Talang Kapuk | Cerpen Jeva Subagsa Hamsyah |
(Penulis Cerpen ini adalah siswa kelas 8 SMP Negeri 22 Kota Serang, Banten. Saat ini ia menekuni dunia kesusastraan, utamanya adalah cerita cerita fiksi, ia juga tengah mengikuti kurikulum khusus pelajaran WAWASAN NUSANTARA)
TALANG KAPUK
Pagi ini. Tiba tiba hujan rintik rintik. Semua pintu masih tertutup,
hanya beberapa lembar jendela yang separuhnya sudah terbuka, dari balik jendela itu
juga tak nampak wajah yang sedang memandang ke luar. Ya, tentu saja orang orang di talang
ini enggan untuk keluar sebab rintik rintik di luar sana disertai awan yang tebal.
Mendung. Dingin. Dan, jalanan masih licin. Talang adalah sebuah wilayah terpencil
di pinggir kampung, di kaki bukit, hanya terdapat beberapa gubuk beratap asbes, ada yang beratap terpal, dindingnya pelupuh
lantainya tanah. Hanya beberapa amben bambu, Kasur kumal, bantal kumal, selimut
tebal yang jugan kumal. Penduduk di sini sudah terbiasa dengan kegelapan.
Bahkan di dalam mimpi pun mereka tak berani membayangkan ada tiang-tiang listrik di
kiri kanan jalan tegak berdiri sebab jalanan itu pun entah kapan akan beraspal.
Pagi ini, sebenarnya orang orang sudah terjaga tapi mereka menunggu
matahari meninggi mengeraskan jalanan licin di depan talang. Ini adalah musim
penuh tantangan sebab buah-buah kopi masih sebesar ujung kelingking, butuh empat
hingga lima bulan ke depan agar bisa dibawa ke tengkulak, itu artinya kehidupan
sulit sudah menggema di depan mata. Sementara di sisi lain persediaan beras
semakin menipis, mereka, dari balik
pintu-pintu yang masih tertutup, dari balik jendela-jendela yang baru separuh
terbuka sedang berpikir keras untuk menyambung hidup. Inilah awal musim
hujan. Awal musim paceklik. Sekaligus awal musim penderitaan.
Hadi, lelaki muda beranak dua, rambutnya terurai ke bahu, tipis dan acak acakan
sebab belum tentu sebulan sekali disetuh aroma shampo. Istrinya termenung duduk
di dekat tungku, memandang periuk nasi yang kosong. Di atas Kasur kumal yang terbuat
dari kapuk randu kedua anaknya masih tertidur pulas. Sepi. Tak ada yang memulai
percakapan sebab isi kepala sepasang suami istri ini, sama.
“Jika hujan tak jadi, aku akan keluar!”
“Mau kemana?” tanya perempuan di dekat tungku.
“Aku harus ke kampung.” Hadi memandang ke luar jendela. Langit sedikit
terang. Angin menerobos masuk mengirimkan aroma bukit-bukit hijau tempat
hamparan kebun kopi dan daun-daun belukar menari di dataran tinggi.
“Mau cari beras ke mana?”
“Barangkali ada warung-warung di kampung yang bisa memberi hutang beras
dan belanjaan, minimal kita bisa bertahan untuk satu dua minggu ke depan.”
“Minyak kelapa tak ada, gula tak ada, garam dan micin juga tak ada.”
“Doakan saja, di luar sana ada pemilik warung yang ramah.” Hadi berdiri
membuka pintu, berjalan ke halaman ia memandang jalanan basah arah menuju
kampung, memandang ke arah langit yang masih mendung, menoleh ke gubuknya yang
beratap terpal lalu meniti jalan basah itu. Langkahnya seperti kaki kaki
kijang yang ingin melompat cepat menuju kerumunan orang. Jika sudah seperti ini
orang orang di talang bukan tempat meminjam beras, bahkan jika hari sudah
terang pintu-pintu gubuk di talang sudah terbuka orang-orang itu juga akan
meniti jalan licin ini, menuju arah yang sama, mengutarakan hal yang sama.
Mengutang pada pemilik warung di kampung atau pada tengkulak tengkulak yang
akan menampung hasil panen kopi musim nanti, tentu tengkulak tengkulak itu dan pemilik
warung-warung itu akan memberikan syarat tertentu.
Di penghujung langkah jalan tanah yang basah barulah bertemu jalan kerikil berbatu-batu.
Sedikit aspal berlubang lubang, tiang-tiang listrik yang pongah, itu artinya
kampung sudah di depan mata, jaraknya sekitar 1 km dari talang, dari tempat
istri dan anak anaknya menunggu. Sebuah warung sudah buka, langkah Hadi
terhenti, tetapi sebelum ia memanggil, yang punya warung sudah lebih dulu
menghampiri, seakan menunggu kedatangannya.
