. Sebaliknya, bagi siapa yang memusuhi Allah tanpa alasan dan tendeng aling-aling, mustahil baginya akan menjadi pecinta Allah, meskipun sepintas kelihatannya dia taat. Boleh jadi banyak orang yang tidak suka pada sikap dan keputusannya saat ini, itu tak jadi masalah baginya, karena ia hanya terhubung dengan persetujuan dan ridho Allah semata. Tak ada urusan dengan kesibukan pujian manusia bagi seorang wali, karena baginya hanya mengharap pujian dari Allah semata. Pada prinsipnya, mencintai dan memusuhi Allah merupakan dua rahasia yang tak bisa dilihat secara kasatmata. Sebagaimana pernyataan Nabi Isa kepada Allah, "Engkau mengetahui apa yang ada dalam hatiku, sementara aku tidak mengetahui apa yang ada dalam Zat-Mu. Sesungguhnya hanya Engkau Yang Mengetahui hal-hal gaib." (Al-Maidah: 116).
Derajat Waliullah
Paling banter orang awam akan mengetahui kewalian seseorang, karena diberitahu oleh waliullah lainnya. Misalnya, ada orang yang sudah masyhur dikenal sebagai wali, lalu beliau memberitahu bahwa si Fulan itu waliullah. Kadang seorang wali memuji wali lainnya, agar kita mengambil hikmah dan teladan darinya. Meskipun, jarang seorang waliullah terang-terangan menyatakan dirinya seorang wali. Kedudukan dan derajat kewalian itu lebih bersifat personal dan spiritual, karenanya dibutuhkan perspektif spiritual untuk dapat menangkap sinyal dan rahasianya. Untuk berjumpa dengannya, kadang juga harus ada keselarasan, kesenyawaan, serta menyamakan frekuensi terlebih dahulu. Orang-orang awam mengenal figur Sembilan Wali (Walisongo), meskipun kebanyakan tidak paham siapakah yang menduduki derajat tertinggi dari kewalian mereka. Tetapi kemudian, di antara para wali itu saling memperkenalkan waliullah lainnya, hingga masyarakat dapat menilai yang manakah yang menduduki derajat tertinggi. Para waliullah itu menduduki maqam-maqam tersendiri. Ada yang menduduki derajat qutb, autad atau abdal, dan biasanya masyarakat awam akan tahu jika ada waliullah lainnya yang memberi tahu. Ibnu Arabi pernah menyebut adanya jenis wali yang langka dan sulit dimengerti. Karenanya, beliau sulit untuk diklasifikasi ke dalam golongan mana. Wali ini mengetahui semua detail-detail tentang pengetahuan alam. Ia memahami sejarah, detail-detail sejarah dan kehidupan para nabi, Zoroaster, Confucius, Budha Gautama, Alexander Agung, hingga Plato dan Aristoteles. Ia seakan melihat jejak-langkah manusia dan perjalanan semesta, seperti berada dalam ruang arsip hologram. Sehingga, para waliullah lainnya kesulitan mengklasifikasi ke dalam maqam tertentu. Menghadapi tipikal waliullah seperti itu, Anda yang berprofesi selaku periset dan peneliti, termasuk para arkeolog dan penggali situs-situs purbakala, akan puyeng tujuh keliyeng. Karena, ketika Anda sedang sibuk mencari literatur dan membuka-buka arsip, tahu-tahu mulut beliau sudah berucap dengan fasih mengenai data-data yang sedang Anda cari. “Maha Besar Allah Yang Maha mengetahui segalanya, dan Maha Berhak memberi tahu kepada siapapun hamba yang dicintai-Nya,” ujar Ibnu Arabi.
Meremehkan Kewalian
Kebiasaan para waliullah yang saling memuji sesama wali serta memiliki pendapat berbeda mengenai maqam wali lainnya, nampaknya membuat pengklasifikasian itu serba relatif. Dalam tradisi sufi, seorang wali kadang disebut “pengantin Tuhan”, karenanya hanya pasangannya yang saling mengetahui dan memahami. Di sisi lain, bagi orang yang membenci dan memusuhi martabat kewalian, itu sama saja suatu pengingkaran terhadap karomah dan mukjizat Allah. Bagi mereka yang ingkar dan tidak percaya, alasan apapun yang kita sampaikan tetap saja membuat ia takkan percaya, bahkan cenderung memperoloknya. Ketidakpercayaan akan eksistensi wali, berkahnya, karomahnya maupun kedudukannya, sama saja dengan pengingkaran akan keagungan dan kekuasaan Allah. Untuk itu, Allah berfirman (dalam hadits qudsi): “Orang yang menyakiti wali-Ku, berarti dia telah menyatakan ikrar untuk berperang melawan-Ku.” Pemahaman akan kesufian dapat memudahkan seseorang menangkap sinyal-sinyal kewalian. Karena sesungguhnya, dalam diri waliullah itu tak ada rasa takut dan gentar, dan tidak pula bersedih hati. Mereka adalah orang-orang yang kuat imannya, senantiasa bertakwa, dan mereka selalu ceria dalam menghadapi kehidupan dunia maupun akhirat. (Yunus: 63). *** ( Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten) |
Tidak ada komentar