“Hadi, warga yang tinggal di Talang Kapuk, ya?”
“Iya, Bude…” Hadi lega. Mujur benar nasibnya hari ini. langsung disambut
oleh pemilik warung yang ramah.
“Dulu istrimu pernah ke sini.” Perempuan paruh baya itu nyengir kuda.
Hadi diam, sedikit kaget. Tetapi ia pasrah.
“Dulu istrimu ke sini, ngambil sabun, minyak kelapa, tembakau, gula,
sampai sekarang belum bayar!” Hadi diam seribu Bahasa. Bingung mau berkata apa, tenggorokannya kering.
“Maaf, Bude kami belum bisa bayar hutang bulan kemarin.”
“Lah, terus gimana?” wajah ramah perempuan itu tiba tiba berbalik 180
derajat. Hadi nunduk memandang kakinya yang tak beralas, perempuan itu maju ”Terus
kapan mau bayar …?” Hadi terdesak. Sekilas jalanan licin yang baru ia injak
melintas lagi di benaknya, gubuk beratap terpal, tungku yang tak berapi, kedua
anaknya yang masih tidur di atas kasur kumal, buah-buah kopi yang masih lama
waktuknya dipetik semua menyerangnya seperti badai.
“Lah, kok malah diam…?” Suara perempuan itu meninggi.
“Nanti kalo udah panen kopi kami lunasin semua, Bude…! Jangan khawatir…”
“Waduh , masih lama… Hampir setengah tahun lagi itu!”
“Tolonglah, Bude” perempuan itu balik badan, Hadi termangu dan semakin
terdesak.
“Bude…”
“… Apa lagi…?” suaranya terdengar dari dalam. Jasadnya sudah tak nampak
lagi.
“…Bude…”
Perempuan itu muncul lagi. Wajahnya dingin. “Mau apa lagi, Hadi?”
“Saya mau nambah utang lagi, Bude…”
“Lah, wong yang kemaren belum dibayar, malah mau ngutang lagi..!”
perempuan itu mulai galak.
“Tolonglah, Bude. Anak istri saya kelaparan di gubuk, kami sudah tidak
punya beras.”
Baju Hadi yang lusuh semakin basah oleh keringat. Aromanya seperti walang
sangit. Bagi lelaki itu soal penampilan adalah urusan ke sekian belas, perkara terpenting
adalah bisa meluluhkan hati perempuan ini agar denyar kehidupan bisa kembali
berjalan.
“Begini, Bude, saya mau ambil beras lagi 30kg, gula 1kg, minyak kelapa 2
liter, micin dan garam. Sekali lagi tolonglah, Bude. Saya benar benar
kepepet.”
Perempuan itu kembali berbalik badan. Hadi mundur lalu duduk bersandar di bangku kayu depan
warung. Menunggu ada keajaiban, wajahnya tengadah ke langit, mendung semakin
tebal di atas sana. Ini masa sulit tetapi ia harus berjuang, ia tak akan pulang
sebelum mendapatkan beras dan sejumlah kebutuhan.
Tiba tiba langit mendung yang tengah dipandangnya seperti terbelah dan
matahari datang dengan sinar terang benderang, aneh tapi nyata, matahari itu adalah perempuan paruh baya
yang tadi membentaknya dengan nada tinggi kini muncul kembali di
hadapannya membawa sekarung beras dan
sekantung belanjaan.
Hadi melompat dari tempat duduk, efek dari lompatan yang deras itu membuat
bangku depan warung sampai patah tiangnya.
“Ini… bawa pulang sono, ingat, ya, tapi ada syaratnya.”
“Siap, Bude…!”
“Seluruh hasil panenmu nanti harus dijual ke sini tidak boleh disetor ke
tengkulak. Mengerti…!!”
“Siap, Bude…!”
“Dan harganya ditentukan sekarang. Jika nanti saat panen harga kopi
30.000 maka saya beli cuma 20.000. Potong hutangmu, baru sisanya boleh kau
ambil uangnya.”
Hadi Kembali ke talang. Hatinya riang. Istri tersenyum di depan pintu,
anak anak menari di halaman. Hari itu kayu kayu bakar di celah tungku kembali menyalakan
api dan periuk terisi nasi meski musim
petik kopi yang akan datang harganya sudah dimonopoli. Tak masalah. Dan, hampir
bisa dipastikan setelah beras dan belanjaan ini habis, Hadi akan menemui
perempuen galak itu lagi. Terus dan terus sampai musim panen tiba.
Banten 16 Juni 2023
Tidak ada komentar